Laman

3 Agu 2013

Simbol Agama

Kita biasa mengenali agama seseorang melalui simbol yang ia gunakan. Ketika kita melihat seseorang bertato di lengannya maka perkiraan kita mengatakan ia bukanlah seorang muslim. Ketika kita melihat seorang wanita berkerudung dengan baju yang menutupi seluruh tubuh, maka perkiraan kita mengatakan bahwa ia adalah seorang muslim.
Ya, setiap agama tidak bisa dilepaskan dari simbol-simbol. Simbol-simbol itu digunakan untuk menunjukkan identitas penganut suatu agama. Simbol-simbol tersebut bisa berbentuk simbol secara hafriah seperti bulan sabit dan bintang, atau berbentuk pakaian, yang mengiringi perkataan dan perilaku penganut agama tersebut.

Sebenarnya simbol hanyalah sebuah bungkus, sebuah papan nama yang menujukkan sebuah entitas di dalamnya. Sikap beragama seseorang sebenarnya bisa dilihat dari perilaku orang tersebut, bagaimana dia bersikap, bagaimana dia bermuamalah, dan bagaimana ajaran agama itu terejawantahkan melalui perbuatannya sehari-hari. Maka, simbol agama adalah hal sekuder yang menghiasi perbuatan tersebut.

Tidak dipungkiri bahwa kita lebih sering memperhatikan simbol yang dipakai seseorang ketimbang entitas dirinya. Seorang lelaki yang menggunakan peci dan baju takwa seolah terlihat lebih beriman ketimbang lelaki yang menggunakan celana jeans bolong dengan rantai di sakunya.

Simbol-simbol seperti ini memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan beragama kita. Tidak heran jika sebagian kelompok memaksakan pihak lain agar simbol-simbol ini digunakan oleh mereka. Pemaksaan ini bisa berupa pandangan sinis terhadap pihak yang tidak menggunakannya dan bisa juga berupa anjuran dan paksaan dengan menggunakan berbagai macam dalil.

Contohnya adalahjanggut. Memang terdapat beberapa nas yang menganjurkan untuk memelihara janggut, sebagian pihak menilai bahwa anjuran ini hanya bersifat sunah dan lebih utama, dan sebagian pihak menilai bahwa anjuran ini mencapai derajat sebuah kewajiban. Namun pihak kedua sering kali memaksakan agar penafsirannya tentang janggut juga diamini oleh pihak pertama, mereka memaksa dengan berbagai cara agar pihak pertama memelihara janggut juga.

Dengan adanya paksaan seperti ini perhatian kita akhirnya tertuju kepada simbol janggut dan menomersekiankan entitas yang ada dalam dirinya. Maka tak heran jika muncul fatwa dari sebuah kelompok yang mengharamkan seseorang untuk bermakmum kepada orang yang memotong janggutnya. Padahal dalam kitab fikih janggut bukanlah ukuran kredibilitas seorang muslim untuk menjadi imam. Ukuran kredibilitas seorang imam diukur melalui indahnya bacaan, kemampuannya dalam penguasaan ilmu agama, perbedaan masa islamnya, perbedaan umurnya, dan beberapa hal lain.

Bentuk pemaksaan seperti ini lambat laun akan merubah simbol-simbol tadi menjadi sebuah ukuran kadar keberagamaan seseorang, menjadi sebuah entitas. Ketaatan kepada Allah akan diukur dengan bagaimana ia memperlakukan janggutnya, dan diukur dengan bagaimana pakaiannya, akhirnya ajaran Islam hanya akan terhenti pada simbol-simbol tersebut. Perlakuan seorang muslim kepada muslim lain, tutur kata dalam berbicara dan berdiskusi, akhlak dalam berbuat, pemilihan diksi dalam menulis, dan ajaran-ajaran Islam lain akan hilang dan tertutup dengan simbol-simbol tadi.

Padahal, selain karena dalil-dalil yang menganjurkan penggunaan simbol tersebut memiliki berbagai penafsiran yang berbeda, pemaksaan penggunaan simbol tersebut bisa jadi membuat sebagian orang menjauhi simbol-simbol tersebut.

Maka tidak heran jika kita melihat saat ini sebagian kaum muslim mengejek kaum muslim lain ketika seorang wanita bercadar, atau lelaki yang berjanggut tebal dan menggunakan celana yang “ngatung”. Ejekan itu datang bukan karena mereka membenci ajaran Islam atau simbol-simbol Islam, na`udzubillah. Ejekan tersebut timbul karena ketidaksuakaan atas sikap kalangan tertentu yang menjadikan simbol-simbol tersebut sebagai entitas yang wajib dimiliki oleh setiap muslim.

Yang ditakutkan adalah ketika sebagian kaum yang menggunakan simbol-simbol tersebut memberikan citra buruk terhadap agamanya. Kita melihat orang-orang berpeci dan berbaju putih kemudian melakukan pengrusakan ataupun tawuran, tidak masalah siapa pelaku dan korban di sini, keterlibatan simbol-simbol itu dalam konflik ini telah memperburuk citra Islam itu sendiri. Seorang pimpinan yang disegani oleh kelompoknya, menggunakan sorban dan baju putih, namun mencaci pihak lain yang tidak setuju dengan pola pikirnya. Apakah ini yang disebut Islam?

Kita pun melihat sebagian kalangan melakukan tindak terorisme dengan menggunakan simbol-simbol Islam, melawan pemerintah secara terang-terangan dengan memunculkan simbol-simbol Islam, menimbulkan kerusakan di muka bumi dengan menggunakan simbol-simbol Islam. Maka tidak heran jika saat ini kata “terorisme” tidak bisa dilepaskan dari kata “Islam”. Salah siapa ini?

Masyarakat kita sudah terbiasa menilai seseorang dari simbol yang digunakan, dan sayangnya mereka melihat simbol-simbol itu digunakan oleh orang yang tanpa sadar telah memperburuk citra Islam. Maka muncullah anggapan-anggapan buruk terhadap simbol-simbol Islam tersebut. Masyarakat dunia akan menilai buruk Islam karena sebagian pihak yang bersimbol Islam tidak bisa menjaga nama baik Islam itu sendiri.

Simbol-simbol Islam yang digunakan dalam politik, saat para pengguna simbol itu tidak bisa menjaga entitas dari simbol tersebut maka simbol itulah yang akan mendapatkan citra buruk. Saat partai Islam yang selalu menyerukan simbol-simbol keislaman tersandung sebuah kasus korupsi, perhatian masyarakat dan media pun tertuju kepada mereka. Kenapa? Karena ternyata seruan-seruan tentang simbol keislaman itu berbeda dengan entitas keislaman dalam dirinya.

Penggunaan simbol-simbol keislaman memang diperlukan untuk menunjukkan identitas kita, terlebih lagi karena masyarakat kita lebih sering menilai simbol ketimbang entitas yang ada dalam diri kita. Namun perlu diperhatikan bahwa saat kita menggunakan simbol tersebut kita pun bertanggungjawab untuk menjaga apa yang sedang diwakili oleh simbol tadi.

Maka, sebelummenggunakan simbol-simbol Islam, kita tanyakan kepada diri kita apakah kita mampu untuk menjaga nama Islam yang diwakilkan melalui simbol itu? Jika iya,maka silahkan gunakan simbol tersebut sesuai dengan tujuan. Namun jika tidak,maka hentikanlah penggunaan simbol-simbol Islam itu. Dampak buruk penyalahgunaan simbol itu tidak hanya akan menimpa kita sebagai pelaku namun juga akan menimpa Islam dan kaum muslim secara keseluruhan. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar