Laman

31 Mar 2011

Masalah mengirim pahala untuk orang mati

Kematian adalah hal yang pasti dialami oleh setiap mahluk, entah dalam keadaan bagaimanapun, siap atau tidak siap, kematian akan datang tanpa diduga. Jika seseorang meninggal, maka ia akan terputus dari segala macam hubungannya dengan dunia, dengan harta dan keluarganya, kecuali tiga perkara yang disebutkan oleh Rasulullah saw. yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya. Lalu selain ketiga hal tersebut, apakah mayit akan mendapatkan manfaat dari ibadah yang dilakukan oleh orang yang masih hidup?



Para ulama menyepakati beberapa ibadah yang dilakukan oleh orang hidup dan dapat bermanfaat bagi mayit, di antaranya:
1. Doa dan Istighfar, Allah berfirman dalam surat Al-Hasyr ayat 10:
و الذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان – الحشر : 10
2. Sedekah, dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra. bahwa Sa`ad bin `Ubadah berkata kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan ia tidak berwasiat apa apa, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bersedekah atas namanya?” maka Rasulullah saw. menjawab “Ya!”.
3. Haji dan Umrah, dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita bertaanya kepada Rasulullah saw. “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, namun ia tidak dapat melaksanakannya hingga wafat, apakah aku bisa berhaji untuknya?” maka Rasulullah saw. berkata “Ya, hajilah untuknya!, apakah kau tahu jika ibumu memiliki hutang maka kamu harus membayarnya? Bayarlah! Sesungguhnya hutang kepada Allah lebih utama untuk ditepati!”.
4. Puasa, dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa aisyah mendengar Rasulullah bersabda: “barang siapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka hendaklah walinya berpuasa baginya!”.

Selain ibadah yang dituliskan di atas, terdapat perbedaan pendapat di antara pala ulama tentang sampainya pahala bagi mayit dari ibadah yang dilakukan oleh orang lain seperti baca Al-Qur'an dan lainnya.
1. golongan pertama berpendapat bahwa pahala tidak akan sampai kepada mayit, diantaranya adalah para Ulama-ulama terdahulu dari madzhab Syafi`i dan Maliki.
2. Dan golongan kedua, dari madzhab Hanafi, Hanbali, dan ulama-ulama mutaakhir dari madzhab Syafi`i dan Maliki berpendapat bahwa pahala bisa saja sampai kepada mayit.

Golongan pertama menyebutkan bahwa seseorang tidak akan mendapatkan pahala kecuali apa yang telah ia kerjakan. Allah swt. berfirman :
و أن ليس للإنسان إلا ما سعى – النجم : 39

Ibnu Katsir menuliskan dalam tafsirnya, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan dosa dari perbuatan orang lain, begitu juga pahala yang dilakukan oleh orang lain. Dari ayat inilah Imam Syafi`i berpendapat bahwa menghadiahkan pahala membaca Al-Qur'an tidak akan sampai kepada mayit, karena itu bukanlah perbuatan mereka.

Sebagaimana hadits Rasulullah tentang terputusnya amal perbuatan manusia yang mati selain tiga perkara yang disebutkan di atas. Karena ketiganya adalah hasil dari jerih payahnya selama ketika berada di dunia. Rasulullah juga pernah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baiknya harta yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil jerih payahnya, anaknya adalah dari jerih payahnya, begitu juga sedekah.”

Ibnu Taimiyah berkata: “Sebaik-baiknya ibadah adalah yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. dan para sahabat setelahnya.” Dan telah diketahui bahwa para sahabat dan tabi`in beribadah dengan tata cara yang diajarkan oleh Rasulullah saw. dari ibadah wajib hingga sunnah, dan mereka juga selalu mendoakan bagi seluruh kaum muslimin yang hidup dan juga yang mati. Dan mereka tidak membiasakan diri jika shalat, puasa sunnah atau haji dan membaca Al-Qur'an lalu menghadiahkan pahalanya bagi mayit, maka tidaklah bagi kaum muslimin untuk meninggalkan tata cara mereka dalam ibadah.

Golongan kedua, yang berpendapat sampainya pahala bagi mayit, berpendapat dari beberapa hadits di atas, bahwa doa, pahala haji, puasa dan sedekah bisa sampai kepada mayit, begitu juga dengan berbagai macam ibadah yang lain. Semua hadits yang menunjukkan sampainya pahala kepada mayit adalah shahih, dan menunjukkan bahwa mayit bisa mendapatkan manfaat dari ibadah yang dilakukan oleh orang yang hidup, karena puasa, doa, haji dan sedekah adalah ibadah jasad yang pahalanya bisa sampai kepada mayit sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw. maka, begitu juga dengan ibadah yang lain, sebagaimana yang dituli oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya ‘Al-Mughni’.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Mayit akan mendapatkan segala kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, seperti yang tertulis dari dalil-dalil yang telah disebutkan.”, Ibnu Qoyyim berkata dalam kitab ‘Al-Ruh’: “Barang siapa yang berpuasa, shalat sunnah atau bersedekah lalu memberikan pahalanya kepada orang lain yang hidul atau mati, maka pahala itu akan sampai kepadanya menurut ahlussunnah wal jama`ah jika benar-benar diniatkan untuknya, namun jika mengkhususkan pahala baginya itu lebih baik.” Begitu juga hadits Rasulullah yang mengajarkan kita agar mengucapkan salam setiap memasuki komplek pekuburan.

Dalam hadits Nabi saw. dikatakan “Bacakanlah surat Yasin untuk orang yang meninggal dari kamu!” –HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim, Baihaqi, Al-Maqdisi-. Imam Nawawi berkomentar tentang hadits ini, bahwa Sanadnya dhaif, karena ada dua rawi yang tidak dikenal, namun Abu Dawud tidak mendhaifkannya. Dalam Taudhihul Ahkam dijelaskan, bahwa beberapa ulama mendhaifkan hadits ini, namun sebagian lainnya menshahihkannya. Maka bisa terdapat dua kemungkinan penafsiran tentang hadits ini, yaitu disunnahkan membacakan surat yasin kepada orang yang akan menghadapi sakaratul maut atau disunnahkan dibacakan kepada orang yang memang sudah meninggal.

Secara singkat, beberapa dalil yang digunakan oleh pendapat pertama di antaranya:
- Firman Allah swt surat Al-Najm ayat 39, Al-Baqarah : 286.
- Hadits terputusnya amal manusia selain tiga perkara, hadits riwayat Nasa’i :
"لا يصلين أحد عن أحد, و لا يصومن أحد عن أحد, و لكن يطعم منه"
- Mereka berpendapat bahwa ibadah terbagi dua, yaitu: ibadah yang bisa diwakilkan seperti sedekah dan haji, dan ibadah yang tidak bisa diwakilkan seperti Islam, Shalat, membaca Al-Qur'an, dan puasa.
- Perbedaan penganalogian Shalat, puasa, dan Islam dengan Sedekah dan Haji.

Dalil Golongan kedua:
- Firman Allah swt. surat Al-Hasyr ayat 10.
- Hadits tentang tiga perkara yang tidak akan putus setelah wafat (Muslim: 1631), mengalirnya pahala orang yang memulai sebuah perkara baik dan diikuti orang lain (Muslim: 1017), adab mengucapkan salam kepada ahli kubur (Muslim: 974), sedekah (Bukhari: 1388, Muslim: 1004), qadha puasa dan haji bagi mayit (.
- Analogi (Qiyas) ibadah yang disebut di atas dengan macam-macam ibadah yang lain.
- Mereka berpendapat bahwa pahala yang dikerjakan adalah milik orang yang mengerjakan, maka jika ia berhak memberikannya kepada orang lain, sebagaimana jika ia menghibahkan barang miliknya kepada orang lain.

Jawaban golongan kedua atas pendapat golongan pertama:
- Ibnu Qoyyim berkata, tidak ada dalil yang bertentangan dengan sampainya pahala bagi mayit, begitu juga kesepakatan ulama salaf maupun kholaf.
- Hadits terputusnya amal selain tiga perkara, tidak menunjukkan terputusnya manfaat dari perkara itu, hanya menunjukkan terputusnya ia dari ketiga hal dan tidak bisa berbuat dengan ketiganya lagi, namun pahalanya akan terus mengalir.
- Pembagian ibadah yang bisa diwakilkan atau tidak, tidaklah berdasar.

Demikian penjelasan singkat tentang perbedaan pendapat para ulama tentang sampainya pahala kepada mayit, kita tidak dipaksa untuk mengambil pendapat salah satu di antara keduanya, apalagi menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat kita. Jika kita lihat, para ulama memang tidak sama pendapat tentang ini, dan masing-masing mempunyai dalil dan cara memahami dalil yang berbeda, maka kenapa harus ada pemaksaan untuk mengambil pendapat dan menolak pendapat yang lain. Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pahalanya akan sampai, sedangkan Imam Syafi`i berpendapat tidak akan sampai, padahal Imam Syafi`i adalah gurunya Imam Ahmad, namun Imam Ahmad tidak pernah mencela gurunya meskipun berbeda pendapat, bahkan dalam sebuah riwayat dari putranya sendiri bahwa Imam Ahmad selalu mendoakan Imam Syafi`i setiap sehabis shalat lima waktu hingga akhir hayatnya.

Allah menjelaskan dalam firmannya, jika kita berdebat dengan ahli kitab, hendaklah mendebat mereka dengan baik, lalu kenapa jika kita berdebat dengan sesama muslim malah dengan cara yang kurang terpuji? Kita pun dilarang untuk mencela kaum yang menyembah kepada selain Allah, lalu kenapa kita mencela orang yang menyembah kepada Allah? Tuhan kita satu, Nabi kita Muhammad dan tidak ada setelahnya, Kitab kita Al-Qur`an, hanya perbedaan kemampuan bahasa dan memahami dalil itu yang menjadikan perbedaan terlihat antara kita, dan tidak ada yang mengetahui benang merah antara kebenaran dan kebatilan selain Allah swt. Maka, munculnya satu golongan atau madzhab bukanlah untuk menandingi madzhab yang lain, karena Allah tidak akan melihatnya, dan tidak ada menang dan kalah, mayoritas dan minoritas, selama berpegang teguh kepada tiga hal di atas, Allah lah yang akan menentukan. Wallahu a`lam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar