Laman

3 Agu 2013

Pembodohan Media atau Kebodohan Kita

Akhir-akhir ini kita benar-benar sangat disibukkan dengan krisis politik Mesir. Bahkan saya menilai bahwa krisis politik kali ini jauh lebih menguras pikiran dan perasaan kita ketimbang krisis politik saat revolusi dua setengah tahun yang lalu. Saat itu kita tidak melihat adanya perdebatan pro dan kontra tentang demonstrasi penggulingan Presiden Mubarok, pikiran kita pun terpusat pada kondisi keamanan yang mencekam dan proses evakuasi yang lamban dibanding negara lain.
Namun lain halnya dengan krisis kali ini. Krisis politik kali ini tidak lagi mengangkat isu perang melawan kediktatoran, namun lebih dari itu krisis ini telah diwarnai dengan isu agama dan kelompok. Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan yang memiliki posisi sentral di negeri ini pun diserang dengan berbagai suara miring terkait keputusan yang telah diambil oleh Grand Syaikh Ahmad Thayyib. Kita sebagai santri di al-Azhar pun seolah terserang panu jika tidak ikut mengomentari hal ini, terasa gatal.

Terlepas dari pro maupun kontra dalam hal kudeta terhadap Presiden Mursi, kita sepakat bahwa media informasi memegang peranan yang sangat penting di dalam masalah ini. Berbagai situs dan tulisan di jejaring sosial bertebaran laiknya kerikil yang tak terhitung. Berbagai tokoh pun berkomentar di beberapa media menambah ramai perdebatan tentang hal ini. Ini sangat terasa dalam komunitas kita di negeri ini, Masisir.

Beberapa hari lalu saya sempat dikejutkan oleh sebuah berita tentang pelarangan azan dan pengepungan para ulama Azhar di masjid Azhar saat salat zuhur. Berita ini pastinya tidak hanya mengagetkan saya, namun umat Islam di manapun yang mendengar kabar ini pun pasti akan terkejut. Siapa yang tidak kaget ketika mendengar kabar pelarangan azan terjadi di masjid tempat kiblat keilmuan Islam? Bahkan kurang dari dua jam berita ini telah ramai diperbincangkan di Indonesia melalui jejaring sosial.

Belakangan diketahui bahwa kabar ini ternyata bohong adanya. Beberapa rekan-rekan Masisir yang kebetulan berada di dekat tempat kejadian menafikan berita tersebut. Tidak lama setelah itu sumber awal berita itu pun meralat pemberitaan tersebut. Namun sayang, kabar tersebut sudah kadung tersebar ke mana-mana, bahkan meski telah diklarifikasi oleh berbagai pihak kabar itu pun masih saja tersebar di jejaring sosial. Penyebaran klarifikasi berita tidak secepat dan seluas penyebaran berita fiktif tadi.

Lagi-lagi terjadi masalah karena media informasi. Setelah dulu kita disibukkan dengan isu beberapa kelompok Islam Mesir yang mencoba mengambil pengaruh di dalam tubuh al-Azhar, sekarang kita pun kembali disibukkan dengan kesimpangsiuran berita yang menyebar di sekeliling kita tentang masalah krisis politik ini. Kenapa hal ini bisa terjadi?

Tidak bisa kita pungkiri lagi bahwa saat ini banyak dari kita yang sudah melupakan objektivitas dalam menilai media informasi. Yang ada hanyalah kepentingan, kepentingan dan kepentingan. Sering kali kita terlalu apatis terhadap berbagai media yang kita nilai telah menyebarkan fitnah dan menyudutkan kelompok kita. Di sisi lain kita pun sering terlalu percaya dengan media-media yang menyuarakan aspirasi kita dan menguntungkan kelompok kita.

Sering kali kita lupa bahwa saat kelompok kita tersudut kita adalah orang yang pertama kali mengajak berbagai pihak untuk melakukan tabayun atas pemberitaan itu. Lalu ketika kita memiliki kepentingan untuk menyuarakan aspirasi ataupun pendapat kita, kita pun seakan masa bodoh dengan apa yang kita sebut dengan tabayun tadi. Ketika sebuah berita datang dari media yang kita percayai maka kita percaya seratus persen kebenarannya, dan ketika sebuah berita datang dari media lain maka kita anggap itu sebuah kedustaan. Kepentingan, itulah kenapa kabar fiktif pun bisa tersebar begitu luasnya dalam waktu yang sangat singkat.

Media informasi memang memiliki kekuatan yang sangat besar, siapa yang menguasai media maka ialah yang menguasai dunia pada masa ini. Tidak heran berbagai pihak telah mengembangkan media informasi demi kepentingan masing-masing. Maka kita pun harus cerdas dalam membaca berbagai macam media dan kepentingannya yang berputar di sekitar kita.

Saya menyayangkan sebagian pihak yang selalu menyalahkan media informasi sebagai biang keladi dari setiap kejadian yang menimpa kelompoknya. Saya tidak mengatakan bahwa media informasi itu tidak pernah salah, namun yang lebih penting adalah kita harus belajar bagaimana cara yang bijak dalam mengonsumsi informasi.

Kita bisa saja menilai bahwa tidak ada media yang netral dan bisa objektif dalam membahas sebuah masalah, namun coba kita mengaca kepada diri kita sendiri apakah kita bisa objektif dalam menilai sebuah informasi?

Kita harus mau untuk membaca berita dari sumber manapun yang sampai ke hadapan kita. Setelah itu kita harus berhenti pada titik di mana berita itu masih memiliki kemungkinan salah dan benar, tidak langsung dipercaya ataupun ditolak mentah-mentah. Kita jangan sampai percaya seratus persen kepada suatu media manapun, kita harus memberi setiap media informasi porsi kepercayaan yang sama tanpa melebihkan satu di atas yang lain karena kepentingan yang kita miliki. Setelah membandingkan dan mempertimbangkan barulah kita sampai pada kesimpulan kita sendiri, apapun kesimpulan itu.

Itulah kenapa Irwan Kelana, Dzul Haqqi, dan beberapa insan media lain yang menjadi pemateri dalam kegiatan Semesta Menulis beberapa waktu lalu menolak untuk menyebutkan media mana yang bisa dan tidak bisa dipercayai saat ditanya tentang hal itu. Mereka justru menyerahkan kepada para hadirin agar bisa kritis dalam membaca dan menilai berbagai macam media informasi yang ada.
Kita tahu bahwa Allah telah mengajarkan kita untuk meminta kejelasan dari setiap informasi yang sampai kepada kita, namun terkadang berbagai macam kepentingan telah menutup mata dan hati kita dari kebenaran dan kemungkinan kebenaran dari pihak lain. Mari kita coba untuk menghilangkan kepentingan kita dalam menilai media meski itu sulit adanya, namun paling tidak dengan jalan itulah kita bisa lebih bijak dalam memberikan penilaian.

Sekarang kita tinggal memilih apakah hendak menyalahkan media informasi karena kita merasa mereka telah membodoh-bodohi kita, atau menyalahkan diri kita sendiri yang belum bisa membekali diri hingga bisa dibodoh-bodohi oleh kepentingan media informasi. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar