Kawan, kenangan yang terekam dalam setiap kepala manusia
biasanya akan berbeda, meski mereka mengunjungi satu tempat yang sama dalam
satu waktu. Setidaknya inilah yang terekam dalam kepalaku, mungkin akan berbeda
juga dengan kenangan yang kau rekam. Let’s begin…
Seperti yang direncanakan, kita akan berangkat menuju Qanatir
melalui jalan air, dengan menaiki perahu dari Tahrir hingga tempat tujuan.
Akupun tak tahu bagaimana Qanatir yang selalu disebut-sebut itu, dengan kata
lain inilah pengalaman pertamaku ke sana.
Jadwal kita berangkat sebenarnya adalah jam 7 pagi,
karena perahu tujuan Qanatir tersedia dari jam 8 hingga jam 10. Namun kau tahu?
Di sini bukan Swiss atau Jepang yang sangat terpatok dengan waktu, inilah Mesir
yang mana waktu sangat fleksibel! Jadwal dipastikan akan molor minimal satu
jam! dan benar adanya, jam delapan pagi pun mataku baru saja terbuka! Begitu
juga mungkin dengan teman-temanku yang lain.
Anyway, kita keluar dari gerbang asrama sekitar jam
sepuluh pagi. Setelah proses menunggu yang cukup (lama), akhirnya kita (sekitar
dua puluh sekian orang) berangkat dari halte di dekat Taki. Dengan menaiki bus
merah entah nomer berapa, kita sampai di stasiun metro Damardash. Setelah
membayar tiket, kita turun ke bawah menunggu kereta datang.
Kereta datang, lalu kita naik. Perlu diketahui, di Cairo ini
ada dua jalur metro bawah tanah, pertama adalah jurusan El-Marg ke Hilwan, dan
jalur kedua jurusan Shubra El-Khayma ke Munib. Kedua jalur ini bertemu di
stasiun Syuhada (Mubarak - Ramses) dan di Sadat (Tahrir). Dan kita menaiki
metro jalur pertama. Oh, ya. Ada
lagi jalur ketiga yang masih dalam tahap pembangunan, jurusan Bandara ke
Bab-Sya`riya, lewat Abbasiya dan Abd Pasha. Maka, jika jalur ketiga ini sudah
selesai, perjalanan menuju bandara dari Asrama akan sangat mudah, tinggal turun
ke stasiun Abd Pasha lalu meluncur.
Kita sampai di Stasiun Sadat, yang terletak di bawah
lapangan Tahrir yang menjadi tempat demonstrasi besar ketika bulan Januari.
Setelah keluar, kita melanjutkan perjalanan menuju sungai Nil, ternyata di sana telah menunggu dua
orang teman kita yang katanya sudah datang sejak pagi (Ehm).
Kita tiba di tepi sungai sekitar jam sebelas siang, berarti
sudah tidak ada lagi kapal yang bertujuan ke sana,
hingga kita terpaksa untuk bernego dengan pemilik perahu kecil yang memang ada
di sana.
Sebenarnya, kapal yang memang sudah dijadwalkan berangkat akan memiliki
persiapan yang prima, karena memang sudah diniatkan untuk berangkat. Namun yang
kita naiki adalah kapal yang berbeda, kapal yang hanya digunakan berputar
sekitar situ dan belum memiliki persiapan yang cukup untuk melakukan perjalanan
jauh. Hal itu terlihat ketika pemilik kapal membawa dua buah mesin kapal dan
drum bahan bakar yang dipinjam dari kapal sebelah. Firasatku
mengatakan yang tidak enak.
Biaya yang kita keluarkan pastinya lebih besar, karena kita
menyewa satu perahu untuk bersama. Setelah membayar masing-masing 20 pound,
kita berangkat.
Lagu “Belah Duren” mengawali perjalan kita kali ini,
setidaknya itu lebih baik daripada mendengarkan lagu Mesir yang malah akan membuat
mabuk perjalanan. Mungkin pemilik perahu terbengong melihat (sebagian) kita
sangat menikmati lagu ini, begitu pula jika kita melihat orang Mesir yang
sangat menikmati lagu (ga jelas) mereka. Gitar yang dibawa telah kalah saing dengan
deru mesin yang bersahutan dengan lagu dangdut, walau begitu kita tetap
menikmati perjalanan ini.
Perjalanan akan memakan waktu sekitar dua jam. Selama itu kita
tak henti tertawa karena ulah beberapa teman di atas perahu, dari sekedar joget
hingga celetukan biasa yang malah membuat kita tertawa ngakak. Dari sekedar
celotehan hingga saling olok-olokan. Kapan lagi kita tertawa bersama di atas
perahu?
Angin bertiup kencang, secara kita berada di tengah sungai
yang besar. Kawanan burung bangau putih beterbangan mencari ikan. Pohon pisang
berjejer di tepi sungai sepanjang perjalanan. Nelayan yang mencari ikan, bebek
yang berenang, hingga perahu boat berisi bule yang melaju kencang. (pada liat
ga?)
Aku baru tahu, bahwa di tengah arus air kita akan menemukan
dua macam arus, pertama adalah arus dalam yang bisa dilalui oleh perahu besar,
lalu arus dangkal yang tidak bisa dilalui kecuali oleh perahu kecil. Jika kau
lihat, maka perbedaannya akan jelas, arus dalam akan terlihat dari
gelombangnya, dan arus dangkal akan terlihat datar dan tenang. Sepertinya
itulah cikal bakal adanya pulau ditengah sungai, yaitu berasal dari
endapan-endapan sungai yang semakin lama bertumpuk dan meninggi. Arus air pun
menarik benda-benda menuju kesana.
Akhirnya kita tiba di tempat tujuan. Pertama kali kita akan
dikenalkan dengan puluhan kuda beserta hiasannya yang hijau. Bau mereka
akan tercium di mana-mana, secara orang Mesir tidak memberi tempat khusus untuk
kotoran kuda seperti di Indonesia, jorok! Itulah kenangan pertamaku ke Qanatir,
Tai Kuda! Hah!
Layaknya tempat wisata di mana-mana, kita pasti akan
ditawari berbagai macam jasa, dari kuda hingga motor, menambah enek yang
bercampur dengan aroma kuda. Kita pun tak tahu kemana tujuan kita setelah ini, kita
hanya ikut teman yang memang sudah pernah ke sini. Pertamanya kita menuju suatu
masjid, namun ternyata dikunci. Untuk apa ada masjid kalau tenyata dikunci?
Oh, ya! ada satu temanku yang sejak perjalanan sudah tak
tahan ingin buang air, dan dia juga yang mengarahkan kita ke masjid ini,
berharap ada kamar kecil, namun ternyata nihil. Akhirnya kita tak tahu ia pergi
kemana, dan kita hanya menunggu di depan masjid itu. Pelajaran moral kali ini,
jika hendak bepergian bersama wanita, hendaklah buang persediaan airmu agar
tidak memberatkan! Ga enak kan kalo kebelet di tengah jalan? Meskipun di
perahu kau dikelilingi air, tapi tak mungkin kau buang air begitu saja kan?
Haha. (sori ^^)
Lalu kita kembali ke tempat semula, dekat jembatan dan masuk
ke sebuah taman. (Terimakasih kepada mas Yaqien yang udah bayarin ^^). Setelah
shalat dzuhur di sana, lalu kita mencari tempat yang enak untuk berkumpul.
Tamannya tidak lebih baik dari Asyir Ramadhan, bahkan di sana jauh lebih bagus
dan terawat. Sepertinya taman ini hampir sama dengan taman di Marry Land yang
tidak terawat. Tapi tak apa, tetap kita nikmati hari ini.
Setelah menemukan tempat yang pas, akhirnya kita membuka
perbekalan kita. Nasi dan lauk seadanya, ditambah sambel yang maknyoss
menghilangkan rasa lapar kita. Memang tim masak Byzantium tiada duanya!
Bolehlah kalo resepsi nanti ngehendel ketring!
Acara selanjutnya permainan oleh spesialis permainan kita,
Bang Mabda. Seolah tidak habis ide untuk permainan, ada saja ide yang
dimunculkan untuk menceriakan suasana. Dari tutup toples jadi rebana, stir
mobil, piring. Lalu botol air menjadi Telfon(?), teropong, stik golf(?), tempat
kencing, hingga kuda-kudaan(??). Lalu kotak rokok jadi kamera, sikat baju, stik
Pe Es(?), dan strika(??). dan juga hukuman bagi yang kalah, dari nyanyi
Indonesia raya sambil hormat, Nyanyi lagu daerah, Adzan, “Hasyisyi!”, hingga
“Gombal” (Ehem lagi)! Memang hari yang puas untuk tertawa, sejak pertama kali
berangkat hingga nanti pulang.
Setelah puas bermain, kita berfoto ria lalu pulang. Perasaanku
tidak enak ketika kita kembali menaiki perahu, empunya perahu menambah bayaran
sebesar 50 Pound untuk biaya dermaga, karena katanya kita terlambat 2
jam dari perjanjian. Padahal kita memang telah berjanji akan pulang jam 4,
namun ia bersikeras meminta tambahan untuk pemilik dermaga. Akhirnya, daripada
tidak bisa pulang, terpaksa kita menambah uang lagi.
Mesin perahu dinyalakan, namun tidak mau nyala, hingga kita
berputar di tengah air masih di depan dermaga. Setelah agak lama, akhirnya
perahu mulai berjalan. Namun belum lama, mesin kapal mati lagi. Kita terbawa
gelombang hingga merapat ke perbatasan yang terbuat dari jejeran drum. Awalnya
kita hanya menganggap itu adalah hal biasa, hanya mati sebentar lalu akan nyala
lagi dan perjalanan akan lancar. Kita kembali bercanda dan tertawa, musik
dangdut kembali berputar dan kita kembali berjoget.
Mesin kembali menyala, dan kita berjalan sekitar tiga ratus
meter (aku pun tidak menghitung) tapi ternyata mati lagi. Pemilik kapal
terlihat pusing dengan mesin yang tidak mau nyala, akhirnya ia tukar mesin yang
ada dengan mesin cadangan lalu kita melaju kembali.
Kita tidak tahu menahu tentang mesin atau persiapan kapal,
karena kita hanya membayar dan sisanya adalah tanggungjawab nahkoda kapal.
Berulang kali kapal berhenti dan berganti mesin, hingga suatu saat tepat
sebelum matahari terbenam kita berhenti lagi. Ketika nahkoda kapal sibuk
mengurusi mesin, aku merasakan ada suatu hal yang aneh, semakin lama kita
berhenti semakin dekat kita kepada daerah rawa yang ditumbuhi pepohonan. Itulah
arus dangkal yang tadi kusebut.
Mungkin karena memang gelombang air mengarah kesana, hingga
semua endapan sungai terkumpul di sana, semakin tinggi hingga ditumbuhi lumut
dan pepohonan, maka kita pun terbawa gelombang air ke sana. Aku baru menyadari
hal ini ketika awak kapal meminta bantuan kepada nelayan yang ada di situ untuk
menarik kapal kita agar keluar dari daerah itu, kita memang melihat perbedaan
mencolok antara arus dalam dan dangkal. Karena lama kita tidak jalan, akhirnya
kita kembali terbawa gelombang ke sana hingga terpaksa awak kapal meminta
bantuan lagi kepada nelayan tadi. (Oh, ternyata begitu).
Kita sama sekali tidak panik dengan hal ini, karena waktu
yang memang masih senja. Kita masih bisa menikmati matahari terbenam di sana,
dengan tetap bercanda dan tertawa. Untunglah ada mas Ghassan, mas Berry dan
lainnya yang membuat kita lupa akan rasa was-was (Standing Applause dah buat
mas Ghassan! Nihuy!)
Kapal berjalan kembali, namun dengan mesin yang seakan
dipaksakan untuk berjalan, kita mendengar mesin bersuara lebih bising dari
biasanya, seperti motor yang berjalan dengan gigi satu hingga mencapai batasnya
namun tidak dinaikkan menjadi gigi dua. Keadaan seperti itu berjalan agak lama,
hingga kita melewati pabrik dengan empat cerobong asap yang menyala-nyala. Hari
mulai gelap dan kita terus melaju dalam kegelapan, hanya lampu di tepi sungai
dan lampu jembatan yang menjadi penerang.
Lagu dangdut tak lagi mengalun, karena mungkin penunggu Nil
terganggu oleh lagu kami hingga akhirnya kami dikutuk dan terdampar(?). Setelah
melewati jembatan pertama yang dihiasi lampu berjejer, tak sadar nahkoda kapal
mengarahkan kita kepada arus dangkal. Mungkin karena malam yang gelap dan
mengemudikan perahu dari belakang, dia tidak melihat kepada permukaan air. Dan
kita juga memang tidak tahu menahu apa perbedaan antara air yang bergelombang
dan air yang tenang, hingga kita dikejutkan dengan suara mesin yang berputar
lebih kencang dari sebelumnya. Ternyata baling-baling kapal terkena tumbuhan
air.
Letak permasalahan bukan hanya di sana, ternyata permukaan
air sangat dangkal dan perahu sama sekali tidak bisa jalan. Bayangkan saja dua
puluh sekian orang berada di atas perahu, dan terjebak di aliran dangkal
sepaha. Mungkin jika perahu ini tak berpenumpang akan mudah untuk menarik
kembali ke arus yang dalam, namun tidak semudah itu jika berpenumpang banyak.
Perasaan was-was mulai merasuk, napas-napas kelelahan
tertawa sudah tercium, kita kebingungan di tengah luasnya nil sendirian.
Nahkoda kapal tak kalah kebingungan lagi, berulang kali mesing diputar-putar
agar kita bisa bergerak, namun tak berhasil. Kita pun disuruh untuk pindah ke
dek kapal bagian depan agar perahu lebih berat ke depan, namun tetap sulit.
Lalu kita pindah ke belakang agar perahu berat ke belakang, namun tetap saja
tidak bisa.
Jika saja ada balok kayu panjang, maka kita bisa mendorong
perahu ini dengan kayu, namun ketika itu tidak ada satupun alat yang bisa kita
pakai. Lalu, andai saja ada perahu lain yang melintas di sekitar situ, kita bisa
meminta pertolongan agar mereka menarik perahu kita, namun sayangnya kita di
sana sendirian. Gelap, sepi, di tengah luasnya Nil, sendiri, kebingungan, tidak
ada lampu yang bisa digunakan untuk meminta tolong, dan perlu dikasihani.
Wajah-wajah kelelahan bercampur cemas terlihat di
sekeliling, beberapa dari kami mulai bikin status di pesbuk atau twiter tentang
terdamparnya kita di sini. Salah satu nahkoda kapal masuk ke air dan mendorong
kapal dari bawah, satunya lagi masih membulak-balik mesin kapal agar kapal bisa
berjalan. Sedangkan kita tetap berusaha untuk tertawa agar tidak terlalu panik,
hingga akhirnya kapal bisa jalan kembali! (Alhamdulillah yah!)
Senyuman di wajah kita kembali sirna saat suara mesin
mengecil, lalu batuk dan mati. Padahal lampu jembatan masih terlihat, berarti
kita masih belum jauh meninggalkan tempat terdampat kita yang sebelumnya. Kita
kembali terbawa gelombang ke arus dangkal, nahkoda kapal masih berusaha
menyalakan kembali mesin yang mati. Lalu mesin menyala, dan kita melaju menjauhi
daerah dangkal tadi, dan mesin mati! Hingga kedua nahkoda kapal itu menyerah,
dan kami kalang kabut. (Khususnya penumpang wanita)
Kita tidak bisa menyalahkan siapa siapa di sini, jika
menyalahkan nahkoda kapal karena persiapan mereka kurang, lah kenapa kita
terlambat datang dari jadwal? Kapal mereka memang tidak diniatkan untuk
perjalanan jauh, maka maklumlah jika persiapannya kurang. Mereka pun baru
mempersiapkan diri ketika kita sudah di atas kapal hendak berangkat. Jika kita
menyalahkan mesin, salahkan saja! Diapun tidak akan meminta maaf! Atau
salahkanlah budaya waktu! Kenapa (hampir semua) praktek kegiatan akan selalu
molor satu hingga dua jam dari jadwal?.
Untuk kesekian kalinya kapal terbawa ke daerah dangkal dan
terdampar di sana. Kita sudah kelelahan untuk sekedar tertawa,
permainan-permainan gokil yang tadi sangat menghibur sudah out of date, bahkan
para penumpang wanita sudah kebingungan bagaimana memberitahu pengurus asrama
tentang keterlambatan ini. nahkoda kapal pun hanya memikirkan satu solusi,
“Meminta Bantuan Teman Untuk Menjemput!”
Kawan, ketika kau mendengar janji orang Mesir tentang waktu,
maka bersiaplah untuk mengalikannya menjadi tujuh! Karena kata Bukroh
pun bisa menjadi satu minggu, maka kata lima belas menit bisa saja menjadi beberapa
jam. Itulah yang kupegang ketika itu, maka bersiaplah untuk resiko terburuk
“pulang tengah malam!”
Kita tidak mungkin untuk merapat ke tepi sungai lalu
berganti dengan naik mobil, karena kita pun tidak tahu kita berada di daerah
mana di peta dan seberapa jauh kita dari asrama, kita juga tidak tahu di mana
dermaga yang bisa digunakan untuk merapat, bahkan kita juga tidak tahu nih
kapal masih bisa jalan atau tidak. Anyway, lebih baik duduk manis
melihat bulan terang yang beranjak naik daripada berhayal pindah moda angkutan.
Harapan kita sekarang hanya dua, Allah dan Kapal yang akan menjemput kita.
Maka, perbanyaklah berdoa!
Keringat dan udara dingin bercampur, ditambah dengan cerita
tentang legenda buaya putih dan mayat kuda yang terdampar di arus dangkal tadi
sore, atau cerita di film Anakonda ketika perahu tiba-tiba dililit oleh ular,
atau Pirates of the Carribian(?) yang dililit oleh monster tentakel atau
terbawa arus melingkar seperti topan. (Sepertinya itu tak akan terjadi)
Senyuman kita agak merekah ketika sebuah kapal besar
mendekat, namun ternyata itu perahu orang kawinan, lalu mereka lewat begitu
saja dan kami kembali murung. Hingga akhirnya kapal yang kita tunggu datang
juga. Ditandai dengan suara musik khas Mesir yang bikin kebelet pipis, ia mendekat.
Akhirnya kita berpindah ke kapal itu dan kapal kita ditarik olehnya.
Mungkin ketika itulah puncak dari kelelahanku, bahkan untuk
tertawa pun rasanya sudah tak mampu. Tadi malam aku tidur normal, namun
sekarang sudah sangat lelah, apalagi teman-teman kita yang masak tadi malam?
(Standing Applause dah untuk mereka! Sesuatu banget yah!) Musik khas Mesir
menyiksa telinga, menambah lelah dan tidak karuan. Mata tidak bisa terpejam
karena musik yang gila, badan tidak bisa rebahan karena persediaan air yang
hendak pecah, mulutpun tak bisa banyak bicara atau tertawa, takut nanti keran
air bocor. Aku yakin, bukan hanya aku yang merasakan seperti ini. ^^
Akhirnya kita sampai di dermaga Tahrir sekitar jam sebelas
kurang seperempat dengan sehat wal afiat. Alhamdulillah(yah)! Lalu kita pulang
ke tempat masing-masing (dengan terburu-buru).
Setidaknya itulah perjalanan kita kali ini, menghasilkan dua
orang diskors (penjara) selama 3 hari dan sisanya selama satu hari tidak boleh
keluar asrama. “Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari pengalaman, dan banyak
pengalaman yang bisa kita ambil dari perjalanan”. Thanks for All, Fajar, Ucin,
Gentong, Yaqien, Mabda, Ghassan, Pak Andi, Berry, Romal, Ima, Ifad, Mpo, Hajar,
Lia, Nini, Eva, dan temen-temen laen yang ga kesebut. Kapan-kapan kita
jalan-jalan lagi lah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar