Laman

4 Mar 2013

Kiblat melenceng dan tafsir kata "Jihah"


http://www.ilmi-islam.com
Menghadap kiblat adalah salah satu hal yang penting dalam melaksanakan salat, yang jika hal itu tidak dipenuhi maka salat kita bisa terancam tidak sah. Karena itu, para fukaha memasukkan kiblat sebagai syarat sah dalam melaksanakan salat yang artinya setiap muslim yang hendak melakukan salat haruslah menghadap kiblat.

Karena kewajiban itulah, para cendekiawan muslim melakukan berbagai macam cara untuk menemukan arah kiblat. Di antara mereka ada yang menggunakan bintang-bintang sebagai patokan, ada pula yang menggunakan arah mata angin, kompas hingga perhitungan. Rumus menghitung arah kiblat pun memiliki berbagai macam versi, di antara versi modern yang digunakan adalah rumus segitiga bola, sedangkan versi klasik yang pernah digunakan adalah konsep lingkaran Abu Rayhan al-Bairuni, Ibnu al-Haitsam dan al-Ghandajani yang baru saja saya lihat tersimpan rapi di perpustakaan Bibliothèque de I’institut Dominicain d’études Orientales, perpustakaan orientalis yang terletak di kawasan Darrasah.

Melihat pentingnya kiblat dalam literatur peradaban Islam, maka kajian tentang kiblat pun tidak hanya menjadi objek kajian bagi para cendekiawan muslim. Kiblat pun menarik perhatian beberapa cendekiawan non-muslim seperti David A. King dan Suzuki Takanori untuk menjadikan kiblat sebagai objek kajian mereka. Bukan hanya membahas sejarah Ka`bah dan pengaruhnya pada masyarakat kaum muslim, mereka pun mengkaji ulang dan menjelaskan berbagai macam rumus arah kiblat yang ditulis oleh para cendekiawan muslim di atas.

Arah kiblat masjid-masjid Kairo
Beberapa pekan lalu saya sempat mengukur arah kiblat beberapa masjid di kota Kairo dengan menggunakan kompas. Sebelumnya, saya telah mengukur arah kiblat bagi kairo dengan tiga cara, pertama dengan cara penghitungan menggunakan konsep segitiga bola, kedua menggunakan software Accurate Times versi 5.3, dan ketiga menggunakan website yang khusus untuk mengukur kiblat, qiblalocator.com. Ketiga cara itu memberikan kesimpulan yang sama, yaitu arah kiblat sejati kota Kairo adalah 136 derajat diukur dari arah utara sejati mengarah ke arah tenggara.

Akhirnya saya mencoba mengukur arah beberapa masjid di kota Kairo dengan menggunakan kompas, namun ternyata saya menemukan bahwa arah beberapa masjid itu melenceng beberapa derajat dari arah kiblat. Di antaranya adalah masjid al-Azhar yang mengarah ke 125 derajat, masjid al-Hakim biamrillah 128 derajat, masjid Sultan Hasan 125 derajat, masjid al-Rifa`I 130 derajat, al-Fath Ramsis 130 derajat, al-Salam Hay `Asyir 128, Amru bin al-`Ash 125 derajat.

Nuril Dwi, salah seorang pegiat kajian Ilmu Falak AFDA PCI Muhammadiyah Mesir menuliskan dalam buletin TëROBOSAN edisi 350, 22 Februari 2012:
Haruslah diketahui bahwasannya bergesernya arah kiblat terhadap Ka`bah dengan pertimbangan jarak serta ukuran bangunan Ka`bah, akan mengakibatkan pergeseran sebesar 126 KM. di utara atau selatan Ka`bah untuk setiap satu derajatnya.
Memang terdapat dua pendapat besar yang tertulis dalam kitab-kitab fikih dalam hal menghadap kiblat. Pendapat pertama mewajibkan untuk menghadap kiblat tepat ke arah Ka`bah, ini adalah pendapat dari mazhab Syafi`i. Dan pendapat kedua mengatakan kita cukup dengan menghadap ke arah kiblat tanpa harus mengenai Ka`bah secara tepat, ini adalah pendapat mayoritas ulama selain mazhab Syafi`i.

Namun sekarang ada satu hal yang menjadi permasalahan. Jika kita mengambil pendapat kedua yang mencukupkan kita untuk menghadap ke arah kiblat, berapa derajat batasan yang masih dikategorikan menghadap ke arah kiblat? Bagaimana penafsiran kata “Jihah” jika ditafsirkan kedalam satuan derajat?

Kesimpulan yang didapatkan kelak akan menyelesaikan masalah apakah perbedaan 11 derajat seperti masjid al-Azhar, Sultan Hasan dan Amru bin al-`Ash masih bisa dikategorikan menghadap ke arah kiblat? Ataukah pergeseran 11 derajat itu tidak lagi bisa dikategorikan menghadap arah kiblat?

Sayangnya, pembahasan tentang kiblat dalam kitab-kitab fikih kurang menyentuh hal itu. Pembahasan tentang kiblat biasanya hanya berkisar antara perbedaan pendapat ulama tentang kiblat, tentang ijtihad dan kesalahan ijtihad dalam menghadap kiblat, salat di dalam dan di atas Ka`bah, dan salat di atas kendaraan. Begitu yang tertulis dalam kitab klasik seperti al-Um dan al-Majmu`, atau kitab fikih kontemporer seperti al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh.

Di antara pendapat para pakar yang pernah diwawancarai oleh teman saya adalah Thomas Djamaluddin dan Ma`rufin Sudibyo. Kesimpulan yang didapatkan adalah pergeseran arah satu derajat akan mengarahkan kita beberapa kilometer dari arah kiblat, dan semakin jauh jarak kita dengan Ka`bah maka semakin besar kesalahan untuk setiap derajatnya. Maka, batas toleransi antara kota Kairo dengan Jakarta berbeda, jika saja pergeseran satu derajat dari kota Kairo itu melenceng sebesar 20 KM misalkan, maka satu derajat dari kota Jakarta bisa mencapai ratusan kilometer.

Lalu?
Dengan mempertimbangkan beberapa hal, hingga saat ini saya masih memandang bahwa pergeseran 15 derajat ke kanan atau ke kiri dari arah kiblat masihlah bisa disebut menghadap ke arah kiblat. Dengan artian, perbedaan arah kiblat beberapa masjid Kairo yang melenceng hingga 11 derajat masihlah bisa dikategorikan menghadap ke arah kiblat.

Di antara pertimbangan yang saya perhatikan adalah:
1.      Banyak dari masjid di kota Kairo dibangun sejak masa generasi Islam klasik, salah satunya adalah masjid Amru bin al-`Ash yang melenceng sebesar 11 derajat dari kiblat sejati. Perbedaan arah kiblat di beberapa masjid klasik ini menunjukkan bahwa para sahabat dan generasi setelahnya pun berpendapat bahwa menghadap kiblat itu cukup dengan menghadap ke arahnya saja.
2.      Kalaupun mengukur kiblat saat ini adalah perkara yang sangat mudah, namun konsisten terhadap arah kiblat sejati adalah hal yang sulit. Pergeseran satu sampai lima derajat adalah hal yang sangat sulit dihindari, apalagi di dalam salat. Lima derajat adalah pergeseran yang sangat kecil dan tidak akan terasa meski sebenarnya itu telah memalingkan kita puluhan kilometer dari arah kiblat sejati.
3.      Arah utara kompas tidak menunjukkan arah utara sejati. Arah utara kompas terkadang berubah ratusan kilometer dari arah utara sejati karena pengaruh pergeseran medan magnet bumi. Hal ini memperbesar kemungkinan kesalahan pengukuran arah kiblat dengan menggunakan kompas.
4.      Kompas pun bisa saja terpengaruh oleh medan magnet lokal dari suatu masjid. Ini yang dialami ketika saya mengukur arah kiblat masjid al-Fath Ramsis dan masjid Amru bin al-`Ash. Saya melakukan dua kali pengukuran arah kiblat di masjid al-Fath Ramsis, di dalam masjid kompas menunjukkan arah 125 derajat, sedangkan di luar masjid kompas menunjukkan arah 130 derajat. Bahkan ketika saya mengukur arah masjid Amru bin al-`Ash, perbedaan itu sering terjadi. Kompas terkadang menunjukkan arah 120, 130, 140, 125 yang menyebabkan saya harus mengukurnya berulang-ulang di berbagai sudut masjid.
5.      Jika pun terjadi perbedaan pengukuran arah kiblat dalam satu masjid seperti yang saya ceritakan di poin sebelumnya, maka kita tidak bisa menggunakan rata-rata dengan menjumlahkan derajat dan dibagi dengan jumlah pengamatan. Hal itu justru memperlebar kemungkinan kesalahan dalam pengukuran, karena arah kiblat tidak ditentukan dengan rata-rata namun dengan arah yang pasti.

Memang saya akui pendapat ini masih lemah dan cenderung hanya sebatas perkiraan yang kurang dibarengi dengan alasan yang kuat. Perlu dilakukan kajian yang lebih serius untuk menafsirkan kata “Jihah” menjadi satuan derajat dengan memperhatikan nas-nas yang berkaitan dan faktor-faktor lain untuk menghasilkan sebuah kesimpulan batasan arah kiblat yang diperbolehkan.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar