image: http://www.tammyswoish.com |
Menulis adalah kegiatan yang ingin saya geluti sejak dulu, sejak
saya menginjak bangku sltp dan slta di pesantren rasanya iri ketika melihat
orang bisa menulis di mading pesantren, saya sering berfikir bagaimana mereka
bisa menulis sebanyak ini dan dibaca oleh orang lain. Namun sayangnya,
disamping kegiatan pesantren yang begitu padat, saya pun memiliki nilai buruk
dalam tulisan tangan, saya sendiri pun malas untuk membaca tulisan tangan saya
sendiri, bagaimana dengan orang lain? Akhirnya saya urungkan niat saya untuk mulai
menulis.
Beberapa waktu setelah saya lulus dari pesantren, kemauan
untuk menulis pun tetap ada, dan akhirnya dahaga untuk menulis pun tercurahkan
ketika saya mulai mengenal seorang wanita dan mulai menulis sekelebat-sekelebat
puisi. Maklum lah, cinta memang biasanya membuat hal-hal yang biasa menjadi
tampak indah, sepertrinya hampir semua orang akan mendadak menjadi Chairil
Anwar ketika ia terkena demam cinta. Dan itu juga yang menimpa saya ketika itu,
kata-kata biasa pun rasanya indah sekali, tulisan tangan saya yang hancur pun
seolah berubah menjadi indah dan pantas untuk mendapat nilai B+.
Beberapa lama saya terus menulis, ya hanya sekedar puisi
yang jika sekarang dibaca lagi pun hanya akan mengundang tawa. Ketika akhirnya
saya dibelikan komputer oleh orang tua, semangat menulis saya lebih muncul ke
permukaan, karena saya sudah tak usah lagi mengeluh ketika membaca ulang
tulisan saya, dan menulis lewat tuts keyboard jika dilatih pun akan bisa jauh
lebih cepat ketimbang menulis dengan pulpen. Saat itu saya berpikir, saya harus
bisa menulis bukan hanya sekedar puisi, saya harus bisa menulis lebih dari ini,
yah paling tidak bisa menulis seperti Zuhairi Misrawi atau Gunawan Muhammad misalkan.
Problema yang paling pertama saya dan hampir semua penulis
pertama dapatkan adalah kebingungan ketika kedua tangan telah menyentuh tuts
keyboard. Bingung memikirkan apa yang harus ditulis, bagaimana cara
menyampaikan ide, bagaimana gaya bahasa dan gaya tulisan yang bagus. Saya ingin
memiliki gaya tulisan seperti Andrea Hirata yang dengan tulisannya yang datar
namun bisa membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Atau seperti Tere Liye yang
mampu membuat hampir semua orang yang membaca novelnya—Hafalan Shalat Delisa—menangis,
padahal ia hanya bercerita tentang gempa lalu air tsunami yang menimpa kampung
dan Delisa yang sedang menghafal bacaan shalat. Tapi akhirnya saya berfikir,
mereka adalah penulis profesional, sudah pastilah mereka mampu. Perlu waktu
untuk mencapai derajat itu.
Saya terus menulis, setidaknya menulis tanpa memikirkan
dahulu bagaimana gaya bahasa atau tulisan saya. Terus menulis, menuliskan apa
saja, ide, makalah, atau cerita. Jadi ataupun tidak, saya tetap menyimpannya di
dalam sebuah folder di komputer. Semakin lama saya baru menyadari perkembangan
gaya tulisan dan bahasa saya sejak pertama kali mulai menulis di komputer ini. Dari
awal saya menggunakan kata “ane” untuk saya, lalu “aku” hingga “saya”, dari
tulisan yang memboros banyak kata hingga satu ide bisa sepuluh halaman menjadi tulisan-tulisan
yang bisa menyampaikan sebuah ide hanya dalam tiga sampai empat halaman.
Pastinya pembaca akan bosan jika membaca tulisan yang sangat panjang namun
kurang menarik.
Saya masih ingat ketika dua kali saya menjadi pemakalah
dalam sebuah diskusi, makalah yang saya buat membutuhkan sepuluh halaman
kertas. Saat itu saya berfikiran bahwa tulisan ini meman tidak bisa untuk
diperpendek, namun berulang kali diskusi berjalan saya pun menyadari bahwa
dalam diskusi saya lebih suka untuk mendengarkan penyampaian pemakalah
ketimbang harus membaca makalah, lah lalu bagaimana dengan makalah yang
panjangnya sepuluh halaman? Meringkas tulisan itu perlu!
Di samping itu saya juga ikut berkecimpung dalam buletin bulanan
mahasiswa, semakin sering berkecimpung dengan dunia jurnalistik dan tulis
menulis membuat saya lebih berkembang lagi, saya jadi tahu bagaimana gaya
tulisan sebuah reportase, opini, tulisan redaksional, piramida terbalik, essay,
dan sebagainya. Dalam titik ini saya menyadari perkembangan tulisan sejak pertama
kali menulis puisi-puisi alay hingga saya mampu untuk membuat sebuah reportase
atau sebuah makalah yang ringkas, singkat dan padat.
Pelatihan menulis itu sebenarnya hanya membantu kita 15%,
selebihnya adalah praktek. Puluhan tahun mempelajari teori berenang belum tentu
menjadikan kita perenang sejati jika tidak mulai untuk praktek. Pelatihan menulis
hanya berguna jika anda memang ingin mengoleksi makalah dan mendapatkan makanan,
selebihnya anda hanya akan mengantuk mendengarkan pelatih berbicara. Maka terjun
menulis itu lebih baik daripada hanya ikut pelatihan tanpa praktek. (Meski
sebenarnya pelatihan juga ada manfaatnya)
Dalam titik ini pun saya masih iri melihat berbagai macam
orang yang telah memiliki blog atau catatan di pesbuk yang rajin sekali diisi banyak
dibaca orang lain. Sedangkan saya masih bisa menulis hanya ketika ada keinginan
untuk menulis, selebihnya tetap malas. Ayo lah menulis…
yeee a fahm terus menuliss yaa icaa pembaca setiaa :) insya Allah haha
BalasHapusHaha.... aa udah lama ngga buka blog cha.. lama juga ngga ngisi.. :)
Hapusyah, sama-sama lah... terus nulis cha.. :D