Puncak itu bernama Nagreg

Sore itu setelah hujan ceritakan indahnya lembah berhias bukit sekeliling, kabut embun tiba-tiba turun merayap meniti bukit belakang asrama, dan langkah-langkah kecil santriwati berkerudung putih dengan kitab mereka, aku serentak terpana akan wanginya udara surgawi dengan rintikan hujan yang masih membasahi. Lalu aku terdiam.



Terpaku mataku pada sosok manusia renta
Raut wajah tak kenal lelah mendidik mengajari membaca
Tak terhitung lagi segala keringat air mata dan jasa.

Ayah! Semua mata mengingat jerihmu menerobos masa
Bergelut dengan bermacam watak keras para santri
Yang bahkan terkadang durhaka dan tak tahu diri.

Kini, aku termenung di depan jendela, merindukan sejuknya udara yang kau hembuskan di lembah itu, merindukan saat kulahap nasi kuning dipuncak bukit pelindung rumah kita, merindukan saat kulihat ribuan mata menangis dipangkuanmu, rindu akan nasehatmu, tertawamu, serak suaramu, batukmu, wangimu, hembusan nafasmu, rintihan air matamu, tenangnya bisikanmu, teduhnya tatapan matamu.

Mungkin aku hanyalah satu dari sekian santrimu yang membandel,
Akupun tak yakin kau kan mengingat namaku dari sekian ribu muridmu
Pastinya aku hanya bisa mengingatmu tanpa perbuatan berarti.

Kaulah waliNya di muka bumi ini
Berjuang melawan kebodohan dan pembodohan
Hingga seluruh Pajajaran mengenali alif ba ta tsa
Dan malaikatpun kebingungan mencari lembaran baru untuk menuliskan semua catatan amalmu.

Ayah, di sisa umurmu ini, izinkanlah aku membalas jasamu meski sedikit, berikanlah ikhlas doamu agar indahnya lembahmu tetap terisi dengan ayat suci dan dzikir asma yang menggema, menggelora hingga getarkan jagat raya.

Lembah itu, puncak bukit itu, Nagreg, mozaik hidupku yang tak mungkin hilang, berbaur dengan segala kenangan dari indahnya Nil dan megahnya Piramid. Terimakasih Ayah, Allah kan selalu menjagamu. Cairo, 5 Mei 2011