Laman

15 Jan 2019

Dosen Pager dan Mahasiswa Tiktok


Perlu ngga sih mahasiswa diajarin cara nulis pesan ke dosen?

Kemarin saya membuat poling di igstory tentang adab dan tata krama mengirim pesan kepada dosen. Ide itu muncul setelah saya melihat sebuah infografis yang dibagikan oleh salah satu teman saya di akun medsosnya. Infografis itu dibuat oleh Humas Universitas Muhammadiyah Aceh yang memberikan beberapa poin yang harus diperhatikan oleh mahasiswa ketika berkirim pesan kepada dosen.

Saya lalu ingat pernah melihat hal yang serupa ketika kuliah di UIN Jakarta beberapa tahun lalu. Saat itu saya tidak melihat hal ini adalah masalah yang penting hinggaharus dibuat himbauan semacam itu, pertama karena himbauan itu ditujukan kepada mahasiswa yang seharusnya sudah mengerti tata krama, dan kedua karena setiap menghubungi dosen saya selalu menggunakan cara yang tertulis di sana: menulis lengkap mulai dari salam, perkenalan, maksud, dan ditutup dengan terima kasih, meminta waktu jika ingin menghadap, memperhatikan waktu pengiriman pesan, bahkan saya lebih memilih menggunakan SMS daripada Whatsapp.

Saya baru merasa bahwa itu adalah hal yang penting ketika saya telah menjadi dosen. Ternyata banyak yang ngga ngerti. Ada yang mengetik salam dengan cukup menulis “ass” (mungkin dia emang nggak ngerti bahasa Inggris), ada yang mengirim pesan tidak tahu waktu, ada yang tiba-tiba menyatakan maksud tanpa memperkenalkan diri, bahkan tidak jarang pesan saya hanya “diceklisbirukan” saja tanpa dibalas. Di-read doang. Maka, melihat pengalaman saya menghadapi mahasiswa selama tiga semester ini, saya pun sekarang paham kenapa sampai ada himbauan semacam ini.

Di kesempatan lain, tak jarang mahasiswa protes kepada saya ketika pesan whatsapp mereka tidak dibalas oleh dosen senior yang saya asisteni. “Saya sudah whatsapp, pak, tapi nggak dibales”, kira-kira seperti itu mereka bilang. Akhirnya mereka malah selalu menghubungi saya dan menanyakan hal-hal yang sebenarnya bukan wewenang saya, seperti ujian, ujian susulan, nilai, atau tugas.

Ada satu hal yang terlintas di pikiran ketika melihat hal ini. Saya melihat ada gap yang jauh antara dosen-dosen generasi “tua” dengan mahasiswa. Bisa dikatakan bahwa himbauan itu muncul dari para dosen yang tersinggung dengan cara berpesan mahasiswa, dan di sisi lain, mahasiswa menganggap gaya komunikasi mereka adalah hal yang biasa terbukti dengan jamaknya gaya komunikasi ini mereka gunakan. Saya berkesimpulan, jarak generasi antara dosen dan mahasiswa terlalu jauh dan itu jelas mempengaruhi adanya perbedaan budaya, pola pikir dan nilai-nilai. Dan ternyata, sebagai dosen muda, saya berada di tengah-tengah antara dua generasi itu.

Ambillah contoh bapak saya. Beliau seorang dosen senior dan kebetulan saya bertugas untuk menjadi asisten beliau di kelas. Beberapa kali mahasiswa menghubungi saya dengan alasan bahwa bapak tidak membalas whatsapp mereka. Ternyata bapak saya memang tidak sering whatsapp-an, hanya membuka ketika beliau mau. Tambah lagi whatsapp jadi seperti tumpukan sampah dengan banyaknya percakapan yang masuk, baik pesan pribadi ataupun grup. Bapak hidup dan tumbuh besar di era surat-menyurat masih menjadi primadona. Bapak tidak kenal handphone semasa kuliahnya, paling ada telfon rumah, wartel dan juga pager. Tahu Pager? Pager, Bahasa Inggris, dibaca peijer. Bukan pagar depan rumah, tapi alat komunikasi satu arah sebesar kira-kira tiga jari. (cek google!) Sepertinya pager bisa dimandat sebagai pembatas generasi tua dan muda deh, klo kamu tidak kenal pager maka kemungkinan kamu masuk generasi muda.

Dan rata-rata, dosen-dosen di atas generasi saya adalah dosen angkatan itu. Dosen-dosen generasi telfon umum yang pernah nelfon sambil berdiri di kotak biru di pinggir jalan. Generasi wartel, yang tahu bahwa tarif termurah telfon adalah pagi sebelum jam 6 dan di hari minggu. Dosen-dosen yang gelar S1-nya masih Drs atau Dra, atau paling jauh itu S.Ag. Generasi ini tidak terbiasa berkirim pesan singkat. Mereka tidak terbiasa mengirim satu kalimat satu pesan. Mereka adalah generasi surat, menulis panjang untuk satu kali kirim, biasanya dimulai dengan salam dan diakhiri dengan pantun 4 x 4 = 16.

Ini yang tidak dipahami oleh mahasiswa sekarang. Mereka tidak tahu jika dosen-dosen mereka itu tumbuh besar di zaman susah. Dosen-dosen generasi tua itu tidak suka diam di depan handphone berjam-jam, mereka bukan orang yang selalu menunggu notifikasi dari instagram atau whatsapp, bahkan sering kali pesan di whatsapp itu dibiarkan menumpuk sampai angka ratusan.

Maka mas dan mbak mahasiswa, pahamilah bahwa mengirim pesan kepada mereka harus agak “resmi” seperti yang ada di himbauan di atas, persis seperti surat. Selalu perkenalkan diri meskipun kamu sudah mengirim pesan untuk yang ke seratus kali, anggap saja bahwa nomermu tidak disimpan (karena untuk menyimpan nomer pun terkadang mereka masih perlu bantuan). Tulislah dengan kata-kata baku, sopan dan tidak disingkat. Tunggu balasan dan jangan memulai dengan menelfon, karena sadarlah bahwa urusan dosen itu tidak hanya mahasiswa saja. Jika ternyata pesan di whatsapp tidak kunjung dibalas, maka coba kirimlah lewat SMS. Dan jika tidak dibalas juga, perbanyaklah shalawat sampai bertemu beliau di kampus. Dan terakhir, jangan sekali-kali mendesak beliau dengan kebutuhanmu seperti “Pak, bapak ada di mana?” atau “Kami sudah di kelas, pak. Ditunggu.” Asli, percaya sama saya, itu ga sopan!

Memang, karena gap kedua generasi ini, dosen-dosen generasi tua itu jadi tidak mengerti bahwa anak-anak generasi sekarang ingin segalanya instan, tidak mau bertele-tele, tidak suka birokrasi yang berbelit, pesan ingin cepat sampai dan cepat dibalas. Mereka juga tidak mengerti budaya (mahasiswanya yang juga seorang) netizen yang selalu merasa benar.

Tapi, sebagaimana kata pepatah, “karena dosen ingin dimengerti,” jadi ya mas dan mbak mahasiswa, mengertilah. Mereka tidak punya waktu untuk memperhatikan gap antar dua generasi ini. Mereka hanya tahu bahwa generasi sekarang akhlaknya jelek dan hanya bisa menggerutu atau mungkin marah. Mereka melihat dunia dari nilai-nilai yang telah lama mereka anut, seperti mengucapkan salam ketika ketemu, datang sowan dan pergi pamit, dan ucapkan terima kasih. Hal-hal sederhana itu yang mereka pegang sejak lama, tapi justru itu yang hilang dari generasi ini. Meski masalah berkirim pesan ini kita anggap biasa dan lumrah, tapi bagi mereka ini adalah urusan penting hingga perlu untuk dibuat himbauan resmi semacam itu.

Mungkin berbeda dengan dosen angkatan muda seperti saya, yang biasa nongkrong di depan medsos, ngerti obrolan dan candaan mahasiswa, dan ngerti ketika ada mahasiswa di kelas nyanyi “wik wik-wik wik wik” padahal saya sedang menulis di papan tulis. Saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan gaya berpesan para mahasiswa meski beberapa kali pernah tersinggung juga, setidaknya pertama, karena tahu budaya chating dan komentar memang pada dasarnya kita bisa langsung menulis tanpa salam dan pergi tanpa pamit, dan kedua, karena saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah hal yang sudah membudaya ini.

Ada mahasiswa yang sama sekali tidak pernah hadir di kelas, ia meminta untuk ikut UAS susulan lewat Whatsapp, lalu saya jawab bahwa dia tidak bisa ikut UAS karena tidak pernah ikut kelas, akhirnya pesan saya hanya "diceklisbiru" saja tanpa ada salam atau sekedar terima kasih. Saya tersinggung, tapi masa saya harus menceramahi dia lewat pesan whatsapp yang panjang? Kalo cuma di-read doang lagi gimana? Ada juga mahasiswa yang meminta kisi-kisi ujian, setelah saya jawab "silahkan baca batasan materi" dia tetap mendesak minta kisi-kisi, bahkan dia sampai me-lobby empat sampai lima kali, padahal sebelumnya tidak memperkenalkan diri hingga memaksa saya untuk melihat pesan-pesan yang telah lalu untuk mengetahui siapa dia dan dari kelas berapa. Yah, what can I do?

Berkaca pada masalah ini kita bisa mengetahui bahwa perbedaan generasi ternyata bisa menimbulkan perbedaan yang jauh, baik itu pola pikir, budaya hingga nilai moral. Sering kali hal yang dianggap baik oleh orang tua justru dianggap hal yang tidak baik oleh anak karena mereka beda zaman. Begitu juga hal kita anggap biasa saja ternyata bisa dianggap serius oleh orang tua karena kita hanya tahu zaman kita saja. Maka, yang bijak adalah yang mencoba untuk melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain, menjaga nilai-nilai bersama dan menghargai orang lain sesuai dengan posisinya. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar