Perbedaan adalah suatu
hal yang tidak bisa dipungkiri oleh manusia, dalam surat Hud ayat 118 dikatakan
bahwa jika Allah berkehendak maka Allah akan menjadikan manusia sebagai umat
yang satu, namun manusia tetap akan saling berbeda. Apapun usaha manusia
menghindari perbedaan, pastilah perbedaan itu akan tetap ada.
Zaman semakin maju dan
saat ini perbedaan pun sangat jelas sekali terlihat. Dari hal kecil seperti
gerakan telunjuk ketika duduk tahiyat akhir, hingga hal besar seperti perbedaan
dalam menentukan hari raya Idul Fitri. Hal ini menjadikan kita sebagai kaum
muslim gerah, bagaimana bisa Rasulullah yang "sendirian" bisa mengajarkan hal yang
berbeda-beda dan saling bersebrangan? Logika apapun akan mengatakan bahwa
perbedaan bukan muncul dari Rasulullah, tapi dari generasi setelahnya.
Maka, setidaknya
terdapat dua kecenderungan kaum muslimin dalam memandang dan menyikapi
perbedaan yang telah terjadi. Kelompok pertama cenderung melihat perbedaan dengan
sudut pandang “mulai dari bawah ke atas”, yaitu menilai bahwa adanya golongan-golongan
yang saling berbeda inilah yang penyebab terpecahnya kaum muslim satu sama lain.
Seperti mazhab dalam
fikih. Menurut mereka, karena adanya empat mazhab maka hal itu menyebabkan kaum muslim
memiliki cara beribadah yang berbeda antara satu sama lain. Adanya organisasi
dan yayasan pun dianggap sebagai pemecah belah persatuan, padahal Allah dan
RasulNya memerintahkan kepada persatuan dan bukan perpecahan. Perpecahan dalam penafsiran mereka adalah masuk ke dalam golongan-golongan yang ada, dan itulah yang mereka tentang.
Mereka memiliki cara
yang sedikit ekstrim dalam menyikapi perbedaan yang ada. Yaitu dengan mengajak
kepada kaum muslim untuk kembali kepada asal yang satu dengan meninggalkan
golongan-golongan yang telah ada. Mereka melarang kaum muslim untuk bermazhab
dalam fikih yang nyatanya saling berbeda satu sama lain, mereka mengajak kepada
satu manhaj yang memiliki satu pendapat yang sama, terkadang mereka mengklaim
bahwa setiap pendapat yang mereka ambil itulah yang dimaksudkan oleh
Rasulullah, dan mereka pun mengklaim berada dalam manhaj suci yang dahulu rasul
dirikan.
Mereka berdalih dengan
surat Ali Imran 103, yaitu perintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah dan
larangan untuk berpecah. Dengan ayat ini mereka menafsirkan bahwa kaum muslim
tidak boleh terpecah dalam mazhab-mazhab yang berbeda pendapat, namun harus
menjadi satu kelompok yang sama dan tidak ada perbedaan.
Cara pandang seperti
ini terkadang menjadikan setiap perbedaan pendapat bagaikan sebuah golongan
yang terpisah dari golongan lain. Dalam masalah kunut misalkan. Mereka menganggap
bahwa kunut dalam subuh itu tidak disunnahkan, itulah maksud Rasulullah menurut
mereka, sedangkan mazhab yang menganggap kunut adalah sunnah dianggap tidak
mengikuti sunnah melainkan hanya taklid belaka. Maka, tak heran jika ada
perkataan yang menyebutkan bahwa Imam Nawawi (w. 676 H) membenarkan hadis
tentang kunut adalah bukan karena keilmuannya, namun "hanya" karena ia bermazhab
Syafi`i. Perkataan yang terlalu su`uzhan menurut saya.
Perdebatan yang tak
akan pernah usai akan muncul ketika mereka berusaha untuk menghapus segala macam
sekte dan mazhab agar kembali kepada jalan yang lurus dalam penafsiran mereka,
pastinya akan terus berbenturan dengan bangunan fikih yang telah dibangun sejak
masa-masa awal hijriyah hingga saat ini.
Lebih ekstrim lagi, ternyata
terdapat sebagian mereka yang sama sekali mengharamkan kelompok, dalam artian
tidak boleh bagi kaum muslim untuk membuat kelompok-kelompok baru, seperti
yayasan atau partai misalnya, karena itulah penyebab perpecahan menurut mereka.
Mereka melihat bahwa pendirian kelompok-kelompok inilah yang kelak akan memecah
belah suara kaum muslim, hingga akhirnya mereka memvonis orang-orang yang
berkelompok itu telah keluar dari jama`ah. Perang yang mereka lancarkan justru
ditujukan kepada sesama golongan mereka yang telah mendirikan sebuah yayasan
atau kelompok lain di dalam tubuh mereka.
Karena sudut pandang
mereka ini, maka mereka terkadang tidak bisa mengelak ketika terdapat sedikit
perbedaan di dalam tubuh mereka sendiri. Setiap perbedaan yang terjadi di dalam
kelompok mereka akan menjadikan perdebatan panjang hingga akhirnya berujung
pada klaim kebenaran sendiri dan vonis menyimpang pada orang yang berbeda
pendapat tadi.
Lain hal dengan
kelompok ke dua. Kaum muslim dengan kecenderungan kedua adalah kelompok yang
memandang perbedaan “mulai dari atas ke bawah”. Yaitu melihat bahwa perbedaan antara
sesama muslim terjadi bukan karena adanya kelompok-kelompok dalam Islam, tapi
karena dari asalnya pun sudah berbeda.
Dalam masalah ibadah
misalnya. Menurut mereka, perbedaan terjadi bukanlah disebabkan oleh adanya
mazhab-mazhab yang berbeda, namun disebabkan oleh adanya riwayat yang
berbeda-beda. Contohnya ketika ada satu riwayat yang menyatakan bahwa menyentuh
wanita bagi seorang lelaki itu membatalkan wudlu dan riwayat lain menyatakan bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudlu, perbedaan riwayat inilah
yang menjadikan adanya perbedaan pendapat antara satu dan lainnya. Bukan karena
si A bermazhab Syafi`i maka ia bilang batal dan karena B mazhab Hanafi maka ia
bilang tidak batal.
Kecenderungan mereka yang
melihat perbedaan dari asalnya itulah yang menjadikan perbedaan yang ada di
antara mereka hanyalah berkisar pada perbedaan yang disebabkan oleh riwayat
yang ada. Maka tak jarang terdapat beberapa persamaan pendapat antara mazhab
satu dengan mazhab lain. Seperti dalam masalah niyat wudlu, menurut mazhab
Syafi`i, Maliki dan Hanbali adalah wajib, sedangkan menurut mazhab Hanafi
adalah sunah.
Pun begitu, terkadang dalam
satu mazhab bisa saja terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Contohnya mazhab
Syafi`i, dalam mazhab Syafi`i setidaknya terdapat empat kriteria tentang air
dua kulah, masing-masing memiliki sandaran sendiri yang berbeda satu sama lain.
Dan masih banyak perkara yang memiliki beberapa pendapat dari para ulama mazhab
Syafi`i telah dikumpulkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj al-Thalibin.
Perbedaan itu ada tidak
lain adalah karena masing-masing ulama berijtihad dengan menggunakan berbagai
macam riwayat yang ada, ditambah lagi dengan kemampuan bahasa dan pemahaman
masing-masing mujtahid yang berbeda, pergaulan dan tempat bermukim
masing-masing mujtahid, menjadikan dalam satu mazhab pun terdapat beberapa
pendapat. Hal ini pun terjadi dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali.
Menurut kelompok kedua
ini, perbedaan adalah suatu hal yang lumrah hingga pertentangan pendapat tidak
akan menyebabkan perpecahan, karena perbedaan ini telah ada sejak dulu, dalam
artian para sahabat pun telah mengalami perbedaan pendapat, dan itulah yang
diriwayatkan hingga sampai kepada masing-masing mujtahid. Maka jika seperti
itu, siapa yang benar dan siapa yang akan disalahkan?
Dalam riwayat dari
Imam Nasai (w. 303 H) dikatakan bahwa suatu saat Rasulullah bepergian bersama
Aisyah untuk melaksanakan Umrah, dan dalam perjalanan Aisyah melaksanakan
shalat empat rakaat tanpa diqasar sedangkan Rasulullah melaksanakan shalat dua
rakaat dengan diqashar, Aisyah juga tetap melaksanakan puasa sedangkan
Rasulullah membatalkan puasanya karena perjalanan. Meski berbeda, namun saat
itu Rasulullah sama sekali tidak mencela Aisyah, bahkan beliau memujinya dan
membenarkannya. Jika melihat riwayat seperti ini, siapa yang akan diikuti?
Apakah wajib mengikuti Rasulullah dengan mengqasar shalat dan membatalkan puasa
dalam perjalanan? ataukah boleh mengikuti Aisyah dengan melengkapkan shalat dan
meneruskan puasa jika mampu? dan salahkah kita jika mengikuti Aisyah?
Maka, sejatinya
perbedaan pendapat khususnya dalam masalah fikih tidaklah harus selalu berujung
pada keributan dan saling menuduh, karena masing-masing telah memiliki sandaran
atas apa yang dikerjakan. Generasi salaf pun tidak pernah meributkan masalah
fikih hingga saling jotos, kenapa kita justru saling ngotot setiap ada
perbedaan? Umat Islam hanya akan berada dalam posisi stagnan jika hanya
meributkan masalah telunjuk ketika tahiat dan masalah Ushalli. Wallahu
A`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar