Laman

3 Jul 2014

Refleksi 3 Juli

image: http://alahale.net/
Hari ini, tepat satu tahun yang lalu. Saat itu saya bersama beberapa orang kawan sedang berjibaku untuk menyukseskan sebuah acara besar. Malam itu, beberapa dari kami sedang beristirahat di hotel tempat para tamu menginap. Malam itu, secara serentak kembang api meledak di sekitar tempat kami tinggal, diiringi dengan teriakan orang-orang dan bunyi klakson di jalan-jalan. Malam itu, Presiden Muhammad Mursi dimakzulkan.

Dan sejak saat itu, keadaan pun berubah. Kisruh politik itu sedikit banyak telah merubah keadaan komunitas kita.


Saya pribadi menilai bahwa kisruh politik negeri ini adalah konflik politik murni dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita sebagai seorang pelajar asing. Selain karena kita adalah pendatang dan ini adalah urusan internal negara orang, kita berhadapan dengan orang Mesir yang kita tahu seberapa besar rasa fanatik mereka terhadap negaranya, mereka tidak akan mau mendengar pendapat dari bangsa yang mereka anggap lebih rendah dari mereka, suka atau tidak.

Coba anda bayangkan jika ada sekelompok mahasiswa dari Kazakhstan kuliah di UI, lalu Presiden SBY dikudeta, mereka pun mati-matian membela atau anti terhadap SBY. Kita akan bertanya, “Lah, ente siapa? Apa urusan ente?” Dan parahnya, komunitas mahasiswa Kazakhstan itu terpecah menjadi dua kubu yang saling perang dingin gara-gara mendukung atau anti SBY. Mereka merugi karena apapun yang mereka lakukan sama sekali tidak akan merubah keadaan, dan mereka lebih merugi karena persatuan mereka justru terpecah karena urusan ini. Begitulah kira-kira keadaan kita sekarang.

Oke, kita bisa mengatakan bahwa keterlibatan kita dalam konflik ini adalah sebagai sarana pembelajaran bagi kita—dan hanya itu nilai positif yang bisa saya ambil dari konflik ini. Itu pun kita hanya bisa sebatas membaca, menganalisis, dan berkomentar, tidak akan berpengaruh apapun terhadap situasi politik negara ini. Dan ternyata kita pun tidak mampu untuk menghasilkan satupun karya ilmiah hasil penelitian yang mumpuni dan objektif.

Bahkan kita ternyata lebih banyak mencicipi dampak buruknya. Keterlibatan beberapa orang guru kita di dalam kisruh politik ini akhirnya membuat segelintir oknum dari kita lupa diri dan tidak lagi malu untuk menjatuhkan karakter guru mereka dengan berbagai macam cara. Akhirnya, beberapa orang tidak terima, mereka bereaksi membela dengan berbagai cara. Perdebatan hingga saling ejek pun akhirnya tidak mampu terhindarkan, dan semakin terbuka lebar jurang pemisah di tengah komunitas kita ini.

Tak terhitung jumlah komentar dan ejekan yang terlontar dari tangan dan lisan kita. Apakah itu semua mampu memberikan kontribusi pada kisruh politik ini? Apakah kita mampu untuk memutar kemudi konflik politik ini? Sama sekali tidak. Apa dampak dari keberpihakan kita kepada satu kubu? Kita hanya mampu menyakiti hati orang lain, saling menorehkan luka dengan mencela dan mempengaruhi orang untuk ikut mencaci. Kita ternyata tidak bisa untuk sekedar berpihak tanpa harus menyakiti perasaan orang lain.

Dan yang disayangkan, kita tidak mampu untuk memindahkan berbagai macam perdebatan ini kepada sebuah dialog yang berimbang, dewasa dan ilmiah. Beberapa acara yang kita buat hanyalah beberapa seminar perpolitikan yang searah dan subjektif atau dialog dua kubu yang malah menjelma jadi debat keroyokan. Tidak ada analisis serius yang didasari atas pembacaan yang seimbang, yang ada hanyalah pembelaan membabi buta yang didasari atas keberpihakan.

Kita sama-sama kerdil, sama-sama dungu dan pengecut, bersembunyi di balik topeng akun dunia maya tanpa mau mempertanggungjawabkan argumen seperti sepantasnya mahasiswa. Kita hanya mampu meminta orang lain bersikap objektif namun kita tetap mengurung diri pada subjektivitas pandangan kita. Kita hanya mampu berkomentar, menuliskan kata-kata kasar, bahkan mengutuk dari belakang layar tanpa mau bertatap muka.

Akhirnya kita hanya saling berburuk sangka, merendahkan, dan saling meremehkan. Senyuman yang kita berikan kepada teman hanya sebatas senyuman palsu, padahal hati kita membara karena kebencian yang terus kita tahan. Sapaan kita kepada teman hanya sebatas sapaan basa basi, namun pikiran kita telah lama ingin mendaratkan tinju tepat di atas bibir cerewet teman kita itu. Candaan kita hanya menjadi penyedap rasa pertemanan, padahal kesabaran kita telah mencapai ubun-ubun dan siap untuk diledakkan kapan saja.

Luka yang menganga ini ternyata hanya mampu kita biarkan agar sembuh dengan sendirinya, kita bahkan tidak melakukan apa-apa. Kita tidak mampu untuk merekonsiliasi konflik internal kita sendiri. Kita tidak mampu untuk menyatukan barisan dalam komunitas kita sendiri. Kita tidak mampu untuk menghilangkan sekat-sekat pemisah antara kita sendiri. Maka, tidak heran jika kita tidak akan mampu untuk merekonsiliasi konflik umat di tanah air, tidak mampu untuk menyatukan barisan umat di tanah air, dan tidak mampu untuk menghilangkan sekat pemisah antar umat di tanah air.

Kita hanya menjadi kader umat yang bisa merecoki urusan umat, menambah permasalahan umat, dan memperparah luka umat. Kita hanya bisa membual tentang persatuan, berbohong tentang kesatuan, dan menebar mimpi tentang persaudaraan.

Kenyataan itu menjawab keheranan saya, saat seorang ulama Madinah didatangkan untuk mengisi sebuah tabligh akbar di Masjid Istiqlal atas prakarsa para alumninya, saat seorang ulama Yaman diajak berkeliling ke beberapa pesantren di Indonesia juga atas bantuan jaringan para alumninya, seorang ulama Mesir justru pulang dari Indonesia dengan membawa luka karena difitnah oleh muridnya.

Satu tahun yang benar-benar penuh dengan warna.

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar