Laman

27 Jul 2011

Alexandria…. Akhirnya tiba juga di sana…

Sebelumnya, Alexandria atau Iskandariyah adalah sebuah kota tua yang berdiri sejak zaman romawi kuno. Didirikan oleh Alexander the great, kira-kira tahun 332 SM. Sebuah kota yang sempat menjadi pusat peradaban di zamannya, memiliki perpustakaan yang terbesar di dunia ketika itu. Sebuah kota pelabuhan penting di Mesir, sebelum didirikannya Cairo oleh kerajaan Muslim. Untuk lebih lengkapnya, baca Wikipedia tentang Alexandria dan Alexander the great.



Lagu ceria dari J-Rocks menemaniku menuiskan perjalananku hari ini, setelah lelah berkutat dengan diktat kuliah selama dua bulan kurang lebih, akhirnya….. libur telah tiba..

Menari dan terus bernyanyi mengikuti irama sang mentari
Tertawa dan selalu ceria berikanku arti hidup ini…

Perjalanan dimulai dari Asrama sejak jam tujuh pagi (Jadwal seharusnya, tapi molor satu setengah jam! ;). Setelah lama menunggu, akhirnya kita berangkat juga.

Perjalanan seakan berbeda dengan biasanya di dalam kota. Sepanjang perjalanan kita disuguhi dengan pemandangan hijau layaknya di Indonesia! dengan jalan besar dan lurus, ditambah dengan truk-truk besar berkejaran, persis jalan Pantura arah Tegal ke Pekalongan! Subhanallah! Begitu rindunya aku dengan warna hijau, hingga melihat hamparan perkebunan saja sudah sangat senang sekali.

Kira-kira perjalanan memakan waktu 4 jam. Bandung – Cirebon. Kita sampai di tempat kira-kira setelah dzuhur. Tempatnya hampir sama dengan asramaku di Cairo, karena memang itu juga asrama yang dikhususkan untuk mahasiswa Al-Azhar. Rombongan turun dari bis langsung mencari kamar masing-masing. Satu kamar berkapasitas delapan orang. Indahnya ketika kubuka jendela dengan pemandangan laut membentang di sela-sela gedung bertingkat. Memang, jarak antara asrama kami dengan tepi pantai tak lebih dari seratus meter.

Setelah shalat dan makan, aku lebih senang untuk istirahat sejenak. Lelah karena perjalanan ditambah dengan sempitnya bus dan kakunya badan karena kurang bergerak, tak lupa juga karena kepalaku pusingnya minta ampun. Akupun terkapar di atas ranjang, tidur.

Ketika kubuka mata, ternyata sudah hampir setengah enam, masih ada waktu satu jam setengah menuju maghrib. Setelah mandi dan shalat, barulah kumulai mengobati penasaranku dengan Thawaf mengelilingi pantai. Subhanallah! Benar memang indah kota bernama Alexandria! Dengan pantai yang panjang membentang, dikelilingi oleh jalan besar dan gedung-gedung bertingkat! Ratusan bahkan ribuan orang berjejalan di sepanjang pantai hingga ke ujung pandangan. Dan tentunya lagi, Subhanallah! Tidak salah memang jika kita katakan wanita Mesir memang cantik!
Tak bosan aku berjalan-jalan di sore itu, meski sendirian di tengah lalu lalang manusia. Memandangi matahari yang semakin lama semakin menjingga dan turun seakan tenggelam di telan lautan. Tak terbayangkan bagaimana jika ternyata dalam waktu sekejap, air laut menyusut jauh ke tengah, pertanda datangnya tsunami. Bagaimana bisa aku menyelamatkan diri?

Jika dilihat di peta, mungkin asramaku terletak di sebelah timur kota, karena pantai yang terbuka di dekat asramaku hanya sekitar dua kilometer dari ujung yang tertutup untuk umum. Di ujung kanan sana terdapat sebuah istana dengan halamannya yang luas dan pantainya yang tertutup. Jalan raya besar yang terbentang sepanjang pantai pun hanya berhenti sampai situ, lalu berbelok masuk ke dalam kota. Taman Muntazah! Itulah namanya. Besok kita akan masuk ke sana.





Selesai aku berjalan hingga ujung dekat taman Muntazah, aku putuskan untuk kembali ke asrama, karena memang waktu sudah maghrib. Matahari sudah habis ditelan air laut, warna langit jingga bercampur ungu. Lampu-lampu berjejeran di pembatas jalan. Kita lanjutkan perjalanan esok hari.

Namun kawan, ketakjubanku lenyap sudah ketika malam tiba. Malam itu temanku mengajak untuk mengunjungi temannya yang memang tinggal di dekat situ, dekat dengan taman Muntazah. Awalnya kita berangkat melalui jalan di tepi pantai. Memang pantai selalu ramai meski hingga tengah malam. Lalu sebelum kita sampai di muntazah, kita berbelok ke kanan untuk masuk ke dalam. Gedung-gedung tinggi mengapit jalan yang kita lalui. Tak lama, pemandangan yang sudah biasa kita temui di Cairo. Sampah menumpuk, jalanan yang semrawut, musik arab bertalu-talu bersaing dengan beberapa toko yang menyetel kaset Murattal. Memang inilah Mesir!

Ah, melewati jalan ini mengingatkanku pada jalan di belakang pasar Ujung Berung. Bahkan di sana tidak kulihat sampah menumpuk seperti di sini. Meski tidak bisa kita generalkan seperti ini, namun setidaknya sudah mewakili salah satu sudut kota megah Alexandria. Aku berkesimpulan, ternyata Alexandria hanya indah di tepi pantai, selebihnya tak jauh dengan keadaan kota yang lainnya. Balapan angkot, vespa dengan musiknya yang gila, sampah yang tak terurus, parkiran mobil yang seenaknya, dan kafe-kafe yang menyediakan tempat duduk untuk menyedot Syisya.

Kita sampai di rumah temannya temanku, setelah mengobrol panjang, akhirnya dia sepakat untuk menjadi nafigator perjalanan kita di kota ini. Asik!

Hari ke dua…

Janji kita tadi malam berangkat pada jam sembilan pagi, namun seperti biasa, pasti mundur satu jam dari jadwal. Kita keluar asrama sekitar jam sepuluh, menuju tepi pantai di mana kita sudah ditunggu. Ternyata, dia telah menunggu kita di sana, di bawah terik matahari yang membuat kita para lelaki malu, karena dia wanita. Kenapa harus menunggu di terik matahari? Karena tak ada tempat berteduh seperti di seberang jalan, sedangkan kita memang akan menaiki bus yang lewat dari arah sini. Kami berlima, empat laki-laki dipimpin oleh seorang wanita sebagai penunjuk jalan.

Menunggu bis memang hal yang membosankan, apalagi dengan terik matahari ditambah bis yang seperti hanya dua di kota ini. lama sekali! Akhirnya lewat sebuah bis merah bertingkat, tapi berlawanan arah dari kita. Kita diberi tahu bahwa bis inilah yang akan kita naiki nanti. Bis tingkat, ber-AC! Bertuliskan di sampingnya doa Ya Allah, jadikanlah negeri ini negeri yang aman. Satu hal yang tak pernah kutemukan di Indonesia. Namun tetap,kita harus menunggu bis itu memutar arah. Ya Allah!

Mungkin setengah jam kita berjemur layaknya turis di pinggir jalan. Lalu bis merah yang tadi ditunjuk tiba. Dengan ongkos yang relatif lebih mahal, (3 Pond), kita naik ke dalam dan menuju lantai dua, agar bisa leluasa melihat pemandangan. Udara sejuk seketika berhembus, membuat kita nyaman dalam perjalanan ini. Ah, 3 pond untuk sebuah bis AC. Tak apalah!


Kita terus berbincang, sambil melihat pemandangan dan sesekali memotret pantai dari atas bis. Namun sayang, entah kenapa udara di bis terasa mulai memanas. Termometer di depan menunjukkan suhu yang semakin lama semakin naik. Ternyata ACnya mati! Ya Salaam! Kenapa lagi ini?

Terpaksa, jendela dibuka, kucari tempat duduk yang lebih dekat ke jendela agar lebih mendapatkan angin. Perjalanan kali ini mudah untuk diingat, karena kita hanya mengikuti jalan besar di tepi pantai dari ujung tadi hingga ujung sebelah barat di dekat Benteng Quite Bay (betulkah tulisannya seperti ini?) Sepanjang perjalanan, kita melewati Jembatan Stanley, lalu Bibliotika Alexandria, lapangan Mansyiyah, berbagai masjid dan bangunan yang unik, perpaduan antara bangunan lama dan arsitektur modern.


Beberapa kilometer sebelum benteng, kita bisa melihat benteng itu berdiri seolah-olah di atas air, memang karena letaknya persis di pinggir pantai. Lalu jika kita telusuri pandangan kita, seolah ada laut yang ada di depan kita ditutup oleh sebuah gerbang besar. Mungkin itu disengaja agar ombak yang masuk tidak terlalu besar.

Akhirnya kita sampai di tempat tujuan, di ujung jalan besar sebelah barat. Kita turun dari bis, dan bis melanjutkan perjalanan dengan berbelok ke kiri menjauh dari tepi laut. Sepertinya kita melewati sebuah pelabuhan kecil, semerbak bau Anyir tercium, tempat di mana para nelayan mendarat setelah mencari ikan. Pembatas di tengah jalan lebih lebar, ditumbuhi pohon kurma di kanan dan kiri.

Tak jauh, kita sedikit berbelok ke kanan. Di ujung pandangan terlihat benteng berwarna coklat berdiri megah. Dengan deburan ombak dari bawah dan beberapa orang yang mancing di tepi laut. Kita lalu berjalan mendekat, di sinilah salah satu tempat syuting film KCB, ketika Azzam berbicara dengan Pak Didi Petet. Ternyata aslinya lebih! Lebih kotor! Haha =D


Sayangnya kita tidak masuk ke dalamnya, karena memang dana yang tidak mencukupi. Sebenarnya, untuk masuk ke dalam hanya membutuhkan biaya 15 Pond, kira-kira 22 ribu Rupiah. Tapi nongkrong di tepi laut sambil ngobrol dan berfoto sudah cukup. Ombaknya tinggi! Mungkin memang di sini arusnya deras, atau memang cuacanya membuat ombak tinggi, padahal ketika itu panas terik sekali.


Setelah lama kita duduk, mengobrol dan puas ber-narsis ria, kita lanjutkan perjalanan ke sebuah masjid yang terletak agak jauh dari situ, namun cukup ditempuh dengan jalan kaki. Kita berziyarah ke makam Syaikh Bushairi, pengarang qasidah burdah. Beliau adalah salah satu ulama sufi yang cukup dihormati, lahir pada tahun 610 H dan wafat tahun 695 H. (1213-1296 M.) Kita disambut oleh sebuah masjid besar, dengan ruangan yang luas, tiang yang tinggi dan mihrab yang megah. Makam beliau tidak terletak di dalam masjid, namun di ruangan lain yang jika kita ingin ke sana, kita harus keluar dari masjid lalu turun di tangga sebelah kiri, melewati beberapa toko, hingga akhirnya ada pintu besi di sebelah kiri. Setelah kita masuk di pekarangan, kita akan lihat sebuah pintu di sudut yang lain dari masjid.


Konon, ini yang dinamakan dengan makam empat belas. Jadi di bawahnya terdapat empat belas makam ulama yang berdekatan, namun aku tak mendapatkan penjelasannya dengan jelas karena yang terlihat hanya dua makam saja di dalam. Makamnya bersih, terawat, tertutup oleh kaca, dan ruangannya berpendingin. Setelah berziyarah, berdoa dan mendoakan beliau, lalu kita beranjak menuju sebuah masjid lagi yang terletak di depan masjid besar tadi sebelah kanan. Aku lupa, siapa nama ulama yang di kubur di sini, namun apa salahnya kita mendoakan beliau kan?
Lalu kita istirahat sejenak di sebuah taman yang letaknya tepat di sebelah kanan masjid. Sebuah taman yang ditumbuhi pohon kurma tinggi, dengan tiang-tiang lampu dan bangku-bangku.

Setelah lama beristirahat, kita bersiap untuk pulang karena perjalanan masih akan berlanjut.

Perjalanan selanjutnya, Muntazah! Setelah istirahat di kamar, makan dan sebagainya. Kita bersama rombongan dari semua negara berangkat ke sana. (Ziyarah tadi bukan rombongan gratis dari Azhar, ada beberapa tempat yang memang kita tuju bersama semua rombongan dan dibiayai oleh Azhar, selain itu jalan-jalan sendiri dengan biaya sendiri.)

Muntazah, katanya ini istana raja Farouq yang berkuasa di Mesir mulai pada tahun 1936 (ketika berumur 16 tahun) hingga dikudeta oleh militer pada tahun 1952. Kehidupan beliau sangat mewah. Beliau memiliki beberapa istana, dan harta kekayaan yang berlimpah. Beliau dijuluki sebagai “Pencuri dari Cairo” oleh orang Mesir, beliau juga yang (menurut satu sumber) memerintahkan untuk membunuh Hasan Al-Banna. Kita tidah berbicara tentang sejarah di sini, kita lanjutkan perjalanan kita.

Aku tak tahu berapa ongkos masuk ke dalam, karena biaya ditanggung Al-Azhar. Setelah masuk, kita akan disambut dengan sebuah patung singa di sebelah kanan. Terlihat taman yang sangat luas dengan banyak pohon kurma yang tinggi menjulang. Rencananya kita ingin melihat matahari tenggelam dari tepi laut. Luasnya taman istana ini sangat menakjubkan, karena perjalanan kita ke tepi laut sangat jauh.



Di tepi laut, kita mendapatkan sebuah menara tinggi, mungkin itu adalah mercusuar, tapi aku pun tidak tahu pasti. Kita berjalan mendekati menara itu, melalui sebuah jembatan, kita sampai di pulau kecil. Kita terus berjalan menuju menara itu. Sepertinya ini adalah benteng yang sengaja dibuat untuk menahan derasnya ombak. Kau akan lihat benteng ini agak panjang dan lebar, menahan ombak yang masuk ke teluk. Ah, rasanya kurang memang jika ke muntazah tidak melihat matahari tenggelam dari sini.


Setelah malam menjelang, kita pulang untuk beristirahat. Cukuplah perjalanan hari ke dua ini, masih ada lima hari lagi mengelilingi indahnya Alexandria!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar