Anggapan pertama masyarakat
Indonesia tentang Mesir adalah, sebuah tempat yang sangat ideal untuk menuntut
ilmu. Negeri yang pernah mencetak para penggawa dalam dunia keilmuan Islam
sekaliber imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i (204 H/820 M), al-Hafidz
Jalaluddin al-Suyuthi (911 H/1505 M), Syaikh al-Islam Zakariya bin Muhammad
al-Anshari (926 H/1520 M), the Father of Islamic Modern, Muhammad Abduh (1323
H/1905 M) dan lusinan ulama lain yang namanya masih dikenang di benak para
penuntut ilmu hingga saat ini. Negeri yang menjadi tempat salah satu institusi
pendidikan tertua di dunia, Al-Azhar, tak terhitung berapa orang yang ingin menyerap
ruh semangat para ulama itu dalam mencari ilmu. Maka tak dipungkiri, sejatinya
untuk itulah tujuan awal mayoritas mahasiswa Indonesia yang berjuang di negeri
ini.
Namun sepertinya bayangan itu
lambat laun mulai terlupakan dari benak sebagian komunitas mahasiswa Indonesia
di Mesir (Masisir). Jika melihat kenyataan yang terdapat di lapangan, maka seharusnya
bayangan masyarakat Indonesia tentang para mahasiswa Al-Azhar yang berilmu,
mumpuni dan intelek pun mesti dirubah. Masih banyak mahasiswa yang hanya
tahu jalan ke kuliah ketika ujian mendekat, masih banyak juga mahasiswa yang
hanya tahu internet, warung dan kasur. Mungkin karena besarnya nama Al-Azhar
maka orang tak lagi mementingkan apa kesibukan para mahasiswanya di Mesir ini,
yang penting mahasiswa Al-Azhar setidaknya pasti bisa ngaji atau mengisi
pengajian.
Gempa Revolusi telah pecah
sejak tahun lalu, namun gempa susulan nampaknya terus terjadi hingga saat ini.
Kebutuhan pokok naik, biaya sewa rumah pun begitu, kesulitan ekonomi
yang dihadapi oleh masyarakat “bawah” Mesir tampaknya dirasakan juga oleh
sebagian Masisir. Tak heran jika sekarang bermunculan sosok-sosok baru yang
meniru Abdullah Khairul Azzam (KCB 2009), berkecimpung dan sibuk dalam dunia
bisnis. Karena dalam situasi seperti ini, bekerja dan berbisnis adalah salah
satu solusi yang terbaik.
Namun sayang, hegemoni dunia
bisnis yang semakin berkembang nampaknya telah menggeser orientasi dan pola
pikir Masisir. Ladang bisnis yang semakin menjamur tidak diimbangi dengan
meningkatnya minat Masisir dalam dunia akademis, menjadikan dunia akademis
semakin tersudutkan di kuliah dan di beberapa sudut kajian. Kuliah ya tetap
saja kurang diminati dan kajian pun tetap dihadiri oleh orang yang sama.
Geliat bisnis Masisir setidaknya
bisa dilihat dari maraknya bisnis rumah makan. Dalam data yang tertulis di
buletin Tërobosan edisi November 2011, setidaknya terdapat tujuh belas
rumah makan yang dikelola oleh mahasiswa Indonesia tersebar di berbagai tempat.
Itu adalah data bulan November tahun lalu, bagaimana dengan sekarang? Silahkan
anda hitung sendiri berapa jumlahnya saat ini.
Segala kebutuhan Masisirpun
sepertinya akan mudah di dapat, gurita bisnis Masisir terasa telah menjalar
hampir ke segala sendi kehidupan, hingga hampir tak ada celah yang kosong
kecuali diisi oleh Masisir. Jasa pengiriman uang, setidaknya ada empat unit
usaha yang bisnis di jalan yang sama, masing-masing saling bersaing untuk
mencari pelanggan. Jasa penyewaan kendaraaan, jika anda ingin bepergian ke mana
dan membutuhkan angkutan, tinggal telfon dan tentukan kontrak. Jasa percetakan,
biro perjalanan, tiket, pengiriman barang, jasa dekorasi, penyewaan alat
pengantin, sound system, jasa laundry, hingga warung yang menyediakan
barang-barang import dari Indonesia.
Itu baru dari segi unit usaha,
belum terhitung berapa jumlah tenaga kerja yang terkuras untuk usaha itu. Hitunglah
dalam satu rumah makan akan memerlukan antara lima sampai tujuh orang dengan
beberapa orang pemegang saham, maka akan ada berapa puluh orang yang
menyibukkan dirinya di dalam rumah-rumah makan tersebut? Bahkan di restauran
Malaysiapun konon pekerjanya mayoritas adalah mahasiswa yang berasal
dari Indonesia. Maka, jangan salahkan jika Indonesia disebut sebagai salah satu
di antara negara-negara pengirim tenaga kerja kasar terbesar di dunia.
Belum lagi usaha kecil-kecilan
yang dilakukan oleh pribadi Masisir; usaha tempe, tahu, bakwan, nasi uduk,
brownies, pisang coklat, hingga pulsa, account telfon internet, modem,
penyewaan mesin cuci, hingga pangkas rambut. Semakin banyak dan beragam jenis bisnis
di dalam komunitas ini, maka akan semakin terlihat perubahan kecenderungan Masisir
nantinya.
Adanya internet pun semakin
menyemarakkan jalannya bisnis di komunitas ini. Jika kita membuka jejaring
sosial Facebook.com, maka tak jarang kita akan menemukan berbagai grup yang
dikelola Masisir dijadikan tempat promosi berbagai macam barang dan jasa. Itu
barulah situs jejaring sosial, beberapa unit usaha justru telah memiliki blog
untuk memasarkan jasanya, bahkan beberapa unit telah membuat situs web
tersendiri dengan membeli domain yang juga berasal dari mahasiswa Indonesia.
Sepertinya sulit mencari celah yang masih bisa dijadikan usaha.
Menyedihkan memang, disamping kesibukan
komunitas Indonesia yang membuat mahasiswa betah, sistem yang ada di Al-Azhar pun
sepertinya mendukung para mahasiswa untuk meninggalkan bangkunya dan
berbelok ke arah lain. Al-Azhar akan tetap dengan sistem yang ada sekarang, pembagian
kelas yang tidak sistematis, bahkan ada fakultas yang hanya menyediakan satu
kelas untuk seluruh mahasiswa satu angkatan. Belum lagi masalah birokrasi dan
administrasi Mesir yang masih bisa disebut primitif untuk kemajuan zaman
sekarang. Ditambah lagi dengan jarak antara kampus dan tempat tinggal yang jauh
serta armada bus yang kurang memadai. Hal-hal tadi secara tidak langsung selalu
dijadikan kambing hitam oleh sebagian mahasiswa untuk benar-benar meninggalkan
kampus mereka dan menikmati kesibukan yang mereka ada-adakan di luar
kuliah.
Pernah terdengar anekdot di
sebuah ruangan kuliah, “Kita mestinya berterimakasih kepada para mahasiswa
yang tidak kuliah. Karena jika saja seluruh mahasiswa pergi kuliah bersamaan, maka
akan duduk di mana kita?”. Tidak heran, masa-masa ujian adalah masa reuni
seluruh mahasiswa Al-Azhar di setiap angkatan. Siapapun pasti pernah melihat
perbandingan jumlah mahasiswa di kelas dan jumlah mahasiswa yang menunggu di
depan gedung setiap sebelum ujian dimulai. Benar, ada bagusnya tidak semua
mahasiswa Al-Azhar masuk kuliah.
Senat yang diharapkan membantu
aktifitas intelektual Masisir ternyata telah berubah menjadi tumpuan utama bagi
para mahasiswa, tidak kuliah karena sudah ada senat. Senat seolah
menjadi cabang tidak resmi milik Al-Azhar, alternatif yang menjamin
mahasiswa untuk sibuk sesibuk-sibuknya di luar kuliah, hingga ketika ujian
mendekat, barulah senat akan mengadakan bimbingan belajar bagi para anggotanya.
Pelajaran yang dibahas sekian bulan oleh dosen, dilibas habis hanya dalam
beberapa pertemuan. Memang, sesuai dengan tujuan didirikannya senat, yaitu “Peningkatan
Dukungan Prestasi Masisir” dengan menyediakan ringkasan pelajaran, soal-soal
dan bimbingan belajar tanpa perlu hadir ke kuliah.
Kehidupan intelektual Masisir
pun lambat laun tersisihkan, geliat bisnis Masisir bagaikan ombak lautan yang
sedikit demi sedikit mengikis identitas mahasiswa yang semestinya harus selalu
mengasah intelektual dan memperdalami hal-hal yang membantu dalam perkembangan
akademis mahasiswa. Menuntut ilmu, kuliah, atau kajian yang secara finansial
tidak menguntungkan sepertinya mulai kekurangan peminat. Belumlah kajian-kajian
minim peserta, tradisi molor yang akut membuat kegiatan-kegiatan
akademis semakin membosankan, pasti akan terlambat dari jadwal. Maka, sepertinya
kegiatan yang menguntungkan dari segi finansial akan lebih diminati.
Mungkin ini hanyalah sebuah pandangan
sinis sebelah mata, pandangan dari sudut pandang seorang mahasiswa egois,
merasa paling rajin kuliah dan berbangga dengan kerajinannya yang malas. Di
balik semua itu ternyata beberapa mahasiswa justru lebih memilih menyibukkan
dirinya untuk mengais rezeki, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang memang terbebani
untuk menafkahi keluarganya.
Seperti salah seorang teman
penulis, sepertinya ia lebih diharapkan bekerja mencari rejeki untuk
keluarganya di rumah, karena orang tuanya terbilang kurang mampu untuk
membiayai hidup keluarganya. Salah satu cerita yang terdengar darinya adalah
ketika ibunya menanyakan di mana tempat ia bekerja sekarang, dan cerita ayahnya
yang meminta ia untuk tetap bekerja di samping belajar. Sebuah kenyataan yang
penulis pun belum tentu bisa menghadapinya. Ia adalah orang yang pintar dan
rajin, namun ia terpaksa untuk bekerja demi membantu kedua orang tuanya. Namun hebatnya,
ia tetap rajin mengikuti kuliah dan mengikuti berbagai majlis yang diadakan di
masjid Al-Azhar. Sebuah sosok yang pantas untuk ditiru.
Ada juga mahasiswa yang memang
telah memiliki pasangan hidup resmi dan membawanya ke negeri ini. Mau
tidak mau ia harus bekerja demi menafkahi kehidupannya bersama pasangannya,
belumlah untuk membayar uang sewa rumah yang rata-rata di atas 700 pound per-bulan,
biaya dapur agar selalu ngebul pun terus mengejar-ngejar. Belum
lagi jika ternyata ia bersama pasangannya telah memiliki buah hati, apapun
alasannya, gizi untuk sang buah hati haruslah selalu terjaga.
Memang sudut pandang orang akan
berbeda satu sama lain. Itu barulah beberapa suara yang kita dengar, dan memang
dapat dimaklumi jika sebagian mahasiswa terpaksa terjun ke dalam dunia bisnis
karena beberapa hal, sebagaimana Imam Malik bin Anas (795 M) yang juga berjuang
demi kelangsungan belajarnya. Namun sepertinya kita terlalu mentolelir
kecenderungan sebagian mahasiswa kepada bisnis, hingga di antara mereka justru
ada yang bekerja hanya sebagai sambilan untuk mengisi waktu luang, dan
pada akhirnya ia terseret kedalam arus bisnis yang kurang mendukung dunia
akademis Masisir. Dampaknya bisa ditebak, semakin banyak mahasiswa yang
cenderung kepada dunia bisnis maka sedikit banyak akan memberikan perubahan
pada pola pikir komunitas Masisir secara keseluruhan.
Dunia Masisir memang dunia yang
kompleks, sebuah komunitas yang tidak bisa kita pandang dari satu sisi. Menyatukan
pandangan terhadap suatu permasalahan nampaknya lebih sulit dari menegakkan
benang basah, karena setiap kepala memiliki pandangan dan kadar prioritas
masing-masing. Sebagian berpendapat bahwa belajar itu penting dan kesibukan itu
mengganggu, sebagian lain menilai bahwa belajar pun bisa
dibarengi dengan berbagai kesibukan, bisnis misalnya.
Namun sekarang kita tidak
membahas tentang individu masing-masing, karena memang ada sebagian mahasiswa
yang mampu belajar di tengah kesibukan yang kurang mendukung, yang meski ia sangat
sibuk tapi ia tetap bisa belajar dan mendapatkan nilai yang bagus.
Permasalahannya sekarang adalah, kecenderungan sebuah komunitas yang jika pola
pikirnya berubah maka akan merubah kecenderungan mayoritas individu di
dalamnya. Tidak semua mahasiswa bisa meningkatkan akademisnya ditengah
kesibukan yang beragam, yang ada justru akan semakin banyak mahasiswa yang
terbawa arus pola pikir komunitas tersebut.
Jika boleh, penulis akan meminjam
istilah dari Ahmad Hadidul Fahmi, koordinator LAKPESDAM PCINU Mesir, dalam
sebuah tulisannya yang dimuat di buletin Tërobosan edisi November
2011. Beliau menjelaskan, semakin besar suatu komunitas, maka dengan sendirinya
akan tercipta “iklim pasar” di dalam komunitas tersebut. Dan semakin besar
iklim pasar ini, maka ia akan semakin menghilangkan karakter mahasiswa yang
semestinya lebih memprioritaskan minatnya dalam dunia intelektual. Iklim pasar
juga menjadikan rasa persaudaraan dan kebersamaan hilang. Saling memberi dalam
batas persaudaraan akan menjadi pemandangan yang langka. Interaksi yang
sebenarnya masih dalam batas wajar, akan dinominalkan secara sistematis.
Kesatuan visi dan misi sebagai mahasiswa Mesir bukan lagi ditopang oleh
identitas sebagai mahasiswa, akan tetapi ditopang dengan cara pandang pasar. Sedikit-sedikit,
Wani piro?
Penulis tidak menafikan adanya
perbedaan cara pandang dalam hal ini. Perbedaan adalah hal biasa dalam
kehidupan manusia, bahkan untuk menyatukan persepsi, manusia pun memiliki
cara yang berbeda-beda. Namun jika saja dinamika bisnis cenderung lebih marak
dan diminati ketimbang dunia intelektual, maka sedikit demi sedikit dinamika
sosial Masisir akan berubah menjadi materialis, yang hanya memiliki rumusan
antara untung atau rugi.
Alangkah lebih baik jika keseimbangan
ekosistem intelektual tetap dijaga, agar para mahasiswa yang benar-benar
berniat untuk belajar tetap bisa berteduh di dalamnya dan tidak terbawa arus
dunia bisnis yang deras dan menggiurkan. Perubahan ke arah lebih baik bisa
dimulai dari diri sendiri, bercermin diri dengan mempertimbangkan antara
kebutuhan primer dan sekunder tergantung persepsi masing-masing. Jika anda
adalah mahasiswa, maka selayaknya anda kembalikan identitas kemahasiswaan anda
dengan sedikit memprioritaskan akademis dalam komunitas anda.
Pengaruh KCB cukup signifikan yg menginspirasi banyak masisir untuk melakukan hal yg sama hehehe...
BalasHapusDan yg sudah berumahtangga rasanya jg cukup "produktif" hingga kadang betah berlama-lama di Mesir dan gamang pulang ke Indonesia... benarkah demikian??? Hanya mereka yg tahu... ;)