Anda mungkin sering mendapatkan berbagai macam buletin mahasiswa di komunitas Masisir ini. Di antara buletin itu ada yang hanya anda lihat sampulnya kemudian anda simpan, ataupun anda cari tulisan yang menarik lalu anda membacanya. Terlepas dari apa pendapat anda tentang kehadiran berbagai macam buletin ini, saya ingin coba menangkap beberapa fungsi dari kehadiran mereka di komunitas ini.
Maka, fungsi dasar
adanya media mahasiswa seperti buletin atau website adalah sebagai ajang bagi
para mahasiswa untuk berlatih menulis. Memang, menulis bukanlah hal yang mudah.
Perlu latihan untuk mengurutkan logika yang ada di kepala agar kemudian
diterjemahkan dalam untaian-untaian kata. Sebagaimana ucapan pendiri buletin TëROBOSAN,
Syarifuddin Abdullah, yang tertulis di buku Ketika aku menjadi kru TëROBOSAN,
“Menulis adalah berfikir secara teratur”
Selain itu juga media
mahasiswa bisa menjadi tempat untuk berdialog dengan cara dewasa. Memang dialog
bisa saja dilakukang di jejaring sosial Facebook, bahkan dialog itu akan terasa
lebih seru ketika kita saling beradu argumen di dalam sebuah rentetan komentar.
Namun terdapat perbedaan yang sangat jauh antara menulis sebuah artikel di
sebuah media dengan menulis di jejaring facebook.
Menulis sebuah artikel
di media membutuhkan pemilihan diksi yang tepat. Kita tidak bisa asal meluapkan
ide sebagaimana ketika kita menuliskan sebuah komentar di facebook.
Pertanggungjawaban yang dimintai ketika menulis sebuah artikel di media jauh
lebih tinggi ketimbang pertanggungjawaban yang akan dimintai ketika menulis
sebuah catatan di facebook. Pembaca artikel di media tidak terbatas hanya teman
yang ada di facebook, bahkan tulisan yang kita tulis masih akan bertahan hingga
puluhan tahun ke depan.
Di sisi lain, semua
orang bisa menulis dan menuangkan idenya di facebook, namun tidak semua orang
bisa menuliskan sebuah artikel yang berkualitas di sebuah media. Kita memang
bisa sembarang meluapkan emosi kekesalan kita dengan menuliskannya di dalam
sebuah komentar, namun kita tidak bisa melakukan hal itu ketika menulis di
media.
Media mahasiswa juga
berfungsi sebagai catatan sejarah. Kita tahu bahwa anggota komunitas Masisir
ini akan selalu berubah setiap tahunnya. Bahkan setiap lima tahun masisir akan
memiliki anggota komunitas yang benar-benar baru dan berbeda dengan anggota
lima tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan Masisir benar-benar tidak akan
mengetahui apa yang terjadi di komunitas ini lepas tiga tahun sebelum
kedatangan mereka ke negeri ini. Masisir terputus dari sejarahnya.
Memang, banyak
kejadian tabu yang lebih baik tidak diceritakan kepada generasi setelahnya.
Namun banyak hal yang jika kita tidak melihat kepada sejarah maka kita akan
kehilangan pijakan. Seperti halnya sistem SGS yang diterapkan PPMI melalui
Musyawarah Besar pada tahun 2003 yang lalu. Sebagian mahasiswa saat ini menyalahkan
bahkan mengkritik rumitnya sistem yang digunakan oleh PPMI dalam berorganisasi.
Kenapa PPMI menggunakan trias politika sebagai sistem keorganisasian? Kritik
itu biasanya didasari oleh pola pikir mahasiswa saat ini yang tidak mau
disibukkan dengan rumitnya sistem yang ada di tubuh PPMI, namun tidak didasari
dengan pemahaman atas pola pikir mahasiswa saat itu.
Untuk memahami kenapa
sistem yang ada ini diterapkan, maka kita harus mengetahui apa alasan dan
bagaimana keadaan mahasiswa saat sistem ini mulai dijalankan. Kita harus tahu
sejarah awalnya. Dan cara untuk mengetahuinya hanya ada dua, yaitu bertemu
langsung dengan pelaku sejarah atau membuka kembali arsip berita yang
menjelaskan tentang hal itu. Hal ini diperlukan agar kita tidak menghukumi hal
yang telah terjadi di masa lalu dengan pola pikir masa kini.
Media juga memberikan
tempat bagi kaum yang merasa terzalimi ataupun kaum yang sedang berkuasa. Tugas
media adalah memberikan tulisan secara objektif, dengan cara memberikan
kesempatan yang sama bagi dua belah pihak yang berseteru untuk memberikan
pendapat atau pembelaan atas apa yang menimpa dirinya.
Contohnya saja dalam
kasus suap yang menerpa presiden Partai Keadilan Sejahtera yang memang memiliki
basis simpatisan di komunitas kita ini. Saya memperhatikan bahwa kasus ini
seolah menjadi kesempatan emas bagi pihak yang kurang suka terhadap partai ini
untuk menghujat dan melancarkan serangan. Berbagai macam komentar dan status yang
senada memenuhi beranda facebook selama berhari-hari. Di sisi lain, para
simpatisan partai ini pun seolah memberikan pembelaannya lewat status-status
yang mereka buat. Terjadi perang terbuka antara kedua belah pihak meski tidak
dengan cara konfrontasi langsung.
Namun kembali ke
paragrap atas bahwa diskusi yang diadakan di jejaring sosial facebook terkadang
lebih banyak diisi dengan olok-olok dan cemoohan, bahkan jauh dari pada kata
pantas bagi seorang mahasiswa. Maka, media seharusnya memberikan kesempatan
yang sama pada mereka untuk menuliskan pendapatnya. Terlepas dari apakah mereka
mau menulis atau tidak, atau mereka lebih memilih untuk berdebat kusir di
jejaring sosial.
Kasus yang sama sering
terjadi antara PPMI dengan Masisir. Seperti biasa, pihak yang berkuasa akan selalu
memiliki lawan politik yang tidak rela dengan program yang dicanangkan. Banyak
kritik disampaikan kepada PPMI di setiap periode, di antaranya ada yang
melancarkan kritik dengan cara dewasa ada juga yang mengkritik dengan cara yang
kurang etis.
Ketika berita tentang
serangan Israel terhadap penduduk Gaza santer diberitakan, beberapa bulan lalu,
ada beberapa pihak yang kecewa terhadap PPMI atas diamnya mereka terhadap isu
kemanusiaan ini. Akhirnya salah satu oknum dari pihak itu membuat sebuah gambar
yang di dalamnya terdapat beberapa foto korban penduduk Gaza, lalu di dalamnya
terdapat tulisan yang menyatakan bahwa naluri PPMI telah mati karena hingga
serangan di hari yang ke sekian PPMI tidak melakukan tindakan yang berarti.
Akhirnya foto itu disebarkan di jejaring sosial facebook dengan menandai
beberapa orang pejabat PPMI dan beberapa pihak lain.
Menurut kaca mata
saya, seorang mahasiswa seharusnya bisa melancarkan kritik dengan cara yang
lebih etis, dengan cara mahasiswa. Pihak yang menerima kritikan pun akan
memberikan respon yang berbeda ketika kritik itu dilancarkan dengan cara yang
berbeda pula.
Saat ini pun PPMI
dinilai kurang bisa mensosialisasikan programnya kepada kalangan Masisir.
Menurut survey yang dilakukan oleh TëROBOSAN, 55% koresponden
menilai bahwa sosialisasi program DPP PPMI kurang menyeluruh, kurang bisa
menyentuh Masisir keseluruhan (Lihat: TëROBOSAN edisi 350, 22
Februari 2012). Belum lagi terkait keberadaan BPA dan MPA serta berbagai macam
programnya yang seolah sama sekali tidak tercium oleh Masisir. Tidak ada
penjelasan tentang urgensi berbagai macam sidang yang diadakan BPA dan MPA,
bahkan tidak ada penjelasan mengenai tugas masing-masing lembaga di PPMI. Maka,
apakah PPMI hanya akan menyalahkan Masisir yang tidak mau datang karena merasa
telah melakukan tugasnya semaksimal mungkin?
Masisir ini memiliki
berbagai macam media yang bisa digunakan sebagai alat untuk PPMI bersosialisai,
dengan menuliskan berbagai macam artikel tentang program yang telah dicanangkan
oleh PPMI. Bahkan PPMI pun sebenarnya telah memiliki buletin Suara PPMI yang
jika diurus dengan benar maka ia akan bisa menjadi semacam tameng bagi PPMI
untuk membela diri dari berbagai macam kritikan yang dilancarkan kepada mereka.
Namun sangat disayangkan, kesempatan ini pun kurang dipergunakan dengan baik.
Status Mahasiswa tidak
akan lepas dari membaca dan menulis. Jika mahasiswa tidak terbiasa dengan
keduanya, maka saya rasa perlu dipertimbangkan lagi status kemahasiswaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar