Laman

5 Jul 2012

Proses menulis itu perlu...


image: http://www.tammyswoish.com
Menulis adalah kegiatan yang ingin saya geluti sejak dulu, sejak saya menginjak bangku sltp dan slta di pesantren rasanya iri ketika melihat orang bisa menulis di mading pesantren, saya sering berfikir bagaimana mereka bisa menulis sebanyak ini dan dibaca oleh orang lain. Namun sayangnya, disamping kegiatan pesantren yang begitu padat, saya pun memiliki nilai buruk dalam tulisan tangan, saya sendiri pun malas untuk membaca tulisan tangan saya sendiri, bagaimana dengan orang lain? Akhirnya saya urungkan niat saya untuk mulai menulis.


Beberapa waktu setelah saya lulus dari pesantren, kemauan untuk menulis pun tetap ada, dan akhirnya dahaga untuk menulis pun tercurahkan ketika saya mulai mengenal seorang wanita dan mulai menulis sekelebat-sekelebat puisi. Maklum lah, cinta memang biasanya membuat hal-hal yang biasa menjadi tampak indah, sepertrinya hampir semua orang akan mendadak menjadi Chairil Anwar ketika ia terkena demam cinta. Dan itu juga yang menimpa saya ketika itu, kata-kata biasa pun rasanya indah sekali, tulisan tangan saya yang hancur pun seolah berubah menjadi indah dan pantas untuk mendapat nilai B+.

Beberapa lama saya terus menulis, ya hanya sekedar puisi yang jika sekarang dibaca lagi pun hanya akan mengundang tawa. Ketika akhirnya saya dibelikan komputer oleh orang tua, semangat menulis saya lebih muncul ke permukaan, karena saya sudah tak usah lagi mengeluh ketika membaca ulang tulisan saya, dan menulis lewat tuts keyboard jika dilatih pun akan bisa jauh lebih cepat ketimbang menulis dengan pulpen. Saat itu saya berpikir, saya harus bisa menulis bukan hanya sekedar puisi, saya harus bisa menulis lebih dari ini, yah paling tidak bisa menulis seperti Zuhairi Misrawi atau Gunawan Muhammad misalkan.

Problema yang paling pertama saya dan hampir semua penulis pertama dapatkan adalah kebingungan ketika kedua tangan telah menyentuh tuts keyboard. Bingung memikirkan apa yang harus ditulis, bagaimana cara menyampaikan ide, bagaimana gaya bahasa dan gaya tulisan yang bagus. Saya ingin memiliki gaya tulisan seperti Andrea Hirata yang dengan tulisannya yang datar namun bisa membuat saya tertawa terpingkal-pingkal. Atau seperti Tere Liye yang mampu membuat hampir semua orang yang membaca novelnya—Hafalan Shalat Delisa—menangis, padahal ia hanya bercerita tentang gempa lalu air tsunami yang menimpa kampung dan Delisa yang sedang menghafal bacaan shalat. Tapi akhirnya saya berfikir, mereka adalah penulis profesional, sudah pastilah mereka mampu. Perlu waktu untuk mencapai derajat itu.

Saya terus menulis, setidaknya menulis tanpa memikirkan dahulu bagaimana gaya bahasa atau tulisan saya. Terus menulis, menuliskan apa saja, ide, makalah, atau cerita. Jadi ataupun tidak, saya tetap menyimpannya di dalam sebuah folder di komputer. Semakin lama saya baru menyadari perkembangan gaya tulisan dan bahasa saya sejak pertama kali mulai menulis di komputer ini. Dari awal saya menggunakan kata “ane” untuk saya, lalu “aku” hingga “saya”, dari tulisan yang memboros banyak kata hingga satu ide bisa sepuluh halaman menjadi tulisan-tulisan yang bisa menyampaikan sebuah ide hanya dalam tiga sampai empat halaman. Pastinya pembaca akan bosan jika membaca tulisan yang sangat panjang namun kurang menarik.

Saya masih ingat ketika dua kali saya menjadi pemakalah dalam sebuah diskusi, makalah yang saya buat membutuhkan sepuluh halaman kertas. Saat itu saya berfikiran bahwa tulisan ini meman tidak bisa untuk diperpendek, namun berulang kali diskusi berjalan saya pun menyadari bahwa dalam diskusi saya lebih suka untuk mendengarkan penyampaian pemakalah ketimbang harus membaca makalah, lah lalu bagaimana dengan makalah yang panjangnya sepuluh halaman? Meringkas tulisan itu perlu!

Di samping itu saya juga ikut berkecimpung dalam buletin bulanan mahasiswa, semakin sering berkecimpung dengan dunia jurnalistik dan tulis menulis membuat saya lebih berkembang lagi, saya jadi tahu bagaimana gaya tulisan sebuah reportase, opini, tulisan redaksional, piramida terbalik, essay, dan sebagainya. Dalam titik ini saya menyadari perkembangan tulisan sejak pertama kali menulis puisi-puisi alay hingga saya mampu untuk membuat sebuah reportase atau sebuah makalah yang ringkas, singkat dan padat.

Pelatihan menulis itu sebenarnya hanya membantu kita 15%, selebihnya adalah praktek. Puluhan tahun mempelajari teori berenang belum tentu menjadikan kita perenang sejati jika tidak mulai untuk praktek. Pelatihan menulis hanya berguna jika anda memang ingin mengoleksi makalah dan mendapatkan makanan, selebihnya anda hanya akan mengantuk mendengarkan pelatih berbicara. Maka terjun menulis itu lebih baik daripada hanya ikut pelatihan tanpa praktek. (Meski sebenarnya pelatihan juga ada manfaatnya)

Dalam titik ini pun saya masih iri melihat berbagai macam orang yang telah memiliki blog atau catatan di pesbuk yang rajin sekali diisi banyak dibaca orang lain. Sedangkan saya masih bisa menulis hanya ketika ada keinginan untuk menulis, selebihnya tetap malas. Ayo lah menulis…

2 komentar:

  1. yeee a fahm terus menuliss yaa icaa pembaca setiaa :) insya Allah haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haha.... aa udah lama ngga buka blog cha.. lama juga ngga ngisi.. :)
      yah, sama-sama lah... terus nulis cha.. :D

      Hapus