Laman

13 Apr 2013

Jalan Raya



Banyak orang yang menyalahkan Habiburrahman el-Shirazy karena tulisannya. Keindahan Mesir yang ia tuliskan dalam beberapa bukunya ternyata tidak sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang yang datang ke negeri itu. Ia tidak bercerita tentang ibu-ibu yang gemuk hingga tak bisa jalan. Ia memang tak bercerita tentang tembok yang disulap menjadi tempat buang air. Jalanan macet, supir penipu, pengendara mobil keras kepala, penjual kurang ajar, atau truk kontainer berisi sampah.

Ya, tidak dipungkiri bahwa beberapa buku yang ia tuliskan tentang Mesir telah menarik minat banyak pihak untuk datang ke negeri ini. Termasuk saya.

Suatu saat Kang Abik pernah ditanya, kenapa ia hanya menulis keindahan Mesir saja? Seolah ia meninggalkan sisanya sebagai hadiah bagi orang yang “tertipu” datang ke negeri ini. Ia pun menjawab, “Menulis itu seperti memotret”. Seorang kamerawan tidak harus mengabadikan seluruh keadaan di mana ia berada. Indah, warna-warni, kotor, jorok, macet. Ia cukup untuk mengambil beberapa gambar dengan sudut pandang yang ia suka. Yah, begitu juga dengan menulis.

Setelah melihat kenyataan dan keadaan di negeri ini, mau tidak mau saya harus mengacungkan jempol padanya. Saya yakin, pastinya tidak mudah baginya untuk memandang sudu tkeindahan dari kota penuh sampah ini. Karena saya tahu bahwa ia pun pernah menjadi mahasiswa seperti saya.

Separuh dari kehidupan para mahasiswa di sini dihabiskan di jalan raya. Khususnya mahasiswa yang tinggal di Kairo. Menunggu bis saja bisa menghabiskan waktu separuh perjalanan. Keadaan itu belum ditambah dengan sesaknya bis karena armada yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan penduduk kota. Sesak itu pun biasanya diperparah dengan masuknya ibu-ibu gemuk yang membawa barang besar di kepalanya. Anda tidak akan bisa membayangkan gemuknya ibu-ibu Mesir sampai anda melihatnya sendiri.

Sesak di dalam ditambah pula dengan sesak di luar. Kemacetan yang dihiasi dengan simfoni klakson yang memekakkan telinga. Perjalanan dari kampus ke tempat tinggal sebenarnya bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, namun jika macet biasanya bisa memakan waktu satu sampai dua jam. Macet bukan karena kendaraan di jalan penuh sesak layaknya kota Jakarta. Kemacetan itu terjadi lebih karena rakyat sini menggunakan jalan raya sesuka hatinya.

Jalan yang seharusnya memuat empat jalur hanya tersisa dua jalur karena digunakan untuk parkir. Apartemen bertingkat tinggi tidak dilengkapi dengan lahan parkir yang memadai. Jika apartemen memiliki enam lantai dan setiap lantai terdapat dua rumah, lalu setiap rumah memiliki satu buah mobil, maka seharusnya ada lahan parkir di bawah tanah yang menampung jumlah mobil itu. Namun, jika telah disediakan parkir di bawah tanah saja mereka tetap lebih memilih parkir di jalan, bagaimana jika tidak ada lahan parkir sama sekali?

Jika kita terbiasa melihat mobil mogok yang ditarik oleh mobil lain, maka di Kairo anda akan melihat hal yang berbeda. Mobil mogok, jika tidak ada orang yang bersedia untuk bantu mendorong, maka mobil itu akan didorong oleh mobil lain dari belakang. Mobil mendorong mobil dengan bumper belakang bertemu bumper depan.

Anda pun akan terbiasa melihat lampu lalu lintas yang selalu berwarna kuning. Pemerintah Mesir lebih memilih untuk memaksa para pengendara agar berputar ketimbang memaksimalkan fungsi lampu lalu lintas. Maka, di Kairo, mendapati sebuah lampu lalu lintas yang berfungsi dan dipatuhi ketika tak ada polisi adalah sebuah keajaiban, anda harus mengabadikan kejadian itu.

Jika terjadi sebuah masalah di jalan, rakyat sini lebih memilih untuk menyelesaikannya saat itu juga dan di tempat itu juga. Ya, di tengah jalan raya. Anda akan terbiasa melihat orang memperbaiki mesin atau mengganti ban di tengah jalan raya tanpa meminggirkan dulu mobilnya. Anda juga akan terbiasa melihat orang bertengkar mulut bahkan berkelahi di tempat mobil mereka saling senggol.

Lebih parah lagi, jika terjadi sebuah kecelakaan, orang sini lebih memilih untuk menunggu mobil ambulan datang ketimbang membantu dan mengantar korban kecelakaan ke rumah sakit. Saya tidak tahu pasti apa yang ada di otak mereka. Ketika mereka berhenti di tengah jalan sesukanya, pastinya di belakang mereka terdapat ratusan orang yang dongkol karena kemacetan yang disebabkan olehnya.

Saat para fukaha berijtihad merumuskan hukum penggunaan jalan umum, para pengguna jalan di sini justru berlaku seenaknya. Tak heran jika salah seorang teman saya pernah membuat status di akun facebooknya, “Masyarakat Mesir itu terdiri dari dua macam, satu adalah masyarakat yang terpelajar, soleh dan solehah, dan yang kedua adalah keledai.

Tidak salah jika saya menyebut mereka keledai, mereka pun menyebut sesamanya dengan panggilan itu. Jika anda dengar para supir mengumpat, maka anda akan mendengar mereka menyebut orang lain dengan kata bahaym, hewan ternak. Bahkan, tetangga saya orang Sudan tidak pernah lagi masuk kuliah gara-gara satu hal, yaitu seorang dosen yang marah dan memanggil muridnya dengan panggilan himar, keledai.

Jika saya diberi kesempatan untuk menjadi presiden di negeri ini, mungkin saya pun akan kebingungan untuk mencarikan solusi bagi sesaknya jalan di kota Kairo. Memang saya akui, jalan di negeri ini selalu bagus dengan aspal yang sangat tebal. Jarang ada lubang di jalan raya layaknya jalanan di Jakarta atau Pantura. Infrastruktur kota ini sebenarnya telah memadai dengan dibangunnya puluhan jembatan layang dan terowongan di berbagai tempat.

Belum lagi dengan adanya tiga jalur kereta bawah tanah laiknya London dan Tokyo. Kenyamanan, ketepatan waktu dan sistem pengaturan kereta dan stasiun yang sudah modern. Kita akan lupa bahwa ini adalah kota Kairo yang penuh sampah. Kita akan merasa berada di salah satu lorong di kota London seperti dalam game Taxi Drive. Modern sekali.

Namun sayang, infrastruktur yang megah ini tidak dibantu dengan tingkat kewarasan masyarakat yang memadai. Sebagian besar mobil di kota Kairo adalah sedan, baik keluaran terbaru hingga mobil jaman perang dunia pertama, dari merk Marcedes Benz, Chefrolet hingga mobil yang sudah tak jelas merek dan bentuknya. Banyak terlihat mobil-mobil yang rusak laiknya mobil yang telah rusak dalam salah satu ronde bonus game Street Fighter.

Maka saya sarankan kepada anda, selama anda belum memiliki pintu “ke mana saja”, lebih baik anda diam di rumah dan mengerjakan pekerjaan yang lebih bermanfaat. Semakin anda sering bepergian di jalan raya maka hal itu akan mempengaruhi tingkat kejiwaan anda.

Atau jika tidak, berusahalah untuk belajar memandang keindahan dari setiap keburukan yang anda lihat. Semoga bau sampah bisa berubah menjadi harum kesturi.

1 komentar:

  1. Aku termasuk salah satu yang memandang keburukan Mesir menjadi sebuah keindahan... Keburukan itu tertutup oleh kisah sejarah lengkap dengan peninggalannya yang luar biasa... :D

    BalasHapus