Laman

21 Sep 2011

Terapung di atas Nil…

Kawan, kenangan yang terekam dalam setiap kepala manusia biasanya akan berbeda, meski mereka mengunjungi satu tempat yang sama dalam satu waktu. Setidaknya inilah yang terekam dalam kepalaku, mungkin akan berbeda juga dengan kenangan yang kau rekam. Let’s begin…

Seperti yang direncanakan, kita akan berangkat menuju Qanatir melalui jalan air, dengan menaiki perahu dari Tahrir hingga tempat tujuan. Akupun tak tahu bagaimana Qanatir yang selalu disebut-sebut itu, dengan kata lain inilah pengalaman pertamaku ke sana.

Jadwal kita berangkat sebenarnya adalah jam 7 pagi, karena perahu tujuan Qanatir tersedia dari jam 8 hingga jam 10. Namun kau tahu? Di sini bukan Swiss atau Jepang yang sangat terpatok dengan waktu, inilah Mesir yang mana waktu sangat fleksibel! Jadwal dipastikan akan molor minimal satu jam! dan benar adanya, jam delapan pagi pun mataku baru saja terbuka! Begitu juga mungkin dengan teman-temanku yang lain.

Anyway, kita keluar dari gerbang asrama sekitar jam sepuluh pagi. Setelah proses menunggu yang cukup (lama), akhirnya kita (sekitar dua puluh sekian orang) berangkat dari halte di dekat Taki. Dengan menaiki bus merah entah nomer berapa, kita sampai di stasiun metro Damardash. Setelah membayar tiket, kita turun ke bawah menunggu kereta datang.

Kereta datang, lalu kita naik. Perlu diketahui, di Cairo ini ada dua jalur metro bawah tanah, pertama adalah jurusan El-Marg ke Hilwan, dan jalur kedua jurusan Shubra El-Khayma ke Munib. Kedua jalur ini bertemu di stasiun Syuhada (Mubarak - Ramses) dan di Sadat (Tahrir). Dan kita menaiki metro jalur pertama. Oh, ya. Ada lagi jalur ketiga yang masih dalam tahap pembangunan, jurusan Bandara ke Bab-Sya`riya, lewat Abbasiya dan Abd Pasha. Maka, jika jalur ketiga ini sudah selesai, perjalanan menuju bandara dari Asrama akan sangat mudah, tinggal turun ke stasiun Abd Pasha lalu meluncur.

Kita sampai di Stasiun Sadat, yang terletak di bawah lapangan Tahrir yang menjadi tempat demonstrasi besar ketika bulan Januari. Setelah keluar, kita melanjutkan perjalanan menuju sungai Nil, ternyata di sana telah menunggu dua orang teman kita yang katanya sudah datang sejak pagi (Ehm).

Kita tiba di tepi sungai sekitar jam sebelas siang, berarti sudah tidak ada lagi kapal yang bertujuan ke sana, hingga kita terpaksa untuk bernego dengan pemilik perahu kecil yang memang ada di sana. Sebenarnya, kapal yang memang sudah dijadwalkan berangkat akan memiliki persiapan yang prima, karena memang sudah diniatkan untuk berangkat. Namun yang kita naiki adalah kapal yang berbeda, kapal yang hanya digunakan berputar sekitar situ dan belum memiliki persiapan yang cukup untuk melakukan perjalanan jauh. Hal itu terlihat ketika pemilik kapal membawa dua buah mesin kapal dan drum bahan bakar yang dipinjam dari kapal sebelah. Firasatku mengatakan yang tidak enak.

Biaya yang kita keluarkan pastinya lebih besar, karena kita menyewa satu perahu untuk bersama. Setelah membayar masing-masing 20 pound, kita berangkat.

Lagu “Belah Duren” mengawali perjalan kita kali ini, setidaknya itu lebih baik daripada mendengarkan lagu Mesir yang malah akan membuat mabuk perjalanan. Mungkin pemilik perahu terbengong melihat (sebagian) kita sangat menikmati lagu ini, begitu pula jika kita melihat orang Mesir yang sangat menikmati lagu (ga jelas) mereka. Gitar yang dibawa telah kalah saing dengan deru mesin yang bersahutan dengan lagu dangdut, walau begitu kita tetap menikmati perjalanan ini.

Perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam. Selama itu kita tak henti tertawa karena ulah beberapa teman di atas perahu, dari sekedar joget hingga celetukan biasa yang malah membuat kita tertawa ngakak. Dari sekedar celotehan hingga saling olok-olokan. Kapan lagi kita tertawa bersama di atas perahu?

Angin bertiup kencang, secara kita berada di tengah sungai yang besar. Kawanan burung bangau putih beterbangan mencari ikan. Pohon pisang berjejer di tepi sungai sepanjang perjalanan. Nelayan yang mencari ikan, bebek yang berenang, hingga perahu boat berisi bule yang melaju kencang. (pada liat ga?)

Aku baru tahu, bahwa di tengah arus air kita akan menemukan dua macam arus, pertama adalah arus dalam yang bisa dilalui oleh perahu besar, lalu arus dangkal yang tidak bisa dilalui kecuali oleh perahu kecil. Jika kau lihat, maka perbedaannya akan jelas, arus dalam akan terlihat dari gelombangnya, dan arus dangkal akan terlihat datar dan tenang. Sepertinya itulah cikal bakal adanya pulau ditengah sungai, yaitu berasal dari endapan-endapan sungai yang semakin lama bertumpuk dan meninggi. Arus air pun menarik benda-benda menuju kesana.

Akhirnya kita tiba di tempat tujuan. Pertama kali kita akan dikenalkan dengan puluhan kuda beserta hiasannya yang hijau. Bau mereka akan tercium di mana-mana, secara orang Mesir tidak memberi tempat khusus untuk kotoran kuda seperti di Indonesia, jorok! Itulah kenangan pertamaku ke Qanatir, Tai Kuda! Hah!

Layaknya tempat wisata di mana-mana, kita pasti akan ditawari berbagai macam jasa, dari kuda hingga motor, menambah enek yang bercampur dengan aroma kuda. Kita pun tak tahu kemana tujuan kita setelah ini, kita hanya ikut teman yang memang sudah pernah ke sini. Pertamanya kita menuju suatu masjid, namun ternyata dikunci. Untuk apa ada masjid kalau tenyata dikunci?

Oh, ya! ada satu temanku yang sejak perjalanan sudah tak tahan ingin buang air, dan dia juga yang mengarahkan kita ke masjid ini, berharap ada kamar kecil, namun ternyata nihil. Akhirnya kita tak tahu ia pergi kemana, dan kita hanya menunggu di depan masjid itu. Pelajaran moral kali ini, jika hendak bepergian bersama wanita, hendaklah buang persediaan airmu agar tidak memberatkan! Ga enak kan kalo kebelet di tengah jalan? Meskipun di perahu kau dikelilingi air, tapi tak mungkin kau buang air begitu saja kan? Haha. (sori ^^)

Lalu kita kembali ke tempat semula, dekat jembatan dan masuk ke sebuah taman. (Terimakasih kepada mas Yaqien yang udah bayarin ^^). Setelah shalat dzuhur di sana, lalu kita mencari tempat yang enak untuk berkumpul. Tamannya tidak lebih baik dari Asyir Ramadhan, bahkan di sana jauh lebih bagus dan terawat. Sepertinya taman ini hampir sama dengan taman di Marry Land yang tidak terawat. Tapi tak apa, tetap kita nikmati hari ini.

Setelah menemukan tempat yang pas, akhirnya kita membuka perbekalan kita. Nasi dan lauk seadanya, ditambah sambel yang maknyoss menghilangkan rasa lapar kita. Memang tim masak Byzantium tiada duanya! Bolehlah kalo resepsi nanti ngehendel ketring!

Acara selanjutnya permainan oleh spesialis permainan kita, Bang Mabda. Seolah tidak habis ide untuk permainan, ada saja ide yang dimunculkan untuk menceriakan suasana. Dari tutup toples jadi rebana, stir mobil, piring. Lalu botol air menjadi Telfon(?), teropong, stik golf(?), tempat kencing, hingga kuda-kudaan(??). Lalu kotak rokok jadi kamera, sikat baju, stik Pe Es(?), dan strika(??). dan juga hukuman bagi yang kalah, dari nyanyi Indonesia raya sambil hormat, Nyanyi lagu daerah, Adzan, “Hasyisyi!”, hingga “Gombal” (Ehem lagi)! Memang hari yang puas untuk tertawa, sejak pertama kali berangkat hingga nanti pulang.

Setelah puas bermain, kita berfoto ria lalu pulang. Perasaanku tidak enak ketika kita kembali menaiki perahu, empunya perahu menambah bayaran sebesar 50 Pound untuk biaya dermaga, karena katanya kita terlambat 2 jam dari perjanjian. Padahal kita memang telah berjanji akan pulang jam 4, namun ia bersikeras meminta tambahan untuk pemilik dermaga. Akhirnya, daripada tidak bisa pulang, terpaksa kita menambah uang lagi.

Mesin perahu dinyalakan, namun tidak mau nyala, hingga kita berputar di tengah air masih di depan dermaga. Setelah agak lama, akhirnya perahu mulai berjalan. Namun belum lama, mesin kapal mati lagi. Kita terbawa gelombang hingga merapat ke perbatasan yang terbuat dari jejeran drum. Awalnya kita hanya menganggap itu adalah hal biasa, hanya mati sebentar lalu akan nyala lagi dan perjalanan akan lancar. Kita kembali bercanda dan tertawa, musik dangdut kembali berputar dan kita kembali berjoget.

Mesin kembali menyala, dan kita berjalan sekitar tiga ratus meter (aku pun tidak menghitung) tapi ternyata mati lagi. Pemilik kapal terlihat pusing dengan mesin yang tidak mau nyala, akhirnya ia tukar mesin yang ada dengan mesin cadangan lalu kita melaju kembali.
Kita tidak tahu menahu tentang mesin atau persiapan kapal, karena kita hanya membayar dan sisanya adalah tanggungjawab nahkoda kapal. Berulang kali kapal berhenti dan berganti mesin, hingga suatu saat tepat sebelum matahari terbenam kita berhenti lagi. Ketika nahkoda kapal sibuk mengurusi mesin, aku merasakan ada suatu hal yang aneh, semakin lama kita berhenti semakin dekat kita kepada daerah rawa yang ditumbuhi pepohonan. Itulah arus dangkal yang tadi kusebut.

Mungkin karena memang gelombang air mengarah kesana, hingga semua endapan sungai terkumpul di sana, semakin tinggi hingga ditumbuhi lumut dan pepohonan, maka kita pun terbawa gelombang air ke sana. Aku baru menyadari hal ini ketika awak kapal meminta bantuan kepada nelayan yang ada di situ untuk menarik kapal kita agar keluar dari daerah itu, kita memang melihat perbedaan mencolok antara arus dalam dan dangkal. Karena lama kita tidak jalan, akhirnya kita kembali terbawa gelombang ke sana hingga terpaksa awak kapal meminta bantuan lagi kepada nelayan tadi. (Oh, ternyata begitu).

Kita sama sekali tidak panik dengan hal ini, karena waktu yang memang masih senja. Kita masih bisa menikmati matahari terbenam di sana, dengan tetap bercanda dan tertawa. Untunglah ada mas Ghassan, mas Berry dan lainnya yang membuat kita lupa akan rasa was-was (Standing Applause dah buat mas Ghassan! Nihuy!)

Kapal berjalan kembali, namun dengan mesin yang seakan dipaksakan untuk berjalan, kita mendengar mesin bersuara lebih bising dari biasanya, seperti motor yang berjalan dengan gigi satu hingga mencapai batasnya namun tidak dinaikkan menjadi gigi dua. Keadaan seperti itu berjalan agak lama, hingga kita melewati pabrik dengan empat cerobong asap yang menyala-nyala. Hari mulai gelap dan kita terus melaju dalam kegelapan, hanya lampu di tepi sungai dan lampu jembatan yang menjadi penerang.

Lagu dangdut tak lagi mengalun, karena mungkin penunggu Nil terganggu oleh lagu kami hingga akhirnya kami dikutuk dan terdampar(?). Setelah melewati jembatan pertama yang dihiasi lampu berjejer, tak sadar nahkoda kapal mengarahkan kita kepada arus dangkal. Mungkin karena malam yang gelap dan mengemudikan perahu dari belakang, dia tidak melihat kepada permukaan air. Dan kita juga memang tidak tahu menahu apa perbedaan antara air yang bergelombang dan air yang tenang, hingga kita dikejutkan dengan suara mesin yang berputar lebih kencang dari sebelumnya. Ternyata baling-baling kapal terkena tumbuhan air.

Letak permasalahan bukan hanya di sana, ternyata permukaan air sangat dangkal dan perahu sama sekali tidak bisa jalan. Bayangkan saja dua puluh sekian orang berada di atas perahu, dan terjebak di aliran dangkal sepaha. Mungkin jika perahu ini tak berpenumpang akan mudah untuk menarik kembali ke arus yang dalam, namun tidak semudah itu jika berpenumpang banyak.

Perasaan was-was mulai merasuk, napas-napas kelelahan tertawa sudah tercium, kita kebingungan di tengah luasnya nil sendirian. Nahkoda kapal tak kalah kebingungan lagi, berulang kali mesing diputar-putar agar kita bisa bergerak, namun tak berhasil. Kita pun disuruh untuk pindah ke dek kapal bagian depan agar perahu lebih berat ke depan, namun tetap sulit. Lalu kita pindah ke belakang agar perahu berat ke belakang, namun tetap saja tidak bisa.

Jika saja ada balok kayu panjang, maka kita bisa mendorong perahu ini dengan kayu, namun ketika itu tidak ada satupun alat yang bisa kita pakai. Lalu, andai saja ada perahu lain yang melintas di sekitar situ, kita bisa meminta pertolongan agar mereka menarik perahu kita, namun sayangnya kita di sana sendirian. Gelap, sepi, di tengah luasnya Nil, sendiri, kebingungan, tidak ada lampu yang bisa digunakan untuk meminta tolong, dan perlu dikasihani.

Wajah-wajah kelelahan bercampur cemas terlihat di sekeliling, beberapa dari kami mulai bikin status di pesbuk atau twiter tentang terdamparnya kita di sini. Salah satu nahkoda kapal masuk ke air dan mendorong kapal dari bawah, satunya lagi masih membulak-balik mesin kapal agar kapal bisa berjalan. Sedangkan kita tetap berusaha untuk tertawa agar tidak terlalu panik, hingga akhirnya kapal bisa jalan kembali! (Alhamdulillah yah!)

Senyuman di wajah kita kembali sirna saat suara mesin mengecil, lalu batuk dan mati. Padahal lampu jembatan masih terlihat, berarti kita masih belum jauh meninggalkan tempat terdampat kita yang sebelumnya. Kita kembali terbawa gelombang ke arus dangkal, nahkoda kapal masih berusaha menyalakan kembali mesin yang mati. Lalu mesin menyala, dan kita melaju menjauhi daerah dangkal tadi, dan mesin mati! Hingga kedua nahkoda kapal itu menyerah, dan kami kalang kabut. (Khususnya penumpang wanita)

Kita tidak bisa menyalahkan siapa siapa di sini, jika menyalahkan nahkoda kapal karena persiapan mereka kurang, lah kenapa kita terlambat datang dari jadwal? Kapal mereka memang tidak diniatkan untuk perjalanan jauh, maka maklumlah jika persiapannya kurang. Mereka pun baru mempersiapkan diri ketika kita sudah di atas kapal hendak berangkat. Jika kita menyalahkan mesin, salahkan saja! Diapun tidak akan meminta maaf! Atau salahkanlah budaya waktu! Kenapa (hampir semua) praktek kegiatan akan selalu molor satu hingga dua jam dari jadwal?.

Untuk kesekian kalinya kapal terbawa ke daerah dangkal dan terdampar di sana. Kita sudah kelelahan untuk sekedar tertawa, permainan-permainan gokil yang tadi sangat menghibur sudah out of date, bahkan para penumpang wanita sudah kebingungan bagaimana memberitahu pengurus asrama tentang keterlambatan ini. nahkoda kapal pun hanya memikirkan satu solusi, “Meminta Bantuan Teman Untuk Menjemput!”

Kawan, ketika kau mendengar janji orang Mesir tentang waktu, maka bersiaplah untuk mengalikannya menjadi tujuh! Karena kata Bukroh pun bisa menjadi satu minggu, maka kata lima belas menit bisa saja menjadi beberapa jam. Itulah yang kupegang ketika itu, maka bersiaplah untuk resiko terburuk “pulang tengah malam!”

Kita tidak mungkin untuk merapat ke tepi sungai lalu berganti dengan naik mobil, karena kita pun tidak tahu kita berada di daerah mana di peta dan seberapa jauh kita dari asrama, kita juga tidak tahu di mana dermaga yang bisa digunakan untuk merapat, bahkan kita juga tidak tahu nih kapal masih bisa jalan atau tidak. Anyway, lebih baik duduk manis melihat bulan terang yang beranjak naik daripada berhayal pindah moda angkutan. Harapan kita sekarang hanya dua, Allah dan Kapal yang akan menjemput kita. Maka, perbanyaklah berdoa!

Keringat dan udara dingin bercampur, ditambah dengan cerita tentang legenda buaya putih dan mayat kuda yang terdampar di arus dangkal tadi sore, atau cerita di film Anakonda ketika perahu tiba-tiba dililit oleh ular, atau Pirates of the Carribian(?) yang dililit oleh monster tentakel atau terbawa arus melingkar seperti topan. (Sepertinya itu tak akan terjadi)

Senyuman kita agak merekah ketika sebuah kapal besar mendekat, namun ternyata itu perahu orang kawinan, lalu mereka lewat begitu saja dan kami kembali murung. Hingga akhirnya kapal yang kita tunggu datang juga. Ditandai dengan suara musik khas Mesir yang bikin kebelet pipis, ia mendekat. Akhirnya kita berpindah ke kapal itu dan kapal kita ditarik olehnya.

Mungkin ketika itulah puncak dari kelelahanku, bahkan untuk tertawa pun rasanya sudah tak mampu. Tadi malam aku tidur normal, namun sekarang sudah sangat lelah, apalagi teman-teman kita yang masak tadi malam? (Standing Applause dah untuk mereka! Sesuatu banget yah!) Musik khas Mesir menyiksa telinga, menambah lelah dan tidak karuan. Mata tidak bisa terpejam karena musik yang gila, badan tidak bisa rebahan karena persediaan air yang hendak pecah, mulutpun tak bisa banyak bicara atau tertawa, takut nanti keran air bocor. Aku yakin, bukan hanya aku yang merasakan seperti ini. ^^

Akhirnya kita sampai di dermaga Tahrir sekitar jam sebelas kurang seperempat dengan sehat wal afiat. Alhamdulillah(yah)! Lalu kita pulang ke tempat masing-masing (dengan terburu-buru).

Setidaknya itulah perjalanan kita kali ini, menghasilkan dua orang diskors (penjara) selama 3 hari dan sisanya selama satu hari tidak boleh keluar asrama. “Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari pengalaman, dan banyak pengalaman yang bisa kita ambil dari perjalanan”. Thanks for All, Fajar, Ucin, Gentong, Yaqien, Mabda, Ghassan, Pak Andi, Berry, Romal, Ima, Ifad, Mpo, Hajar, Lia, Nini, Eva, dan temen-temen laen yang ga kesebut. Kapan-kapan kita jalan-jalan lagi lah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar