Laman

17 Mar 2019

Pendidikan Fiqh Khilaf

Allahnya satu Rasulnya juga satu, kok bisa beda sih?


Dalam kelas khusus Bahtsul Masail di pesantren malam ini, saya bersama rekan-rekan mahasantri membahas tentang ragam pendapat para ulama tentang bersentuhan kulit antara lelaki dan wanita dalam hal membatalkan wudhu. Dan seperti pada pertemuan sebelumnya, materi kali ini juga diambil dari kitab al-Majmu' Syarah Muhadzdzab karya Imam Nawawi.

Dalam bukunya, Imam Nawawi menjelaskan ada tujuh pendapat para ulama tentang batal atau tidaknya wudhu karena bersentuhan kulit antara lelaki dan wanita beserta dalil masing-masing. Namun dari tujuh pendapat tersebut, hanya dua pendapat yang memiliki porsi penjelasan dalil paling banyak, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa bersentuhan kulit antara lelaki dan wanita membatalkan wudhu dan pendapat yang menyatakan tidak membatalkan wudhu.

Perbedaan pendapat itu setidaknya disebabkan karena dua hal: pertama adalah karena perbedaan penafsiran terhadap kata "laamastum" dalam ayat wudhu yang terdapat pada surat al-Maidah ayat 6 yang bisa bermakna menyentuh dan bisa bermakna kiasan untuk pergaulan suami istri. Penafsiran pertama kemudian memunculkan pendapat bahwa bersentuhan kulit lelaki dan wanita membatalkan wudhu dan ini yang dipegang oleh mazhab Syafi'i, sedangkan penafsiran kedua memunculkan pendapat  bahwa bersentuhan kulit lelaki dan perempuan tidak membatalkan waktu yang merupakan pendapat dari mazhab Hanafi. Sedangkan sebab kedua dari perbedaan pendapat tersebut adalah karena perbedaan penilaian dan penafsiran terhadap riwayat yang berkaitan dengan hal ini.

Selain dari dua pendapat tersebut masih ada lima pendapat lain dan seluruhnya berkisar antara kesengajaan dan syahwat, ada yang menyatakan batal jika disengaja, ada yang menyatakan batal jika dengan syahwat dan juga sebaliknya.

Dari pembahasan malam ini diketahui bahwa dalil al-Quran yang digunakan oleh ragam pendapat tersebut adalah sama, yang membedakan adalah penafsiran mereka terhadap dalil tersebut. Inilah yg sering saya sampaikan dalam beberapa kesempatan bahwa penulisan dalil saja tidak cukup, namun juga perlu ada penjelasan bagaimana dalil tersebut digunakan hingga memunculkan pendapat ini, bagaimana penafsiran para ulama terhadap dalil tersebut hingga akhirnya menjadi landasan dari pendapat mereka.

Penjelasan tentang penggunaan dalil ini sangatlah penting untuk menghindari kesalahan dalam penempatan dalil atau ketidakserasian antara dalil dengan perkara yang dibahas. Seperti suatu postingan instagram yang intinya melarang penggunaan gelang bagi lelaki, namun hadis yang digunakan adalah bahwa Allah melaknat lelaki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai lelaki. Maka muncul pertanyaan, apakah hanya dengan mengenakan gelang lantas seorang lelaki bisa disebut "mirip" dengan wanita? Justru inilah yang perlu dijelaskan, bagaimana bisa dalil itu menjadi landasan hukum bagi perkara yang sedang dibahas.

Contoh lain adalah penggunaan dalil hadis tentang larangan "tasyabbuh" dengan pihak lain. Hadis ini terlalu lentur hingga bisa ditarik kedalam banyak hal yang berkaitan dengan bermirip-mirip dengan pihak lain. Celana, jas dan dasi bisa saja diharamkan semata dengan hadis tersebut karena tiga hal itu bukan berasal dari kaum muslim.

Kajian Bahtsul Masail kali ini masih memberikan porsi yang banyak untuk membaca dan memahami teks ketimbang diskusi, dan bacaannya adalah kitab al-Majmu' yang cukup detail membahas tentang perbedaan pendapat serta dalil masing-masing. Sebagai pengenalan awal, para mahasantri memang perlu dibiasakan membaca kitab secara mandiri agar terbiasa menerapkan kaidah-kaidah nahwu dan sharaf yang telah mereka kuasai, dan agar jadi semakin terbiasa menghadapi istilah-istilah yang digunakan oleh para ulama, dan dalam praktek membaca pada kitab al-majmu' ini para mahasantri diharapkan mampu untuk membedakan antara pendapat satu dengan pendapat lain, membedakan argumentasi dari masing-masing pendapat dan memahami adu argumen yang terjadi dalam hal tersebut.

Tujuan utama dari kelas Bahtsul Masail ini adalah untuk memberikan pemahaman yang benar tentang khilafiyah kepada para mahasantri, agar mereka mengerti bahwa perbedaan pendapat dalam fiqh adalah hal yang lumrah, bahkan ternyata perbedaan pendapat itu tidak hanya antar mazhab namun juga terjadi di dalam mazhab itu sendiri sehingga pendapat yang mu'tamad dalam mazhab itu sejatinya merupakan pendapat yang paling rajih menurut masing-masing. Harapan besarnya, para mahasantri ini bisa menjadi agen perdamaian yang memberikan pemahaman yang baik bagi masyarakat tentang perbedaan pendapat fiqh yang ada di masyarakat, karena perbedaan pendapat fiqh tidak akan selesai dengan doktrinasi ataupun klaim kebenaran sendiri.

1 komentar: