Laman

27 Sep 2011

Kenapa Harus Ada Perbedaan Hari Raya??


Tahun ini Indonesia mencatat kembali rekor perbedaan pelaksanaan hari raya Idul Fitri. Bayangkan saja! Empat kali shalat Id dilaksanakan di Indonesia! Ini bukanlah sebuah hayalan atau kabar burung, namun memang begitulah kenyataannya. Lebaran tahun ini dimulai oleh Tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat pada tanggal 29 Agustus. Tarekat ini memang selalu saja menjadi pemberitaan di Indonesia karena hampir setiap tahun mereka selalu berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia dalam memulai puasa dan hari raya.

Lalu, pada keesokan harinya tanggal 30 Agustus, Muhammadiyah, HTI dan beberapa ormas Islam lainnya melaksanakan shalat Id di beberapa daerah di Indonesia, (Sebagaimana kita merayakannya di Mesir). Di antara mereka ada yang memang berpatokan dengan hisab dan rukyah, namun sebagian lain ada yang mengikuti fatwa dari Kerajaan Arab Saudi yang juga merayakan Idul Fitri pada hari itu, beserta beberapa negara arab lainnya.

Pada hari Rabu tanggal 31 Agustus, barulah beberapa organisasi Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Persis merayakan Idul Fitri sesuai dengan keputusan sidang isbat yang diadakan oleh kementrian agama. Hingga Idul Fitri ditutup oleh penganut Islam Aboge di daerah Banyumas yang mengadakan shalat Idul Fitri pada hari Kamis tanggal 1 September 2011[2].

Yang menjadi pertanyaan, kenapa bisa terjadi perbedaan?? (Tanya kenapa?) mari kita bahas sedikit

Metode Penentuan Awal Bulan di Indonesia

Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman…
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس و الحج (البقرة 189)

Telah diketahui secara umum, bahwa penentuan awal bulan Hijriyah adalah dengan ada atau tidaknya hilal. Hilal adalah bulan bercahaya dengan bentuk seperti sabit yang sangat tipis setelah konjungsi matahari dan bulan, biasa terletak di sebelah barat ketika matahari terbenam.

Setidaknya ada dua metode yang biasa dipakai dalam menentukan awal bulan, yaitu Rukyah dan Hisab. Pertama, adalah Rukyah. Rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda:
إذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غمّ عليكم فصوموا ثلاثين يوما (متفق عليه)

Banyak dalil yang digunakan dalam metode rukyah, di antaranya adalah yang tertulis di atas. Beberapa riwayat lain juga menunjukkan hal yang sama secara makna, yaitu masuknya bulan baru adalah ketika hilal berhasil dilihat atau jika tidak terlihat maka hendaklah melengkapi bulan hingga 30 hari. Mereka berpendapat bahwa kata Ra’a di sini diartikan dengan melihat secara hakiki, yaitu melihat dengan indera penglihatan. Dan metode inilah yang selalu digunakan pada masa generasi Salafusshalih dahulu, karena Islam belum mengalami kemajuan dalam bidang astronomi dan hisab ketika itu.

Kelebihan dari metode ini adalah kemudahannya untuk semua orang, hingga siapapun bisa menggunakannya, dari ahli astronomi hingga orang awam. Siapapun bisa melihat hilal, entah dengan mata telanjang atau menggunakan alat bantu penglihatan. Hingga dalil-dalil pun jelas menunjukkan bahwa rukyah adalah metode yang diakui secara syar`i.

Namun metode ini juga memiliki kekurangan, di antaranya adalah metode ini hanya bisa digunakan pada akhir bulan untuk mengetahui bulan baru, dan tidak bisa dijadikan rujukan untuk penanggalan lebih dari satu bulan. Sering terjadi kesalahan dalam rukyah, karena melihat suatu benda yang bercahaya di ufuk dan mirip dengan hilal. Benda itu bisa saja planet lain seperti venus yang cahayanya bisa jauh lebih terang dari hilal, atau lampu mercusuar, lampu BTS, Awan yang masih terkena cahaya matahari, dan benda-benda lainnya.

Lalu, metode yang kedua adalah Hisab. Masih menggunakan dalil yang sama, beberapa hadis yang menganjurkan agar kita berpuasa jika melihat hilal. Namun para ahli hisab berpendapat bahwa kata ra’a di sini bisa diartikan dengan melihat secara ilmiah, yaitu dengan perkiraan keberadaan bulan dan matahari dari bumi. Ditambah lagi dengan beberapa ayat yang menunjukkan bahwa pergerakan bulan, bumi dan matahari bisa dihitung.

Allah Subhanahu wa Ta`ala berfirman…
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آَيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آَيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا (الإسراء 12)

Ayat ini ditambah dengan beberapa ayat lainnya[3] menunjukkan bahwa segala pergerakan benda astronomi terlah diatur sedemikian rupa oleh Allah Subhanahu wa Ta`ala, sehingga dengan kemajuan ilmu dan teknologi pada masa sekarang semua hal itu bisa dihitung hingga derajat yang pasti. (Kita tidak membicarakan bagaimana rumus hisab di sini, karena selain penulis belum memiliki kecakapan di dalamnya, rumit dan pembahasan akan semakin melebar).

Setidaknya, kita bisa kategorikan hisab menjadi dua. Yaitu hisab `Urfi dan hisab falaki. Hisab `Urfi adalah hisab yang sudah dipakai sejak zaman jahiliyah dulu, lalu zaman Rasulullah hingga saat ini. Hisab `Urfi hanya menghitung hari semenjak kemunculan hilal hingga hari ke 29, dengan hisab inilah orang arab dahulu menentukan kapan mereka akan melihat hilal untuk bulan selanjutnya. Dan jika pada hari yang ditentukan ternyata hilal belum terlihat, maka tinggal tambah satu hari menjadi 30 hari. Rasulullah pun penah bersabda…
نحن أمة أميّون لا نحسب و لا نكتب, الشهر هكذا و هكذا و هكذا و قبض إبهامه في الثالثة (مسلم, أحمد)

Lalu Hisab Falaki, yaitu dengan hitungan perputaran bulan sejak masa terbentuknya hilal ketika bulan, bumi dan matahari berada dalam satu garis lurus (konjungsi), lalu purnama dan kembali lagi kepada fase konjungsi. Dari segi ilmiah, metode ini bisa menyajikan keakuratan tinggi, karena memadukan beberapa ilmu lainnya seperti matematika, fisika dan astronomi, bukan didasarkan atas khurafat atau tahayul.

Diriwayatkan dari Mu`adz bin Jabal dan Tsa`labah, bahwa mereka bertanya kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, kenapa bulan tampak pertama kali seperti benang lalu terus membesar hingga lengkap dan bulat, lalu terus berkurang hingga kembali seperti semula, dan tidak tetap dalam satu keadaan seperti matahari?’ maka turunlah ayat…
يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس و الحج (البقرة 189)[4]

Di antara kelebihan metode hisab adalah fleksibilitas, yaitu metode ini bisa mengalami perubahan dan inovasi setiap saat agar dapat menyajikan data yang lebih akurat dari waktu ke waktu. Metode ini bisa menyajikan data yang tidak terbatas waktu hanya satu bulan, kita bahkan bisa memperkirakan penanggalan untuk beberapa tahun ke depan, atau menghitung mundur hingga zaman kenabian. Dan juga metode ini bisa memperkirakan kemungkinan dilakukannya rukyah atau tidak, dan beberapa gejala alam lainnya seperti gerhana matahari dan bulan.

Kelemahannya, metode ini sangat rumit dan tidak bisa diketahui oleh semua orang, hanya para ahli yang dapat melakukannya. Setidaknya ada lebih dari duabelas rumusan berbeda yang dipakai dalam hisab dan tidak semua memiliki tingkat keakuratan yang tinggi, bahkan ada juga yang memiliki tingkat kesalahan yang tinggi[5]. Maka inovasi di dalamnya selalu dibutuhkan sesuai dengan perkembangan zaman.

Keduanya berjalan bersama, beriringan dan tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana penentuan waktu shalat yang menggunakan hitungan letak perputaran bumi pada porosnya.

Titik Perbedaan

Seolah telah menjadi pembicaraan umum, bahwa perbedaan penentuan hari raya terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Namun, perlu diketahui bahwa hisab dan rukyah adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, layaknya dua sisi koin satu Pound yang selalu bersama di sisi masing-masing. Perbedaan yang sering terjadi di Indonesia sama sekali bukanlah karena perbedaan metode dalam menentukan awal bulan, tapi lebih kepada ‘patokan’ masuknya bulan baru. Maka, pemisahan antara hisab dan rukyah secara tidak langsung telah mencederai sebuah konsep gemilang yang dihasilkan oleh para cendekiawan muslim dalam kurun waktu yang panjang.

Ada dua patokan yang berbeda dalam hal ini. Pertama adalah Wujudul Hilal, yaitu saat lahirnya hilal ketika konjungsi terjadi. Patokan inilah yang sekarang dipakai oleh salah satu Ormas Islam dalam kalendernya. Jadi, jika merujuk kepada patokan ini, selama konjungsi telah terjadi maka sudah dihitung masuk kepada bulan baru. Berapapun derajat ketinggian hilal pada petang hari, terlihat atau tidak terlihat, mendung atau cerah, tetap sudah dihitung masuk bulan baru.

Patokan kedua adalah Imkanur Rukyah, atau kemungkinan hilal untuk dilihat. Patokan ini jelas menjadikan visibilitas hilal sebagai tanda masuknya bulan baru. Maka, kapanpun konjungsi terjadi, selama hilal belum dapat dilihat, belumlah disebut masuk bulan baru.

(Masuk agak ke ‘ilmiahan’ sedikit) Hilal bisa dilihat jika umur hilal lebih dari 12 jam setelah konjungsi, dan masa terlihatnya hilal tidak kurang dari 30 menit setelah matahari terbenam[6]. Ada juga kriteria lain yang ditentukan oleh badan Astronomi Jeddah, yaitu umur hilal harus lebih dari 14 jam; Jarak dari matahari minimal 8 derajat di langit; Masa hilal tidak kurang dari 29 menit setelah matahari terbenam; besarnya permukaan hilal minimal 1 derajat[7]. Ada juga yang menambahkan dengan tinggi hilal harus lebih dari 2 derajat. Penentuan kriteria ini bukan semata karena kehendak para peneliti, namun tidak lain adalah hasil penelitian yang membuktikan bahwa jika kriterianya belum terpenuhi maka hilal akan sulit untuk dilihat, bahkan mustahil.

Perbedaan patokan inilah yang selalu menjadi akar permasalahan hari raya yang tak kunjung selesai. Jika dilakukan penelitian terhadap kedua patokan tadi menurut nash dalil dan ilmu pasti, maka akan kita temukan bahwa patokan yang lebih sesuai dengan syari`at adalah patokan kedua, yaitu visibilitas hilal.

Hasil penelitian membuktikan bahwa jika saja patokan pertama dijadikan rujukan, maka kesalahan yang ada akan sangat besar, bahkan terbesar dari beberapa rujukan lainnya[8]. Pada zaman Rasulullah pun tidak diketahui apa itu konjungsi (dalam istilah arab dikenal dengan Iqtiraan), patokan yang digunakan tetaplah visibilitas hilal. Meski kemajuan ilmu pada masa sekarang sudah bisa memprediksikan kapan terjadinya konjungsi, namun jika patokan itu tidak pernah dipakai pada masa awal maka lebih baik untuk dirubah.

Para ahli hisab sudah bisa memperkirakan kemungkinan terlihatnya hilal dengan rumus mereka, bahkan hitungan mereka bisa sangat akurat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pertentangan antara rukyah dan hisab, bahkan keduanya saling melengkapi dan mengoreksi. Seperti yang tertulis di atas tadi, keakuratan hisab dalam prediksian dibuktikan dengan rukyah ketika waktu yang ditentukan, jika memang hasilnya akurat maka benarlah hitungan itu. Lalu, jika dalam perkiraan hisab belum menunjukkan kemungkinan hilal untuk dilihat, namun ada kesaksian bahwa seseorang telah melihat hilal, maka kesaksiannya bisa saja ditolak. (Kok bisa?)

Secara ilmu fikih, memang kesaksian satu atau dua orang saja sudah cukup untuk dijadikan sandaran hukum. Namun, jika ternyata kesaksian mereka tidak bisa dibuktikan oleh ilmu yang pasti, maka kesaksian mereka bisa ditolak. Sebagaimana jika seseorang yang mengakui anak orang lain, meski ia membawa empat orang saksi namun ternyata tes DNA menunjukkan sebaliknya, maka kesaksian mereka tidak bisa diterima.[9]

Permasalahan Lebaran 1432 H.

Penulis ingatkan lagi bahwa pada tahun ini telah terjadi empat kali hari raya di Indonesia. Kenapa bisa begitu? Penulis berpendapat bahwa untuk penentuan dua kelompok kecil Islam yang berbeda sendiri (Naqsyabandiyah Padang dan Aboge Banyumas) hendaklah ditinggalkan.

Kelompok pertama menjadikan bulan sebagai patokan (bukan Hilal), yaitu melihat bulan pada pertengahan pertama bulan ramadhan, lalu ketika bulan purnama dan pertengahan akhir bulan. Sedangkan kelompok kedua berpatokan kepada hitungan mereka terhadap hari yang digolongkan menjadi Alif, Rabo dan Wage (?). Keduanya beralasan bahwa cara yang mereka gunakan telah dipakai sejak turun temurun, dan tidak sembarangan orang mampu mempelajarinya.

Kedua metode penentuan ini tidak bisa dijadikan sandaran hukum, karena tidak memiliki sandaran kuat dari riwayat yang menunjukkan cara seperti itu, dan juga cara itu tidak bisa dibuktikan ketepatannya dengan ilmu pasti. Bahkan perbedaannya terkadang bisa lebih parah dari sekedar perbedaan patokan hilal. Maka hendaknya ditinggalkan.

Kembali ke titik permasalahan. Para ahli falak telah memprediksikan bahwa konjungsi (Ijtima`) terjadi pada tanggal 29 Agustus sekitar pukul 10 pagi. Lalu, tinggi hilal ketika petang tidak lebih dari 2 derajat. Kemungkinan untuk melihat hilal pada petang itu sangatlah kecil karena umur hilal yang masih sangat muda dan tinggi hilal yang kurang tinggi. Namun, karena perbedaan patokan tadi, maka terjadilah perbedaan penentuan hari raya.

Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi masyarakat Islam besar di Indonesia berpendapat bahwa Ijtima` telah terjadi pada 29 Agustus pukul 10 pagi, maka menurut mereka pada hari itu kita sudah masuk ke dalam bulan baru. Oleh sebab itulah mereka menetapkan bahwa idul fitri jatuh pada keesokan harinya, 30 Agustus.

Namun ternyata pada petang harinya (29 Agustus), 34 titik yang dijadikan rujukan oleh Kementrian Agama tidak berhasil melihat hilal[10]. Begitu juga 16 titik yang ditentukan oleh LAPAN dengan Kementrian Komunikasi dan Informatika[11]. Dan 15 titik yang dipantau oleh MUI[12]. Beberapa ormas Islam juga memiliki tim rukyah dan hisab yang meski tidak resmi di bawah pantauan pemerintah namun tetap memprediksikan hilal dengan hisab dan melakukan rukyah.

Ada pengakuan bahwa hilal terlihat ada dari tim rukyat Pelabuhan Ratu, yaitu pada pukul 10.05 malam, dengan waktu sekitar 8 menit 10 detik[13] (padahal rukyah dilakukan ketika terbenam matahari, dan bukan malam hari). Begitu juga di daerah Cakung Jakarta, katanya pada pukul 17.40 dengan ketinggian lebih dari 4 derajat, dan juga terlihat oleh tim di Pantai Kartini Jepara.[14]

Kembali ke pembahasan di atas, bahwa kebenaran rukyah dibuktikan dengan hisab. Ketika hampir seluruh tempat di Indonesia tidak mampu melihat hilal sebagaimana prediksi yang ditetapkan, maka kita tidak bisa menyalahkan pemerintah yang menolak kesaksian beberapa tempat tadi.

Dalam catatan Ma`rufin Sudibyo, beliau beranggapan bahwa tidak mungkin tim Cakung bisa melihat hilal pada pukul 17.40 di ketinggian 4 derajat (sebagaimana yang diberitakan di TV One), karena matahari terbenam di Jakarta adalah pukul 17.53. Lalu, 4 derajat yang dilaporkan oleh tim Cakung pasti bukanlah hasil dari rukyat yang dilakukan, tapi itu adalah perkiraan yang dilakukan dengan Hisab menggunakan rumusan Sulam yang dikenal kurang akurat. Jika benar di Jakarta hilal telah terlihat pada ketinggian 4 derajat, maka seharusnya di beberapa tempat lain juga bisa dilihat, karena dengan ketinggian seperti itu hilal akan mudah dilihat di berbagai tempat. Namun fakta lapangan berkata sebaliknya.

Pembuktian kebenaran rukyah juga bisa kita lihat pada keesokan harinya. Dalam hisab, perkiraan pergerakan bulan selama 24 jam adalah kurang lebih 12 derajat. Maka, jika benar hilal sudah terlihat di ketinggian 4 derajat (29 Agustus petang), seharusnya hilal keesokan harinya akan lebih dari 15,5 derajat. Namun fakta lapangan berkata lain, ketika rukyah dilakukan pada petang 30 agustus, tinggi hilal masih berkisar di ketinggian 14 derajat. Terbuktilah bahwa tinggi hilal pada 29 agustus tidak lebih dari 2 derajat, dan tidak bisa dilihat[15].

Maka, dengan semua bukti ilmiah ini Kementrian Agama dalam sidang isbat memutuskan bahwa hari raya idul fitri tidak mungkin jatuh pada tanggal 30 Agustus karena hilal tidak tampak, namun jatuhnya hari raya idul fitri adalah tanggal 31 Agustus 2011.

Perbedaan antara Indonesia dan Arab

Kita geser sedikit pembahasan kita sekarang. Pembahasan ini biasa kita kenal dengan istilah Ikhtilaf mathali`. Muqarrar Syari`ah Islamiyah tingkat satu.

Letak geografis yang berjauhan memungkinkan terjadinya perbedaan visibilitas hilal. Dalam sebuah riwayat dari Kuraib bin Abi Muslim dikatakan, bahwa ia dikirim oleh ibunda Ibnu Abbas ke Mu`awiyah di Syam untuk sebuah keperluan. Lalu ia melihat hilal Ramadhan di sana pada malam jum`at. Setelah satu bulan di Syam, ia pulang ke Madinah pada akhir bulan. Ibnu Abbas bertanya kepadanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ ia menjawab ‘Kami melihatnya malam jum`at’, lalu Ibnu Abbas melanjutkan, ‘Kau melihatnya sendiri?’, ia menjawab ‘Ya, orang-orang pun melihat, mereka puasa, dan Mu`awiyah juga puasa’.

Ibnu Abbas melanjutkan ‘Tapi kami di sini melihatnya pada malam sabtu, dan kami masih berpuasa hingga melengkapi tiga puluh atau melihat hilal’, ia bertanya ‘Kenapa tidak mengikuti rukyahnya Mu`awiyah (di Syam)?’, Ibnu Abbas menjawab ‘Tidak, tapi beginilah kita diperintahkan oleh Rasulullah’[16]. Nah, jarak antara Syam (Syiria) dengan Madinah tidak sejauh antara Indonesia dan Arab, maka kemungkinan perbedaan antara Indonesia dan Arab bisa jadi lebih besar.

Pertanyaannya, Jika ada satu daerah yang telah melihat hilal, apakah harus diikuti oleh seluruh umat muslim sedunia atau tidak?

Setidaknya ada tiga pendapat dalam hal ini. Pertama, seluruh kaum muslim sedunia harus ikut, karena perintah untuk puasa adalah ketika hilal terlihat. Maka, dimanapun hilal terlihat, hukumnya berlaku untuk semua kaum muslim sedunia.
Pendapat Kedua mengatakan bahwa meskipun ada di suatu daerah, namun tidak mewajibkan seluruh muslim untuk mengikuti, mereka berpendapat bahwa setiap negara boleh memiliki metode sendiri. Dan pendapat ketiga mengatakan wajib ikut bagi negara yang berdekatan, dan untuk yang berjauhan tidak wajib[17]. Dan kita mengambil pendapat yang ketiga sebagaimana riwayat yang disebutkan di atas.

Hizbut Tahrir Indonesia menetapkan idul fitri jatuh pada tanggal 30 Agustus, mereka tidak berpatokan pada hasil hisab atau rukyah yang dilakukan oleh tim internal mereka, namun mereka mengikuti keputusan yang diambil oleh kerajaan Arab Saudi yang menentukan idul fitri jatuh pada hari itu.

Bisa dibilang bahwa mengikuti negeri lain dalam penetapan hari raya tidak bisa selalu dibenarkan, karena kemungkinan perbedaan rukyah antar daerah bisa saja terjadi, apalagi untuk negara yang berjauhan. Kita lihat kepada riwayat dan fakta yang tertulis di atas, bahwa konjungsi terjadi pada pukul 10 pagi waktu Indonesia barat. Jika umur matangnya hilal hingga bisa terlihat adalah minimal 12 jam, maka hilal baru bisa dilihat di Indonesia pada pukul 10 malam (dan itu terjadi di Pelabuhan Ratu seperti yang dilaporkan).

Di Indonesia, hilal baru matang pada pukul 10 malam ‘Waktu Indonesia Barat’, sedangkan perbedaan waktu antara Indonesia dan Mesir kira-kira 5 jam, berarti hilal matang dalam waktu Mesir adalah pukul 5 sore. Maka ketika matahari terbenam sekitar jam 6.22 di Mesir, hilal bisa saja terlihat karena umur hilal ketika itu lebih dari 12 jam.

Solusi

Setelah kita mengetahui titik permasalahan yang selalu terjadi di Indonesia, maka setidaknya kita bisa menarik kesimpulan bahwa penyebab terjadinya perbedaan ini bukan terdapat pada kalangan orang awam, namun terletak di tangan para ahli di bidangnya.  Masyarakat hanya kebingungan tanpa tahu apa penyebab perbedaan ini, maka mereka lebih menginginkan persatuan dari pada berbagai alasan tentang adanya perbedaan. Kebanyakan masyarakan mungkin tidak akan tahu apa itu ijtihad, bagaimana itu rukyah dan hisab, yang penting adalah ketupat, lebaran, silaturahmi dan mudik.

Banyak tokoh yang lantas berbicara di media “hendaklah saling menghormati dalam menyikapi perbedaan”. Namun permasalahan tidak akan selesai hanya dengan kata “Saling Menghormati”. Lihat saja apa yang terjadi di lapangan. Telah terjadi pemecatan seorang imam di suatu masjid gara-gara perbedaan ini, bahkan menyebabkan penduduk kampung terbagi menjadi dua[18], begitu juga banyak kita temukan perdebatan hingga saling mencela yang terjadi di dunia maya. Oleh karena itu, perlu ada tindakan yang lebih nyata untuk menyelesaikannya dari hanya sekedar “Saling Menghormati”.

Solusi yang lebih tepat menurut penulis dalam masalah perbedaan ini adalah hendaknya kepada seluruh umat muslim di Indonesia mengikuti hasil yang ditentukan oleh sidang isbat Kementrian Agama. Kenapa? (sekarang kita tinggalkan baju politik dan golongan demi persatuan)

Ada dua riwayat yang bisa kita jadikan sandaran dalam masalah ini. Pertama, diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa telah datang seorang Arab badui kepada Rasulullah. Ia bilang bahwa ia telah melihat hilal Ramadhan, lalu setelah menyuruhnya untuk bersyahadat, Rasulullah menyuruh bilal untuk memberitahu penduduk agar berpuasa keesokan harinya[19].

Lalu riwayat kedua, yang diriwayatkan dari salah seorang sahabat Rasulullah, ia berkata bahwa suatu saat, ketika para sahabat sedang puasa pada hari terakhir bulan ramadhan. Telah datang dua orang badui kepada Rasulullah dan berkata bahwa mereka telah melihat hilal Syawwal tadi malam, menandakan bahwa hari ini sudah masuk bulan syawwal. Setelah mereka bersumpah, lalu Rasulullah menyuruh para sahabat untuk membatalkan puasa mereka dan datang ke tempat shalat untuk shalat `Id[20]

Dari kedua riwayat tadi kita bisa melihat bahwa ketiga orang Arab itu melapor kepada Rasulullah untuk melihat keputusan beliau. Mereka tidak lantas mengumumkannya kepada kabilahnya lalu mengadakan shalat idul fitri sendiri, namun tetap menunggu keputusan dari Rasulullah sebagai pemimpin ketika itu. Maka, inilah hendaknya yang diikuti oleh seluruh umat muslim di Indonesia.

Posisi Kementrian Agama dalam masalah ini bagaikan posisi Rasulullah ketika memutuskan (meski tidak bermaksud membandingkan keduanya). Sidang isbat adalah sebuah ijtihad yang dilakukan oleh pemimpin otoritas keagamaan di negeri kita, maka hendaklah mengalah dengan mengikuti ijtihad mereka.

Memang permasalahannya tidak semudah itu, kedua metode dan patokan yang digunakan adalah hasil ijtihad, begitu juga sidang isbat. Tidak ada kebenaran pasti dalam sebuah ijtihad, karena kemungkinan untuk benar bisa saja ada. Namun, persatuan umat lebih utama dari pada ijtihad masing-masing, karena hari raya adalah momen sakral yang menyangkut seluruh umat muslim di berbagai kalangan. Maka, hendaklah mengedepankan ijtihad yang memang diadakan untuk menyelesaikan masalah ini daripada setiap golongan berijtihad sendiri lalu mengambil keputusan sendiri.

Kementrian Agama telah memiliki tim khusus yang tersebar di puluhan titik di seluruh Indonesia, dibantu dengan Kementrian Teknologi dan Informatika, lalu Bosscha dan beberapa organisasi Islam lainnya beserta beberapa perguruan tinggi. Lalu, Kementrian Agama juga sudah mengadakan sidang isbat untuk menyelesaikan masalah ini. Maka, kita tidak bisa berkata bahwa pemerintah tidak bertindak dalam masalah perbedaan ini, justru organisasi-organisasi yang terdapat di bawahnya-lah yang tidak mau mengikut kepada pemimpin.

Memang sudah bukan rahasia lagi bahwa pemerintahan di Indonesia memiliki kekurangan di berbagai segi, namun apakah karena pandangan sebelah mata kepada pemerintah menjadikan kita tidak mengikuti mereka? Bahkan untuk urusan persatuanpun? Ini sekiranya yang harus kita perhatikan. Hilangkan buruk sangka kepada pemimpin, dan sekiranya jika keputusan mereka adalah untuk kemaslahatan bersama hendaknya diikuti oleh semua lapisan.

Tidak etis jika selalu meng‘kambinghitam’kan para pemimpin karena perbedaan ini, melihat mereka dengan sebelah mata, apalagi hanya karena anggapan sepihak lalu menyatakan bahwa pemimpin sekarang tidak boleh diikuti. Menulis berita seolah MUI dan Kementrian Agama telah salah memilih orang sehingga para pengambil keputusan dianggap sebagai ulama-ulama sombong yang menolak syari`at demi kekuasaan politik, ditambah dengan ‘justifikasi’ sepihak terhadap seseorang tanpa memperdalami lebih dahulu seluk beluk permasalahannya [21].

Mesir memiliki Darul Ifta, sebuah lembaga yang khusus mengurusi keagamaan. Begitu juga kita telah mengenal sosok Syaikh Ali Jum`ah yang menjadi Mufti di negeri ini. Bisa saja banyak ulama yang lebih alim, lebih menguasai berbagai ilmu, dan lebih pantas untuk menduduki posisi beliau sebagai Mufti. Namun, seluruh ulama dan rakyat Mesir tetap mengikuti keputusan beliau sebagai pemimpin agama di negeri ini. Para ulamanya pun tidak lantas berijtihad sendiri dan mengadakan hari raya sendiri.

Itulah yang penulis kira menjadi sebab perbedaan sering terjadi di negara kita. Setiap golongan merasa paling baik dari golongannya, tak ayal kita lihat pertentangan selalu saja terjadi. Setiap golongan merasa siap untuk memimpin, namun tidak mau untuk dipimpin oleh orang lain. Semoga persatuan umat Islam di Indonesia terjadi dan semakin erat tanpa melihat kepada warna masing-masing golongan.

Kebenaran dalam tulisan ini hanyalah dari Allah semata, dan kesalahan di dalamnya adalah murni dari penulis. Semoga sedikit ilmu ini bermanfaat bagi kita yang hendak berdakwah di kampung masing-masing. Shallallahu `ala Sayyidil Mursalin Muhammad wa `ala Alihi wa Ashabihi wa Ahli Baitihi Ajma`in.


Makalah disampaikan dalam kajian Byzantium, Jum`at 16 Sept 2011.

[2] okezone.com “Penganut Islam Aboge Takbiran Malam Ini” dan “Beda Pendapat, Umat Islam di Sumbar 3 Kali Shalat id”

[3] Yunus 5, At-Taubah 36, Yasin 37-40, Al-Baqarah 185, 189 dan beberapa ayat lainnya.

[4] Tafsir Ayat Al-Ahkam. Syaikh Muhammad Ali As-Sayis. Maktabah Ash-Shafa, Cairo 2001.

[5] vivanews.com Enam Sistem Sudah Menetapkan Hilal”, 29 Agustus 2011.

[6] Hilal dalam Bulan-Bulan Hijriyah antara Rukyat dan Hisab. Hamid Magul An-Na`imy. Makalah dalam Kajian Reguler AFDA, Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah Cairo. Tertulis pada tahun 2005

[7] voa-khilafah.blogspot.com “Polemik 1 Syawwal 1432 H: Jiddan Kompasiana Harus Minta Maaf!”. 2 September 2011.

[8] Beda Lebaran, Bukan Persoalan Hisab vs Rukyat. Oleh Ma`rufin Sudibyo. Artikel diambil dari facebook.com, tertulis tanggal 30 Agustus 2011

[9] Qadhaya Fiqhiyah Mu`ashirah.Tim Penyusun Bidang Fikih Perbandingan. Juz 1. Hal 131, 132.

[10] okezone.com “Di 34 Kota Hilal Belum Terlihat”. 29 Agustus 2011; republika.co.id “Tim Rukyat Gagal Lihat Bulan di Kenjeran”, 29 Agustus 2011, “Sembilan Lokasi Rukyatul Hilal di Jatim Gagal” 29 Agustus 2011.

[11] eramuslim.com “Bosscha: Lebaran Pada 31 Agustus 2011”

[12] vivanews.com Enam Sistem Sudah Menetapkan Hilal”, 29 Agustus 2011.

[13] okezone.com “Di 34 Kota Hilal Belum Terlihat”. 29 Agustus 2011

[14] voa-islam.com “Penetapan Lebaran Pemerintah Tidak Sah dan Melecehkan Syari`at Islam?”. 31 Agustus 2011; eramuslim.com “Hilal Telah Terlihat di Cakung”. 29 Agustus 2011.

[15] nu.or.id “Hilal Imajiner 1 Syawwal 1432 dari Cakung”. 2 September 2011.

[16] HR. Muslim.

[17] Ahkam Al-Ibadat, Dirasah Fiqhiyah Muqaranah. Dr. Sa`duddin Al-Hilali. Cairo 2010.

[18] okezone.com “Kisruh Lebaran Lebih Awal, Imam Masjid Dipecat”. 2 September 2011

[19] HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban, Abu Dawud, Nasa’i, Daruquthni.

[20] HR. Abu Dawud.

[21] eramuslim.com “Di Balik ‘Permainan’ Penentuan Idul Firti 1432 H” 9 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar