Laman

29 Jul 2011

Berbeda bukan berarti terpecah!!

Al-Qur'an dan Sunnah bukan barang jual beli, atau alat untuk saling caci maki.

Ada yang aneh di kalangan muslim saat ini, di sekitar kita bahkan di berbagai belahan dunia. Ketika perbedaan pendapat sudah bukan lagi sebagai ajang untuk saling introspeksi, saling belajar dan toleransi, namun telah jauh menjadi perpecahan, saling tuduh, bahkan permusuhan. Pernah kutulis di postingan yang lain, bahwa “Ikhtilaf” bukan berarti “Iftiraq”. Berbeda bukan berarti terpecah!



Ambil contoh dalam riwayat dari Ibnu Umar bahwa para sahabat bepergian dengan Rasulullah saw. ketika hari puasa, lalu sebagian mereka berbuka dan sebagian lainnya meneruskan puasa hingga maghrib, namun tak ada satupun sahabat yang mencela sahabat yang lain. Imam Malik berpendapat bahwa Basmalah tidak boleh dibaca ketika membaca Fatihah dalam shalat, Imam Syafi`i berpendapat bahwa Basmalah wajib dibaca seperti ayat Fatihah lainnya. Namun, Imam Syafi`i tak pernah sekalipun berkata jelek terhadap Imam Malik, begitu pun sebaliknya.

Kembali ke baris pertama, Al-Qur'an dan Sunnah seakan menjadi hal yang laku untuk diperdagangkan. Buku-buku yang menuliskan “Kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah” atau sejenisnya bertebaran dan sangat laku. Pengajian-pengajian dengan motto yang sama juga bertebaran dan banyak diikuti. Memang itu bagus! Sangat bagus! Mengingatkan umat muslim agar merujuk kepada keduanya. Hanya saja 'terkadang', ketika kalimat itu didengungkan dalam sebuah perbedaan pendapat, seolah-olah orang yang dikatai itu sama sekali tidak menjadikan keduanya sebagai sumber. Padahal tidak seperti itu.

Zaman semakin berubah, namun teks dalil akan tetap dan tidak akan berubah. Ketika zaman semakin maju, akan banyak hal terjadi yang hukumnya tidak kita temui dalam Al-Qur'an dan sunnah. Kloning, Menentukan Kelamin Janin, Mencangkok organ tubuh, Menyewakan rahim, meratakan gigi, operasi merubah bentuk tubuh dan berbagai masalah baru yang timbul dan tidak ditemukan dalilnya di dalam keduanya. Dalam hal ini, dibutuhkan seorang mujtahid yang memiliki naluri fikih dan telah mencukupi syarat-syarat untuk menentukan hukum tersebut. Namun, ketika permasalahan ini dipegang oleh orang yang kurang memahami aturan berijtihad, lalu datang ucapan “Kembali kepada Al-Qur'an dan sunnah”, maka semua hal tadi akan menjadi haram karena tidak akan ditemukan dalilnya di dalam keduanya. Maka orang sumbing biarlah sumbing, orang gagal ginjal biarlah gagal ginjal. Yang ada, nanti Segala macam inofasi dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keseharian manusia akan bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, karena tidak ada dalilnya!

Yang sangat disayangkan, ucapan seperti itu 'terkadang' seolah menafikan hasil ijtihad para ulama sejak zaman Abu Hanifah hingga saat ini. Bayangkan, berapa orang ulama dengan karyanya jika dikumpulkan sejak dulu hingga sekarang? Terkadang sering kita dengar perkataan “Kenapa harus melalui imam madzhab? Tidak langsung saja kepada Al-Qur'an dan Sunnah?” atau “Kita diperintahkan untuk mengikuti Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, bukan mengikuti imam madzhab!” atau “Madzhab-madzhab yang ada hanya memecah belah persatuan kaum muslim!” lalu dengan ucapan-ucapan tadi, bebas menyalahkan pendapat yang berbeda karena dianggap ‘tidak bersandar kepada Al-Qur'an dan sunnah’ atau "memisahkan diri dari jama`ah!".

Perlu diingat. Tidak semua orang mampu mendalami luasnya Al-Qur'an dan sunnah. Oleh karena itulah, kita tidak boleh gegabah untuk langsung menyelaminya. Bagai orang yang baru belajar renang, lalu langsung menceburkan diri ke lautan dalam. Baru memiliki sedikit kemampuan bahasa arab, lalu langsung membaca kitab-kitab hadis dan Al-Qur'an untuk mencari masalah-masalah fikih. Ketika ia menemukan dalil, ia berkata “di sini sudah JELAS-JELAS tertulis seperti ini, kita harus mengikutinya!” padahal tidak semua hukum akan kita temukan "JELAS" tertulis di keduanya, bahkan terkadang tersembunyi. Atau ketika tidak menemukannya, ia berkata “Aku tak menemukannya di dalam Al-Qur'an dan hadis, maka itu haram dilakukan!” Ya Iya lah! Perkara fikih dicari di kitab hadis atau tafsir! Tak jauh beda dengan mencari cincin di luar rumah karena terang, padahal hilangnya di dalam rumah.

Banyak orang berfikiran bahwa mempelajari agama, khususnya fikih cukup dengan mempelajari kitab-kitab hadis beserta syarahnya, atau juga Al-Qur'an dengan tafsirnya. Bukannya tidak bisa, itu bisa! Namun di dalamnya tidak akan sedetail dan selengkap jika kita cari permasalahan fikih di kitab fikih. Apakah para mujtahid yang mengarang kitab fikih itu tidak bersandar kepada dalil lalu membuat aturan ibadah sendiri? Apakah mereka menandingi Rasulullah dalam menentukan tata cara ibadah? Ataukah mereka hanyalah jalan bagi kita untuk belajar ilmu agama? Jika belum mempelajari sejarah madzhab dan biografi para ulama, janganlah gegabah dan merasa paling benar!

Dalam masalah mengirim pahala kepada orang mati misalnya. Setidaknya di dalam masalah ini ada dua pendapat, yang pertama meyakini bahwa pahala bisa saja sampai kepada sang mayit, dan pendapat kedua tidak meyakininya. Kita semua sepakat bahwa pahala dan dosa adalah urusan Allah, dan tidak ada andil manusia di dalamnya. Namun, golongan kedua mati-matian menolak pendapat pertama karena menganggap pemahaman mereka salah, dan begitu juga sebaliknya. Jika saja ingin membaca lebih banyak buku lagi, kedua pendapat ini memiliki dalil masing-masing berdasarkan dari Al-Qur'an dan Hadis.

Lalu, ketika kita pegang pendapat satu, sedangkan yang lain pegang pendapat satunya, apa yang harus dilakukan? Padahal keduanya adalah hasil ijtihad para ulama? dan mereka memiliki dalil! Akankah berdebat terus hingga terlihat mana yang paling benar? Padahal masalah ini sudah dibahas oleh para ulama sejak dulu! Maka akan sampai kapan kita berdebat? Ataukah berlomba-lomba untuk mengeluarkan dalil hingga siapa yang tidak bisa membalas di akhir, dia lah yang kalah? Jika seperti itu jadinya, apa bedanya perdebatan fikih dengan main kartu remi? Keluar satu kartu, lalu dilawan, lalu dikeluarkan lagi, lalu dilawan lagi, hingga terakhir yang tak bisa mengeluarkan kartu maka dia lah yang kalah. Sayang sekali jika dalil disamakan dengan kartu.

Mencela orang mukmin adalah perbuatan fasik! Rasulullah bilang seperti itu. Dan membunuhnya adalah perbuatan Kufur. Bahkan Allah memerintahkan kita untuk berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik, namun jika terpaksa berdebat, maka harus dengan cara yang lebih baik (Ahsan). Ketika seseorang bilang, “Kau salah! Dan kau mengedepankan hawa nafsu!” siapa yang menjamin jika ternyata dia sendiri lah yang sedang bernafsu karena kesal? Si A menuduh B adalah sesat atau bahkan kafir, lalu B juga menuduh A adalah demikian. Lalu, apa bedanya A dengan B? semuanya mengaku benar, semuanya merasa punya wewenang ilmiah untuk menyalahkan orang, semuanya mengaku paling berpegang pada Al-Qur'an dan sunnah. Lupa dengan Ayat 8 dari surat At-Tin. Padahal mereka semua “katanya” kaum muslim terpelajar. Aneh!

أليس الله بأحكم الحاكمين . الآية.

Jika sesama muslim saling menuduh, maka hilanglah peradaban Islam. Jika sesama muslim saling mengkafirkan, maka yang tersisa dari kaum muslim hanyalah golongannya saja. Wallahu A`lam.


6 komentar:

  1. -ikhtilaf- yg seharusnya tdk perlu di pertegkarkan

    BalasHapus
  2. Hanya masalahnya sekarang orang merasa "Paling" segalanya.... paling benar, paling pintar, paling selamat, paling a, b, c...

    Allah yang menciptakan kebenaran, dan hanya Ia yang tahu di mana letak kebenaran itu berada...

    BalasHapus
  3. Wah, keren nih tulisannya. Kelihatan seperti benar. Akan tetapi, kalau berdebat melawan kebatilan yg mengarah perpecahan ummat, maka debat harus dilakukan.

    Contohnya, golongan Wahabi menganggap sesat para Sufi secara pukul rata. Padahal faktanya, Mayoritas kaum Sufi adalah para ahli ibadah yg ihlas. Kecuali Sufi gadungan tentunya. Nah, apakah anggapan sepert kaum Wahabi itu harus dibiarka saja tan dilawan/didebat, sementara kaum Wahabi terus menerus menyebarkan fitnahnya kepada kaum Sufi? Dan fitnah tersebut terus menyebar karena dihembus-hembuskan dan dibikin buku panduannya.

    Tentunya sangat banyak tak terhitung kasus-kasus kebatilan kaum Wahabi. Silahkan jelaskan dulu satu kasus Sufi diatas. Bagaimana jadinya kalau penyebaran fitnah oleh kaum Wahabi itu dibiarkan saja tanpa dilawan/didebat? Thanks.

    BalasHapus
  4. Imam Ali R.A pernah berkata: a'riful haqqa ta'rifu ahlahu....artinya ketahuilah kebenaran maka engkau akan mengetahui pelakunya, Alquran dan Alhadist Insha Allah tak seorang muslim pun yang meragukan kebenarannya.....imam syafi'i pernah berkata: mazhabku yang paling benar daripada mazhab lainnya meski bisa saja terdapat kesalahan, dan mazhab yang lain benar tapi bisa saja mengandung kesalahan, artinya para imam terdahulu pun mengakui bahwa perbedaan mesti ada tanpa mengurangi rasa hormat dan toleransi mereka terhadap masalah khilafiyah dan mereka tidak didapati berselisih didalam masalah ushul ( prinsip )...wallahu a'lam

    BalasHapus
  5. Terima kasih sudah berkunjung... ^_^

    Ummu Aiman@
    Afwan.. Memang, pertamanya ana nulis ini ditujukan untuk "kaum" yang selalu merasa benar, ya seperti yang ditulis di atas tadi. Agar "sadar" bahwa kita juga memiliki sandaran yang jelas dari para ulama.

    Ana memang sama sekali tidak setuju dengan mereka, yang dengan mudahnya menyalahkan orang lain tanpa melirik bahwa kita juga memiliki dalil. Namun, semakin lama ana simak perdebatan yang ada, malah jauh dari hanya sebuah diskusi, itu malah sudah menjadi ajang saling sesat menyesatkan, saling ejek-ejekan, apalagi yang diejek adalah para ulama...

    Ana setuju, kita memang harus mencari kebenaran dan melawan penyimpangan, tapi jika memang mereka "keras kepala" dan tidak mau mengalah, sedangkan masalah2 yang diangkat memang sudah menjadi bahasan para ulama sejak jaman dulu dalam kitab2 mereka, lalu bagaimana? Sampai kapan kita berdebat?

    Itu yang ana pikirkan, Kita loh sama-sama Islamnya, tapi kenapa malah seperti minyak dan air? Perbedaan memang ada, tapi kan tidak dengan saling cela? Afwan kalo ada tulisan ana yang kurang enak dibaca... hehe =D

    Semoga Allah menyatukan kembali barisan kaum muslim... Amin..

    COmputer Tutorial@
    Iya kang, itu yang hlang dari kita, para Imam saja berbeda tapi saling menghormati, lah sekarang orang awam seperti kita malah saling merasa paling benar dan bebas untuk menyalahkan.

    Jika ada yang baik dari tulisan ana, silahkan diterima.. namun jika ada yang menurut antum kurang pas, silahkan diperbaiki... kita sama-sama belajar, semoga Allah memberi Hidayah...Amin ^_^

    BalasHapus
  6. tulisan yg keren kang

    BalasHapus