http://www.ilmi-islam.com |
Menghadap kiblat adalah
salah satu hal yang penting dalam melaksanakan salat, yang jika hal itu tidak
dipenuhi maka salat kita bisa terancam tidak sah. Karena itu, para fukaha
memasukkan kiblat sebagai syarat sah dalam melaksanakan salat yang artinya
setiap muslim yang hendak melakukan salat haruslah menghadap kiblat.
Karena kewajiban
itulah, para cendekiawan muslim melakukan berbagai macam cara untuk menemukan
arah kiblat. Di antara mereka ada yang menggunakan bintang-bintang sebagai
patokan, ada pula yang menggunakan arah mata angin, kompas hingga perhitungan.
Rumus menghitung arah kiblat pun memiliki berbagai macam versi, di antara versi
modern yang digunakan adalah rumus segitiga bola, sedangkan versi klasik yang
pernah digunakan adalah konsep lingkaran Abu Rayhan al-Bairuni, Ibnu al-Haitsam
dan al-Ghandajani yang baru saja saya lihat tersimpan rapi di perpustakaan
Bibliothèque de I’institut
Dominicain d’études
Orientales, perpustakaan orientalis yang terletak di kawasan Darrasah.
Melihat pentingnya
kiblat dalam literatur peradaban Islam, maka kajian tentang kiblat pun tidak
hanya menjadi objek kajian bagi para cendekiawan muslim. Kiblat pun menarik
perhatian beberapa cendekiawan non-muslim seperti David A. King dan Suzuki
Takanori untuk menjadikan kiblat sebagai objek kajian mereka. Bukan hanya
membahas sejarah Ka`bah dan pengaruhnya pada masyarakat kaum muslim, mereka pun
mengkaji ulang dan menjelaskan berbagai macam rumus arah kiblat yang ditulis
oleh para cendekiawan muslim di atas.
Arah kiblat
masjid-masjid Kairo
Beberapa pekan lalu
saya sempat mengukur arah kiblat beberapa masjid di kota Kairo dengan
menggunakan kompas. Sebelumnya, saya telah mengukur arah kiblat bagi kairo
dengan tiga cara, pertama dengan cara penghitungan menggunakan konsep segitiga
bola, kedua menggunakan software Accurate Times versi 5.3, dan ketiga
menggunakan website yang khusus untuk mengukur kiblat, qiblalocator.com. Ketiga
cara itu memberikan kesimpulan yang sama, yaitu arah kiblat sejati kota Kairo
adalah 136 derajat diukur dari arah utara sejati mengarah ke arah tenggara.
Akhirnya saya mencoba
mengukur arah beberapa masjid di kota Kairo dengan menggunakan kompas, namun
ternyata saya menemukan bahwa arah beberapa masjid itu melenceng beberapa
derajat dari arah kiblat. Di antaranya adalah masjid al-Azhar yang mengarah ke
125 derajat, masjid al-Hakim biamrillah 128 derajat, masjid Sultan Hasan 125
derajat, masjid al-Rifa`I 130 derajat, al-Fath Ramsis 130 derajat, al-Salam Hay
`Asyir 128, Amru bin al-`Ash 125 derajat.
Nuril Dwi, salah
seorang pegiat kajian Ilmu Falak AFDA PCI Muhammadiyah Mesir menuliskan dalam
buletin TëROBOSAN edisi 350, 22 Februari 2012:
Haruslah
diketahui bahwasannya bergesernya arah kiblat terhadap Ka`bah dengan
pertimbangan jarak serta ukuran bangunan Ka`bah, akan mengakibatkan pergeseran
sebesar 126 KM. di utara atau selatan Ka`bah untuk setiap satu derajatnya.
Memang terdapat dua
pendapat besar yang tertulis dalam kitab-kitab fikih dalam hal menghadap kiblat.
Pendapat pertama mewajibkan untuk menghadap kiblat tepat ke arah Ka`bah, ini
adalah pendapat dari mazhab Syafi`i. Dan pendapat kedua mengatakan kita cukup
dengan menghadap ke arah kiblat tanpa harus mengenai Ka`bah secara tepat, ini
adalah pendapat mayoritas ulama selain mazhab Syafi`i.
Namun sekarang ada
satu hal yang menjadi permasalahan. Jika kita mengambil pendapat kedua yang
mencukupkan kita untuk menghadap ke arah kiblat, berapa derajat batasan yang masih
dikategorikan menghadap ke arah kiblat? Bagaimana penafsiran kata “Jihah”
jika ditafsirkan kedalam satuan derajat?
Kesimpulan yang
didapatkan kelak akan menyelesaikan masalah apakah perbedaan 11 derajat seperti
masjid al-Azhar, Sultan Hasan dan Amru bin al-`Ash masih bisa dikategorikan
menghadap ke arah kiblat? Ataukah pergeseran 11 derajat itu tidak lagi bisa
dikategorikan menghadap arah kiblat?
Sayangnya, pembahasan
tentang kiblat dalam kitab-kitab fikih kurang menyentuh hal itu. Pembahasan
tentang kiblat biasanya hanya berkisar antara perbedaan pendapat ulama tentang
kiblat, tentang ijtihad dan kesalahan ijtihad dalam menghadap kiblat, salat di
dalam dan di atas Ka`bah, dan salat di atas kendaraan. Begitu yang tertulis
dalam kitab klasik seperti al-Um dan al-Majmu`, atau kitab fikih kontemporer
seperti al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh.
Di antara pendapat
para pakar yang pernah diwawancarai oleh teman saya adalah Thomas Djamaluddin
dan Ma`rufin Sudibyo. Kesimpulan yang didapatkan adalah pergeseran arah satu
derajat akan mengarahkan kita beberapa kilometer dari arah kiblat, dan semakin
jauh jarak kita dengan Ka`bah maka semakin besar kesalahan untuk setiap
derajatnya. Maka, batas toleransi antara kota Kairo dengan Jakarta berbeda,
jika saja pergeseran satu derajat dari kota Kairo itu melenceng sebesar 20 KM
misalkan, maka satu derajat dari kota Jakarta bisa mencapai ratusan kilometer.
Lalu?
Dengan
mempertimbangkan beberapa hal, hingga saat ini saya masih memandang bahwa
pergeseran 15 derajat ke kanan atau ke kiri dari arah kiblat masihlah bisa
disebut menghadap ke arah kiblat. Dengan artian, perbedaan arah kiblat beberapa
masjid Kairo yang melenceng hingga 11 derajat masihlah bisa dikategorikan
menghadap ke arah kiblat.
Di antara pertimbangan
yang saya perhatikan adalah:
1. Banyak dari masjid di kota
Kairo dibangun sejak masa generasi Islam klasik, salah satunya adalah masjid
Amru bin al-`Ash yang melenceng sebesar 11 derajat dari kiblat sejati.
Perbedaan arah kiblat di beberapa masjid klasik ini menunjukkan bahwa para
sahabat dan generasi setelahnya pun berpendapat bahwa menghadap kiblat itu cukup
dengan menghadap ke arahnya saja.
2. Kalaupun mengukur kiblat
saat ini adalah perkara yang sangat mudah, namun konsisten terhadap arah kiblat
sejati adalah hal yang sulit. Pergeseran satu sampai lima derajat adalah hal
yang sangat sulit dihindari, apalagi di dalam salat. Lima derajat adalah
pergeseran yang sangat kecil dan tidak akan terasa meski sebenarnya itu telah
memalingkan kita puluhan kilometer dari arah kiblat sejati.
3. Arah utara kompas tidak
menunjukkan arah utara sejati. Arah utara kompas terkadang berubah ratusan
kilometer dari arah utara sejati karena pengaruh pergeseran medan magnet bumi.
Hal ini memperbesar kemungkinan kesalahan pengukuran arah kiblat dengan
menggunakan kompas.
4. Kompas pun bisa saja
terpengaruh oleh medan magnet lokal dari suatu masjid. Ini yang dialami ketika
saya mengukur arah kiblat masjid al-Fath Ramsis dan masjid Amru bin al-`Ash.
Saya melakukan dua kali pengukuran arah kiblat di masjid al-Fath Ramsis, di
dalam masjid kompas menunjukkan arah 125 derajat, sedangkan di luar masjid
kompas menunjukkan arah 130 derajat. Bahkan ketika saya mengukur arah masjid
Amru bin al-`Ash, perbedaan itu sering terjadi. Kompas terkadang menunjukkan
arah 120, 130, 140, 125 yang menyebabkan saya harus mengukurnya berulang-ulang
di berbagai sudut masjid.
5. Jika pun terjadi perbedaan
pengukuran arah kiblat dalam satu masjid seperti yang saya ceritakan di poin
sebelumnya, maka kita tidak bisa menggunakan rata-rata dengan menjumlahkan
derajat dan dibagi dengan jumlah pengamatan. Hal itu justru memperlebar
kemungkinan kesalahan dalam pengukuran, karena arah kiblat tidak ditentukan
dengan rata-rata namun dengan arah yang pasti.
Memang saya akui
pendapat ini masih lemah dan cenderung hanya sebatas perkiraan yang kurang
dibarengi dengan alasan yang kuat. Perlu dilakukan kajian yang lebih serius
untuk menafsirkan kata “Jihah” menjadi satuan derajat dengan
memperhatikan nas-nas yang berkaitan dan faktor-faktor lain untuk menghasilkan
sebuah kesimpulan batasan arah kiblat yang diperbolehkan.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar