Laman

5 Jun 2014

Muhammadiyah dan Sosialisasi "Fiqh al-Khilaf"

Menulis tentang Persyarikatan Muhammadiyah bagi saya adalah seperti mendeskripsikan Kota Kediri. Kota yang baru saya kunjungi satu kali, dan itu pun hanya daerah Pare yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota Kediri. Meski sempat tinggal di sana sekitar tiga minggu, namun pengetahuan saya tentang Kota Kediri sangatlah terbatas. Begitu pula dengan Muhammadiyah.

Saya nyaris tidak pernah bersinggungan dengan Muhammadiyah secara teori ilmiyah, persinggungan saya dengan Muhammadiyah lebih dalam hal praktik, khususnya dalam hal ibadah. Beberapa perbedaan praktik ibadah antara warga NU dan Muhammadiyah sempat menjadi hal yang saya perhatikan dan saya baca meski masih bersifat global dan hanya di permukaan.

Berbeda halnya dengan persinggungan saya dengan salafi misalkan. Meski paham salafi menurut saya adalah paham yang bersifat tertutup dan ekslusif, namun sarana untuk mengenali dan memperdalami ajaran mereka begitu mudah ditemukan. Selain karena gencarnya dakwah salafi melalui berbagai macam media, banyaknya forum dialog antara salafi dengan non-salafi (terkhususnya NU), pemikiran mereka pun sekali dua kali dibahas dan dikritik secara teori oleh guru-guru saya baik di pesantren dahulu maupun di al-Azhar.

Pengenalan lebih dalam saya terhadap Muhammadiyah diawali dengan rasa penasaran saya terhadap perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawwal yang nyaris selalu berbeda setiap tahun. Saat itu saya memahami bahwa perbedaan dalam hal ini sejatinya tidak lagi bisa ditoleransi laiknya perbedaan dalam masalah ibadah praktis, karena masalah penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal tidak hanya menyangkut persatuan dan kesatuan kaum muslim semata, namun lebih jauh lagi bahwa dalam beberapa kasus hal ini menyangkut masalah ekonomi, sosial bahkan politik.

Saat itu saya tertarik untuk memahami apa sebenarnya titik permasalahan yang menjadi penyebab perbedaan itu, bagaimana metode yang digunakan oleh Muhammadiyah dalam hal ini, agar dengan itu saya bisa lebih memahami permasalahan ini dengan kaca mata yang lebih luas. Akhirnya di kemudian hari saya memahami bahwa perbedaan itu tidak sekedar perbedaan antara hisab dan rukyat, namun permasalahannya lebih rumit dari itu hingga sampai saat ini setiap pihak masih mencari jalan tengah untuk mengatasi hal ini.

Suatu saat saya pernah ditanya oleh seorang teman saya tentang pemahaman saya mengenai Muhamadiyah, khususnya dalam masalah tahlilan. Kenapa Muhammadiyah tidak melakukan tahlilan? Jawaban yang ada di pikiran saya saat itu adalah karena amalan tahlilan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah maupun para sahabat, oleh karena itulah Muhammadiyah tidak melaksanakannya.

Teman saya kemudian bertanya, “Iya? Hanya segitu jawabannya?”. Dan karena pengetahuan saya hanya sebatas itu, sayapun mengiyakannya.

Namun ternyata teman saya menyalahkan jawaban itu. Ia kemudian menunjukkan kepada saya sebuah tulisan tentang tahlilan yang ditulis oleh Tim Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang dirilis di website fatwatarjih.com tanggal 2 Desember 2011. Intinya, sikap resmi Muhammadiyah terhadap praktek tahlilan hanya menolak dua hal, yaitu: tentang waktu pelaksanaannya yang terikat dengan hari kesekian dan sekian, dan tentang masalah tabzir dalam hal makanan.

Jawaban yang ia sampaikan ternyata tidak seperti apa yang saya bayangkan. Apa yang ia katakan ternyata hampir sama dengan apa yang saya ketahui dan pelajari selama ini, bahwa praktek zikir sebenarnya sah dilakukan dalam keadaan apapun, di manapun dan kapanpun karena tidak ada ketentuan mengenai hal itu sebagaimana salat dan puasa. Letak permasalahannya adalah dalam waktu pelaksanaan yang terikat pada hari-hari tertentu, itulah landasan Muhammadiyah meninggalkan praktek tahlilan dan menggolongkannya ke dalam praktek bid`ah.

Dan NU pun dalam teorinya mengisyaratkan hal yang sama bahwa pelaksanaan tahlilan pada hari-hari tersebut tidak ada tuntunannya secara khusus baik dalam al-Quran maupun Hadis. NU memandang bahwa praktek tahlilan boleh dilakukan kapanpun, karena praktek tahlilan pada hari apapun adalah sama, tidak ada hari yang lebih utama dari hari yang lain sehingga harus melaksanakannya pada hari tersebut ataupun melarangnya.

Hal yang dilarang oleh NU adalah meyakini bahwa pada hari tersebut ada syariat yang menyatakan harus dilaksanakan tahlilan, dan jika ditinggalkan maka akan berdosa. Hal itu terlihat dari praktek tahlilan yang tidak selalu dilaksanakan tepat pada hari sekian dan sekian, namun sering kali bergeser beberapa hari dari itu. Maka letak berbedaannya adalah bahwa Muhammadiyah memperbolehkan amalan tahlilan kapanpun dengan syarat tidak terikat dengan hari sekian dan sekian, dan NU memperbolehkan tahlilan kapanpun meski itu bertepatan dengan hari kesekian dan sekian.

Percakapan itu membuka mata saya bahwa ternyata masih terdapat kesalahpahaman antara apa yang biasa dipahami oleh masyarakat NU tentang Muhammadiyah dengan apa yang sebenarnya dipahami oleh Muhammadiyah sendiri. Meski perbedaan dalam masalah ini ataupun masalah ibadah lain sejatinya masih bisa ditoleransi, namun pelurusan masalah sangatlah diperlukan agar toleransi yang terjalin benar-benar berdasarkan atas saling mengerti dan memahami bukan karena perasaan lelah berbeda dan berselisih.

Yang saya perhatikan, persinggungan antara warga NU dan Muhammadiyah dalam hal ibadah selama ini lebih bersifat praktis tanpa menyinggung lebih dalam teori yang melandasinya. Masyarakat telah terbiasa melihat perbedaan yang terjadi dalam berbagai perkara, namun tidak banyak orang yang mengetahui inti perbedaan antara keduanya. Jika fikih perbandingan empat mazhab saja dipelajari dan diteliti secara serius di berbagai institusi pendidikan Islam di Indonesia, kenapa fikih perbandingan NU dan Muhammadiyah tidak mendapatkan porsi yang sama? Padahal secara praktik hal itu lebih dekat dengan kondisi masyarakat kita.

Perlu sekiranya Muhammadiyah (atau dalam lingkup yang lebih kecil, PCIM Mesir) membuka Muhammadiyah untuk menjadi objek kajian dan penelitian dari berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah, ibadah, maupun sosial, dengan mengadakan riset bersama beberapa mahasiswa dari NU ataupun beberapa ormas lainnya.

Dengan demikian, Muhammadiyah bisa memberikan pemahaman yang benar tentang Muhammadiyah kepada khalayak baik dari ideologi, metodologi tarjih dan fatwa, ataupun pergerakan sosialnya. Selain itu juga agar terdapat timbal balik antara kedua belah pihak dengan adanya dialog ilmiah terbuka yang didukung dengan sumber pustaka yang memadai.

Sifat Muhammadiyah yang terbuka sebenarnya mampu untuk menjadi salah satu pionir pemersatu umat Islam di Indonesia. Pergerakan sosial dan pendidikan Muhammadiyah yang tidak berorientasi kepada politik praktis bisa menuai keberhasilan sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan Fethullah Güllen di Turki. Muhammadiyah telah memiliki apa yang disebut sebagai pondasi utama bagi pergerakan Fethullah Güllen, yaitu: 1) Amal usaha yang menyokong pendanaan kegiatan sosial, pendidikan dan dakwah, 2) Pendidikan sebagai pembentuk kader dan penghasil sumber daya manusia yang unggul, 3) Kader yang siap dididik dan telah terdidik untuk bergerak di berbagai sendi kehidupan demi tercapainya kehidupan masyarakat yang Islami.

Tidak terlibatnya Muhammadiyah ke dalam kancah politik praktis dalam perjalanan sejarahnya telah menyelamatkan Muhammadiyah dari perselisihan antar lawan politik yang sama sekali tidak sehat. Dakwah melalui jalur politik yang dilakukan oleh PKS misalkan, tetap tidak luput dari kritik berbagai pihak, bahkan secara nyata mereka dimusuhi oleh kelompok Islam selainnya. Dan posisi Muhammadiyah yang sejalan dengan NKRI pun menjadikan Muhammadiyah dapat diterima keberadaannya oleh kaum non Muslim, karena Muhammadiyah tidak mengusik ideologi dan cita-cita negara sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam lain.

Pergerakan Muhammadiyah dalam bidang sosial dan pendidikan pun telah tersebar luas. Institusi pendidikan Muhammadiyah yang telah mencapai angka ribuan akan menjadi penopang keberlangsungan dakwah dengan lahirnya kader-kader baru, dengan pendidikan yang tidak hanya sebatas doktrinasi ke-muhammadiyah-an semata namun pendidikan keislaman dalam maknanya yang luas sebagai penyebar risalah Allah di muka bumi.

Pencapaian itu haruslah terlebih dahulu diawali dengan persatuan yang terjadi antara dua organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia: Muhammadiyah dan NU. Dan hal itu bisa terlaksana setelah menangani dua masalah yang sangat urgen, yaitu penanaman fiqh al-khilâf yang benar di kalangan masyarakat dan pencapaian kesepakatan dalam hal penentuan hari raya.

Poin pertama memang memerlukan usaha yang tidak mudah. Fanatisme yang sama-sama telah mengakar di masyarakat tak jauh seperti benteng Konstantinopel yang sulit ditembus. Jika KH. Ahmad Dahlan dahulu memiliki tantangan merubah paradigma masyarakat tentang purifikasi dan dinamisasi ajaran Islam di masyarakat, maka Muhammadiyah sekarang memiliki tantangan untuk merubah paradigma berpikir masyarakatnya bahwa antara Muhammadiyah dan NU dalam hal ibadah sama-sama berputar pada kemungkinan salah dan benar hingga tak perlu lagi diperdebatkan. Menanamkan bahwa jika di Muhammadiyah terdapat Majlis Tarjih dengan metodenya dalam berijtihad dan tarjih, maka NU pun juga memiliki Lembaga Bahtsul Masail yang memiliki metode yang berbeda namun bertujuan sama yaitu mencari keridhaan Allah semata.

Namun jika poin itu dirasa terlalu berat, maka poin kedua ini lebih realistis untuk dicapai dalam waktu yang cepat: pencapaian kesepakatan terkait solusi yang mampu diterima oleh setiap kelompok dalam hal perbedaan penentuan hari raya.

Pada dasarnya perbedaan hari raya adalah hal yang biasa, bahkan umat kristiani di seluruh dunia pun memiliki perbedaan hari raya antara 25 Desember dan 7 Januari sesuai dengan mazhab masing-masing. Namun masalahnya, kita berada dalam satu negara, satu daerah, dan satu keluarga. Sulit rasanya untuk berlapang dada ketika kita menahan lapar pada hari terakhir bulan Ramadhan kemudian melihat sebagian keluarga kita telah menyantap opor ayam dan saling bermaafan.

Masalah ini pun selalu dibesar-besarkan oleh media informasi setiap tahunnya, hingga berita yang ramai dibicarakan di media setiap menjelang hari raya adalah kapan Muhammadiyah dan NU berlebaran? Akankah sama atau berbeda? Hal itu semakin memberikan citra buruk dan pesimisme kepada kaum muslim Indonesia bahwa jika untuk menentukan hari raya saja umat muslim tidak bersatu maka bagaimana dengan hal lain?

Sekiranya, jika dilirik dari konsep fiqh al-awlawiyât, mana yang lebih urgen untuk dikedepankan? Apakah mengedepankan ijtihad dan menduakan persatuan kaum muslim dengan alasan bahwa seorang mujtahid tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain? Ataukah mengedepankan persatuan dan menduakan ijtihad dengan landasan bahwa putusan pemerintah merupakan legitimasi syar`i untuk menyudahi perselisihan?

Problematika umat Islam akan terus bertambah seiring dengan kemajuan zaman. Maka persatuan antara NU dan Muhammadiyah sebagai dua tiang utama umat Islam Indonesia sangat dibutuhkan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut demi mencapai kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang dinamis. Agar Indonesia tidak hanya dikenal sebagai akbar bilâd al-muslimîn semata, namun juga sebagai khair bilâd al-muslimîn yang menjadi panutan kaum muslim di seluruh dunia dalam berbagai bidang.

Semoga bermanfaat.

4 komentar:

  1. AlhamdulillaH..
    Hiroshi Nanti Wong NU Hadir..
    InsyaalloH Siap Menjadi Garda Terdepan Dalam Hal Ini..

    BalasHapus
  2. AlhamdulillaH..
    Hiroshi Nanami Wong NU Hadir..
    InsyaalloH Siap Menjadi Garda Terdepan Dalam Hal Ini..

    BalasHapus
  3. Tulisan yg bagus. Obyektif dan Konstruktif.

    BalasHapus