Laman

22 Jan 2012

Hukum Mengusap Kerudung dan Kaos Kaki dalam Wudlu



Bismillahirrahmanirrahim, Alhamdulillah, wa Shallallahu `ala rasulillah, wa `ala alihi wa shahbihi wa man ihtada bi hudah.
Allah subhanahu wa ta`ala menurunkan syari`at kepada umat manusia untuk beribadah kepadaNya, menjalankan segala perintahNya, menjauhi laranganNya, dan berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan olehNya. Semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula permasalahan dan perkara dalam kehidupan manusia yang pastinya akan bersinggungan dengan agama. Karena syari`at Islam sesuai untuk diterapkan di berbagai tempat dan zaman, maka setiap permasalahan baru pun akan terdapat hukumnya dalam syari`at.


Di sini akan saya coba menjabarkan perbedaan pendapat para ulama dalam masalah mengusap penutup kepala dalam wudlu dan mengusap kaos kaki.

Mengusap Penutup Kepala
Dalam Al-Maidah ayat 6 Allah menyebutkan syarat bagi orang yang hendak melakukan shalat adalah dengan berwudlu, yaitu dengan membasuh wajah, tangan, mengusap rambut dan membasuh kaki. Namun dalam kehidupan sehari-hari, terkadang seseorang menutupi kepalanya karena beberapa hal, entah itu mengenakan kerudung bagi wanita atau ikatan sorban, peci dan sebagainya bagi lelaki. Apakah mengusap penutup kepala saja bisa menggantikan kewajiban mengusap kepala?

Perlu diketahui, bahwa para ulama telah sepakat bahwa orang yang berwudlu dengan mengusap kepalanya lalu mengusap penutup kepalanya telah melakukan kewajiban. Permasalahannya terletak pada mengusap tutup kepala saja tanpa mengusap kepala.

Setidaknya ada dua pendapat dalam masalah ini;
  1. Pendapat pertama mengatakan wajib mengusap kepala dan tidak cukup jika mengusap tutup kepala saja. Ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi`i. Ini juga adalah pendapat dari beberapa orang sahabat dan tabi`in seperti Ibnu `Umar, Jabir bin Abdillah, Ibrahim an-Nakha`i, dan Qasim bin Muhammad.
  2. Pendapat kedua mengatakan boleh mengusap tutup kepala meski tanpa mengusap sebagian kepala. Ini adalah pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dan Dzhahiriyah. Ini juga pendapat dari Abu Bakar, Umar bin Khatthab, Anas bin Malik, Abu Darda, Bilal, Umar bin Abdul Aziz, Qatadah, Makhul dan Auza`i.
Dalil masing-masing:
  1. Beberapa dalil dari pendapat pertama:
    • (a.) Surat Al-Maidah ayat 6, “… dan usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu..!”[1]. [Ayat ini menunjukkan bahwa yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah kepala, jika penutup kepala bisa dilepas maka hendaklah dilepas dan mengusap kepala.]
    • (b.) Hadis dari Mughirah bin Syu`bah bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam berwudlu lalu mengusap bagian depan kepalanya dan penutup kepalanya dan kedua Khufnya.[2] [Mereka menilai dengan hadis ini bahwa mengusap penutup kepala tidak cukup jika tanpa mengusap kepala]
    • (c.) Hadis dari Aisyah bahwa ia memasukkan tangannya ke bawah khimar (kerudung) dan membasuh kepalanya. Lalu berkata, “Beginilah aku diperintahkan oleh Rasulullah”[3]
  2. Beberapa dalil Pendapat kedua:
    • (a.) Hadis dari Bilal bin Rabbah bahwa Rasulullah mengusap kedua Khuf dan Khimarnya.[4]
    • (b.) Hadis yang sama dengan pendapat pertama, dari Mughirah bin Syu`bah (1.b). [Mereka berpendapat dengan hadis ini, bahwa hadis ini menunjukkan kebolehan dalam mengusap tutup kepala ketika wudlu]
    • (c.) Hadis yang menunjukkan bahwa Ummu Salamah mengusap Khimarnya.[5]
Pendapat yang saya ambil adalah pendapat pertama, yaitu tetap membasuh kepala karena beberapa hal:
  1. Hadis Mughirah bin Syu`bah (1.b) jelas menunjukkan bahwa Rasulullah membasuh dahulu kepalanya lalu mengusap penutup kepalanya.
  2. Meski hadis dari Aisyah (1.c) belum jelas hukumnya (Shahih atau Dha`if) tetapi tetaplah lebih selamat jika membasuh kepala, karena perintah awalnya adalah membasuh kepala. Sedangkan hadis dari Ummu Salamah (2.c) dihukumi Dha`if oleh sebagian ulama.
  3. Hukum cukupnya membasuh penutup kepala dalam wudlu terdapat perbedaan pendapat, maka lebih baik membasuh kepala seperti dalam kaidah fikih “Keluar dari perbedaan itu dianjurkan”[6].
  4. Membasuh penutup kepala adalah sebuah Rukhshah, keringanan. Dan meninggalkan keringanan tidaklah apa-apa (meski ada pendapat bahwa meninggalkan rukhshah itu kurang utama). Wallahu A`lam.
Mengusap Kaos Kaki
Khuf adalah tutup kaki yang terbuat dari kulit yang menutupi telapak kaki hingga mata kaki, bentuknya hampir sama seperti kaos kaki dan tidak beralas keras layaknya sepatu yang biasa kita pakai. Mungkin pada zaman dahulu, itulah yang sering digunakan oleh orang Arab dalam perjalanan mereka. Namun karena sepatu modern sekarang lebih kuat, maka biasanya Khuf hanya digunakan ketika musim dingin untuk melindungi kaki dari dingin di dalam rumah.

Mayoritas ulama sepakat bolehnya mengusap Khuf sebagai pengganti membasuh kaki dalam wudlu, untuk orang yang berdiam atau orang yang melakukan perjalanan. Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai boleh atau tidaknya mengusap Jaurob (kaos kaki) dalam wudlu. Setidaknya ada dua pendapat dalam masalah ini;
  1. Pendapat pertama mengatakan bahwa membasuh kaos kaki dalam wudlu itu diperbolehkan tanpa syarat, bagaimanapun bentuknya, terbuat dari bahan apapun, tebal ataupun tipis, selama ia menutupi kaki maka diperbolehkan, bagi orang yang melakukan perjalanan ataupun orang yang berdiam. Ini adalah pendapat dari sebagian ulama madzhab Hanbali, dan ulama Salafiyah zaman ini.
  2. Pendapat kedua mengatakan bahwa membasuh kaos kaki dalam wudlu itu boleh jika memenuhi syarat, dan jika tidak terpenuhi maka tetap harus dengan membasuh kaki. Ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi`i, dan juga sebagian dari ulama madzhab Hanbali.
Dalil masing-masing:
  1. Dalil Pendapat Pertama:
    • (a.) Hadis dari Mughirah bin Syu`bah bahwa Rasulullah berwudlu lalu membasuh kedua jaurob dan sandalnya.[7]
    • (b.) Terdapat riwayat dari beberapa sahabat bahwa mereka membasuh kaos kaki mereka. Yaitu Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas`ud, Anas bin Malik, dan Abu Umamah.
    • (c.) Hadis dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam berkata: Sesungguhnya Allah `Azza wa Jalla senang jika keringanan-keringananNya dilaksanakan sebagaimana kewajiban-kewajibanNya dilaksanakan.[8] [Mengusap kaos kaki termasuk Rukhsah dari Allah, maka lebih baik untuk diambil]
    • (d.) Mereka juga berpendapat bahwa berbagai macam syarat yang biasa diberikan oleh sebagian ulama dalam membasuh Khuf dan kaos kaki tidaklah berlandaskan nash dari Al-Qur'an ataupun hadis. Dan tidak diperbolehkan memberikan syarat yang tidak berdasarkan nash[9].
  2. Dalil Pendapat Kedua:
    • (a.) Tentang kebolehan membasuh Jaurob, mereka berdalil dengan beberapa hadis, di antaranya adalah riwayat yang digunakan oleh pendapat pertama (1.a, b, dan c)
    • (b.) Tentang syarat penggunaannya, mereka mengkiaskan kaos kaki dengan Khuf yang memang memiliki beberapa syarat.
Syarat-syarat menurut pendapat kedua adalah
  • Sucinya kaki pada waktu pemakaian. Seperti yang diriwayatkan oleh Mughirah bin Syu`bah bahwa ia bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, lalu mereka berwudlu, dan ketika ia hendak melepaskan Khuf yang dipakai oleh Rasulullah, beliau berkata “Biarkanlah! Sesungguhnya tadi kumasukkan kakiku dalam keadaan suci”[10]
  • Hendaklah kaos kaki atau Khuf menutupi kaki hingga mata kaki.[11]
  • Harus kuat, tebal, menghalangi sampainya air ke kaki, tidak berlubang dan mampu untuk dipakai berjalan.[12]
  • Terbuat dari bahan yang suci, bukan dari kulit hewan yang diharamkan.
  • Waktu memakainya adalah 3 hari untuk perjalanan[13] dan satu hari untuk yang berdiam diri[14]. Dan jika kaos kaki atau Khuf terlepas maka wudlunya batal[15].
Pendapat yang saya ambil adalah pendapat yang kedua, yang mengatakan bahwa membasuh kaos kaki diperbolehkan dengan beberapa syarat sebagaimana membasuh sepatu atau Khuf. Dengan beberapa pertimbangan;
  1. Kaos kaki zaman sekarang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama tadi, ia tipis, jika terkena air maka akan merembes ke kaki, tidak kuat dan berpori. Dan ia berbeda dengan kaos kaki (Jaurob) yang digunakan pada zaman Rasulullah dulu, tebal dan bisa digunakan berjalan layaknya sepatu.
  2. Keringanan untuk mengusap sepatu dan kaos kaki adalah karena adanya kesulitan dalam melepasnya, sedangkan tidak ada kesulitan dalam melepas kaos kaki yang biasa kita pakai. Dan jika memang menggunakannya karena alasan dingin, maka hendaklah menggunakan Khuf yang telah disepakati kebolehannya.
  3. Mengusap sepatu dan kaos kaki adalah sebuah keringanan, dan meninggalkan sebuah keringanan bukanlah hal yang berdosa. Dan jika keringanan untuk membasuh kaos kaki model zaman sekarang masih diperselisihkan, maka lebih baik keluar dari perselisihan dengan tetap membasuh kaki.
  4. Jika seseorang membasuh kakinya dengan air secara sempurna hingga mata kaki, para ulama telah sepakat bahwa wudlunya sah. Namun jika seseorang mengusap kaos kakinya sebagai pengganti membasuh kaki, terdapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa wudlunya itu tidak sah dan juga shalatnya tidak sah. Wallahu A`lam.
Penutup
Perbedaan pendapat adalah hal yang tak bisa dihindari. Jangankan kita yang jauh dari masa kenabian, para sahabatpun memiliki berbagai macam perbedaan pendapat mengenai satu hal, padahal mereka masih hidup satu masa dengan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Kedua pendapat dari dua masalah tadi masing-masing memiliki dalil dan metode ijtihad yang berbeda, maka kitapun tak bisa menghukumi pendapat yang mana yang paling benar. Kita pun tidak mengemukakan pendapat dalam masalah ini, karena tak bisa dipungkiri bahwa kita masing-masing tidak berijtihad sendiri, melainkan hanyalah mengikuti pendapat yang telah dikemukakan oleh para ulama. Maka dalam tulisan inipun saya menuliskannya dengan kata “Pendapat yang saya ambil” karena sayapun tidak berpendapat, saya hanya mengikuti pendapat yang menurut saya lebih berhati-hati.

Ada wacana untuk menyeleksi berbagai pendapat dalam fikih lalu mengumpulkan pendapat yang paling Rajih, paling benar dari berbagai pendapat yang ada. Namun, setiap pendapat tadi adalah pendapat yang paling rajih, benar dan dekat kepada sunnah menurut masing-masing ulama, maka jika kita merasa tidak memiliki kemampuan untuk menyeleksi berbagai pendapat sebagaimana kemampuan mereka, janganlah gegabah untuk menentukan mana yang benar dan membuang pendapat yang dianggap salah. Kita pun masih dalam tahap belajar agama, maka menghormati perbedaan hasil ijtihad yang ada itu lebih baik daripada mempermasalahkan kembali hal-hal yang telah dibahas tuntas oleh para ulama, dan selama perbedaan itu tidak melenceng jauh dari syari`at. Semoga tulisan ini bermanfaat dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta`ala. Hentikanlah perdebatan dan selamat belajar. Wallahu A`lam.

Daftar Pustaka
Al-Qur'an al-Karim.
Al-Mausû`ah Al-Fiqhiyah
Al-Bugho, Musthafa Dayb (2010). Al-Tadzhîb fî Adillah Matan al-Ghâyah wa at-Taqrîb. Damaskus: Dar al-Musthafa.
Al-Bugho, Musthafa Dayb, Musthafa al-Khin & Ali al-Syarbaji (2008). Al-Fiqh al-Manhaji. Damaskus: Dar al-Musthafa.
Al-Khudlari, Ahmad Kamil. Nihâyah al-Ma’rab fî Hukmi al-Mashi `ala al-Jaurab. Cairo.
Al-Mishry, Abu `Ammar Mahmud (2006). Tahdzîr as-Sâjid min Akhthâ’ al-`Ibâdat wa al-`Aqâ’id. Cairo: Maktabah al-Shafa.
An-Nuri, Hasan Sulaiman & Alawi Abbas al-Maliki (2008). Ibânah al-Ahkâm syarh Bulûgh al-Marâm. Beirut: Dar al-Fikr.
As-Suyuthi, Jalaluddin (2008). Al-Asybâh wa an-Nadzâ’ir fî Qawâ`id wa Furû` Fiqh asy-Syâfi`iyah. Cairo: Maktabah al-Mukhtar.
Asy-Syarbîni, Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khathib (2005).  Al-Iqnâ` fî Halli Alfâdz Abî Syuja`.
Az-Zuhayli, Wahbah (2008). Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.
Hilali, Sa`duddin Mas`ad (2010). Ahkam al-`Ibâdât, Dirâsah Fiqhiyah Muqâranah. Cairo.


___________________________
[1] وامسحوا برؤوسكم (المائدة 6)

[2] عن المغيرة بن شعبة أن النبي توضّأ فمسح بناصيته و على العمامة و الخفين (مسلم, ابن حبان)

[3] عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا أَنَّهَا أَدْخَلَتْ يَدَهَا تَحْتَ الْخِمَارِ ، وَمَسَحَتْ بِرَأْسِهَا ، وَقَالَتْ : بِهَذَا أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّه (الكاساني في بدائع الصنائع)

[4] عن بلال قال: مسح رسول الله صلى الله عليه وسلم عل الخفين و الخمال (رواه الجماعة إلا البخاري و أبا داود)

[5] حدثنا ابن نمير عن سفيان عن سماك عن الحسن عن أم سلمة أنها كانت تمسح على الخمار (ابن أبي شيبة في المصنف)

[6] الخروج من الخلاف مستحب

[7] عن المغيرة بن شعبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ و مسح على الجوربين و النعلين (مسلم)

[8] عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الله عز وجل يحب أن تؤتى رخصه كما يحب أن تؤتى عزائمه (الطبراني)

[9] عن عائشة قالت .... ثم قام رسول الله صلى الله عليه و سلم على المنبر فقال: ما بال أقوام يشترطون شروطا ليست في كتاب الله, من اشترط شرطا ليس في كتاب الله فليس له و إن اشترط مائة شرط (البخاري و مسلم)

[10] دع هما فإني أدخلتهما طاهرين (البخاري و مسلم)

[11] Karena Khuf adalah pengganti (badal) dari membasuh kaki (mubdal minhu), maka keduanya tidak boleh berbeda dalam hukum. (لا يختلف البدل عن المبدل منه إلا بالدليل)

[12] Ini adalah sifat yang biasa terdapat pada Khuf.

[13] عن صفوان بن عسال رضي الله عنه قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمرنا إذا كنا مسافرين أن نمسح على خفافنا ولا ننزعها ثلاثة أيام, من غائط و بول و نوم إلا من جنابة (الترمذي, النسائي, ابن ماجه)

[14] عن شريح بن هانئ قال: أتيت عائشة رضي الله عنها أسألها عن المسح على الخفين, فقالت: ائت عليا, فإنه أعلم بهذا مني, كان يسافر مع رسول الله صلى الله عليه و سلم. فسألناه فقال: جعل رسول الله ثلاثة أيام و ليالهن للمسافر و يوما و ليلة للمقيم (مسلم, النسائي, ابن ماجه)

[15]Jika tidak batal karena melepas, kenapa tidak dilepas ketika wudlu lalu membasuh kaki sebagaimana biasa? Seperti hadis no. 13 tadi, bahwa Rasulullah menyuruh agar tidak melepas khuf meski berhadats. Namun masalahnya, saat ini hampir tak ada tempat shalat yang tidak melepas alas kaki. Maka jika begitu, hendaklah melepas sepatu sebelum wudlu dan membasuh dengan air seperti biasa, karena jika sepatu dilepas maka sebagian ulama berpendapat bahwa wudlunya batal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar