Laman

5 Nov 2012

Masisir, Komunitas Materialis atau Intelektual?


Anggapan pertama masyarakat Indonesia tentang Mesir adalah, sebuah tempat yang sangat ideal untuk menuntut ilmu. Negeri yang pernah mencetak para penggawa dalam dunia keilmuan Islam sekaliber imam Muhammad bin Idris al-Syafi`i (204 H/820 M), al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi (911 H/1505 M), Syaikh al-Islam Zakariya bin Muhammad al-Anshari (926 H/1520 M), the Father of Islamic Modern, Muhammad Abduh (1323 H/1905 M) dan lusinan ulama lain yang namanya masih dikenang di benak para penuntut ilmu hingga saat ini. Negeri yang menjadi tempat salah satu institusi pendidikan tertua di dunia, Al-Azhar, tak terhitung berapa orang yang ingin menyerap ruh semangat para ulama itu dalam mencari ilmu. Maka tak dipungkiri, sejatinya untuk itulah tujuan awal mayoritas mahasiswa Indonesia yang berjuang di negeri ini.

Namun sepertinya bayangan itu lambat laun mulai terlupakan dari benak sebagian komunitas mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir). Jika melihat kenyataan yang terdapat di lapangan, maka seharusnya bayangan masyarakat Indonesia tentang para mahasiswa Al-Azhar yang berilmu, mumpuni dan intelek pun mesti dirubah. Masih banyak mahasiswa yang hanya tahu jalan ke kuliah ketika ujian mendekat, masih banyak juga mahasiswa yang hanya tahu internet, warung dan kasur. Mungkin karena besarnya nama Al-Azhar maka orang tak lagi mementingkan apa kesibukan para mahasiswanya di Mesir ini, yang penting mahasiswa Al-Azhar setidaknya pasti bisa ngaji atau mengisi pengajian.

Gempa Revolusi telah pecah sejak tahun lalu, namun gempa susulan nampaknya terus terjadi hingga saat ini. Kebutuhan pokok naik, biaya sewa rumah pun begitu, kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat “bawah” Mesir tampaknya dirasakan juga oleh sebagian Masisir. Tak heran jika sekarang bermunculan sosok-sosok baru yang meniru Abdullah Khairul Azzam (KCB 2009), berkecimpung dan sibuk dalam dunia bisnis. Karena dalam situasi seperti ini, bekerja dan berbisnis adalah salah satu solusi yang terbaik.

Namun sayang, hegemoni dunia bisnis yang semakin berkembang nampaknya telah menggeser orientasi dan pola pikir Masisir. Ladang bisnis yang semakin menjamur tidak diimbangi dengan meningkatnya minat Masisir dalam dunia akademis, menjadikan dunia akademis semakin tersudutkan di kuliah dan di beberapa sudut kajian. Kuliah ya tetap saja kurang diminati dan kajian pun tetap dihadiri oleh orang yang sama.

Geliat bisnis Masisir setidaknya bisa dilihat dari maraknya bisnis rumah makan. Dalam data yang tertulis di buletin Tërobosan edisi November 2011, setidaknya terdapat tujuh belas rumah makan yang dikelola oleh mahasiswa Indonesia tersebar di berbagai tempat. Itu adalah data bulan November tahun lalu, bagaimana dengan sekarang? Silahkan anda hitung sendiri berapa jumlahnya saat ini.

Segala kebutuhan Masisirpun sepertinya akan mudah di dapat, gurita bisnis Masisir terasa telah menjalar hampir ke segala sendi kehidupan, hingga hampir tak ada celah yang kosong kecuali diisi oleh Masisir. Jasa pengiriman uang, setidaknya ada empat unit usaha yang bisnis di jalan yang sama, masing-masing saling bersaing untuk mencari pelanggan. Jasa penyewaan kendaraaan, jika anda ingin bepergian ke mana dan membutuhkan angkutan, tinggal telfon dan tentukan kontrak. Jasa percetakan, biro perjalanan, tiket, pengiriman barang, jasa dekorasi, penyewaan alat pengantin, sound system, jasa laundry, hingga warung yang menyediakan barang-barang import dari Indonesia.

Itu baru dari segi unit usaha, belum terhitung berapa jumlah tenaga kerja yang terkuras untuk usaha itu. Hitunglah dalam satu rumah makan akan memerlukan antara lima sampai tujuh orang dengan beberapa orang pemegang saham, maka akan ada berapa puluh orang yang menyibukkan dirinya di dalam rumah-rumah makan tersebut? Bahkan di restauran Malaysiapun konon pekerjanya mayoritas adalah mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Maka, jangan salahkan jika Indonesia disebut sebagai salah satu di antara negara-negara pengirim tenaga kerja kasar terbesar di dunia.

Belum lagi usaha kecil-kecilan yang dilakukan oleh pribadi Masisir; usaha tempe, tahu, bakwan, nasi uduk, brownies, pisang coklat, hingga pulsa, account telfon internet, modem, penyewaan mesin cuci, hingga pangkas rambut. Semakin banyak dan beragam jenis bisnis di dalam komunitas ini, maka akan semakin terlihat perubahan kecenderungan Masisir nantinya.

Adanya internet pun semakin menyemarakkan jalannya bisnis di komunitas ini. Jika kita membuka jejaring sosial Facebook.com, maka tak jarang kita akan menemukan berbagai grup yang dikelola Masisir dijadikan tempat promosi berbagai macam barang dan jasa. Itu barulah situs jejaring sosial, beberapa unit usaha justru telah memiliki blog untuk memasarkan jasanya, bahkan beberapa unit telah membuat situs web tersendiri dengan membeli domain yang juga berasal dari mahasiswa Indonesia. Sepertinya sulit mencari celah yang masih bisa dijadikan usaha.

Menyedihkan memang, disamping kesibukan komunitas Indonesia yang membuat mahasiswa betah, sistem yang ada di Al-Azhar pun sepertinya mendukung para mahasiswa untuk meninggalkan bangkunya dan berbelok ke arah lain. Al-Azhar akan tetap dengan sistem yang ada sekarang, pembagian kelas yang tidak sistematis, bahkan ada fakultas yang hanya menyediakan satu kelas untuk seluruh mahasiswa satu angkatan. Belum lagi masalah birokrasi dan administrasi Mesir yang masih bisa disebut primitif untuk kemajuan zaman sekarang. Ditambah lagi dengan jarak antara kampus dan tempat tinggal yang jauh serta armada bus yang kurang memadai. Hal-hal tadi secara tidak langsung selalu dijadikan kambing hitam oleh sebagian mahasiswa untuk benar-benar meninggalkan kampus mereka dan menikmati kesibukan yang mereka ada-adakan di luar kuliah.

Pernah terdengar anekdot di sebuah ruangan kuliah, “Kita mestinya berterimakasih kepada para mahasiswa yang tidak kuliah. Karena jika saja seluruh mahasiswa pergi kuliah bersamaan, maka akan duduk di mana kita?”. Tidak heran, masa-masa ujian adalah masa reuni seluruh mahasiswa Al-Azhar di setiap angkatan. Siapapun pasti pernah melihat perbandingan jumlah mahasiswa di kelas dan jumlah mahasiswa yang menunggu di depan gedung setiap sebelum ujian dimulai. Benar, ada bagusnya tidak semua mahasiswa Al-Azhar masuk kuliah.

Senat yang diharapkan membantu aktifitas intelektual Masisir ternyata telah berubah menjadi tumpuan utama bagi para mahasiswa, tidak kuliah karena sudah ada senat. Senat seolah menjadi cabang tidak resmi milik Al-Azhar, alternatif yang menjamin mahasiswa untuk sibuk sesibuk-sibuknya di luar kuliah, hingga ketika ujian mendekat, barulah senat akan mengadakan bimbingan belajar bagi para anggotanya. Pelajaran yang dibahas sekian bulan oleh dosen, dilibas habis hanya dalam beberapa pertemuan. Memang, sesuai dengan tujuan didirikannya senat, yaitu “Peningkatan Dukungan Prestasi Masisir” dengan menyediakan ringkasan pelajaran, soal-soal dan bimbingan belajar tanpa perlu hadir ke kuliah.

Kehidupan intelektual Masisir pun lambat laun tersisihkan, geliat bisnis Masisir bagaikan ombak lautan yang sedikit demi sedikit mengikis identitas mahasiswa yang semestinya harus selalu mengasah intelektual dan memperdalami hal-hal yang membantu dalam perkembangan akademis mahasiswa. Menuntut ilmu, kuliah, atau kajian yang secara finansial tidak menguntungkan sepertinya mulai kekurangan peminat. Belumlah kajian-kajian minim peserta, tradisi molor yang akut membuat kegiatan-kegiatan akademis semakin membosankan, pasti akan terlambat dari jadwal. Maka, sepertinya kegiatan yang menguntungkan dari segi finansial akan lebih diminati.

Mungkin ini hanyalah sebuah pandangan sinis sebelah mata, pandangan dari sudut pandang seorang mahasiswa egois, merasa paling rajin kuliah dan berbangga dengan kerajinannya yang malas. Di balik semua itu ternyata beberapa mahasiswa justru lebih memilih menyibukkan dirinya untuk mengais rezeki, bahkan tidak sedikit mahasiswa yang memang terbebani untuk menafkahi keluarganya.

Seperti salah seorang teman penulis, sepertinya ia lebih diharapkan bekerja mencari rejeki untuk keluarganya di rumah, karena orang tuanya terbilang kurang mampu untuk membiayai hidup keluarganya. Salah satu cerita yang terdengar darinya adalah ketika ibunya menanyakan di mana tempat ia bekerja sekarang, dan cerita ayahnya yang meminta ia untuk tetap bekerja di samping belajar. Sebuah kenyataan yang penulis pun belum tentu bisa menghadapinya. Ia adalah orang yang pintar dan rajin, namun ia terpaksa untuk bekerja demi membantu kedua orang tuanya. Namun hebatnya, ia tetap rajin mengikuti kuliah dan mengikuti berbagai majlis yang diadakan di masjid Al-Azhar. Sebuah sosok yang pantas untuk ditiru.

Ada juga mahasiswa yang memang telah memiliki pasangan hidup resmi dan membawanya ke negeri ini. Mau tidak mau ia harus bekerja demi menafkahi kehidupannya bersama pasangannya, belumlah untuk membayar uang sewa rumah yang rata-rata di atas 700 pound per-bulan, biaya dapur agar selalu ngebul pun terus mengejar-ngejar. Belum lagi jika ternyata ia bersama pasangannya telah memiliki buah hati, apapun alasannya, gizi untuk sang buah hati haruslah selalu terjaga.

Memang sudut pandang orang akan berbeda satu sama lain. Itu barulah beberapa suara yang kita dengar, dan memang dapat dimaklumi jika sebagian mahasiswa terpaksa terjun ke dalam dunia bisnis karena beberapa hal, sebagaimana Imam Malik bin Anas (795 M) yang juga berjuang demi kelangsungan belajarnya. Namun sepertinya kita terlalu mentolelir kecenderungan sebagian mahasiswa kepada bisnis, hingga di antara mereka justru ada yang bekerja hanya sebagai sambilan untuk mengisi waktu luang, dan pada akhirnya ia terseret kedalam arus bisnis yang kurang mendukung dunia akademis Masisir. Dampaknya bisa ditebak, semakin banyak mahasiswa yang cenderung kepada dunia bisnis maka sedikit banyak akan memberikan perubahan pada pola pikir komunitas Masisir secara keseluruhan.

Dunia Masisir memang dunia yang kompleks, sebuah komunitas yang tidak bisa kita pandang dari satu sisi. Menyatukan pandangan terhadap suatu permasalahan nampaknya lebih sulit dari menegakkan benang basah, karena setiap kepala memiliki pandangan dan kadar prioritas masing-masing. Sebagian berpendapat bahwa belajar itu penting dan kesibukan itu mengganggu, sebagian lain menilai bahwa belajar pun bisa dibarengi dengan berbagai kesibukan, bisnis misalnya.

Namun sekarang kita tidak membahas tentang individu masing-masing, karena memang ada sebagian mahasiswa yang mampu belajar di tengah kesibukan yang kurang mendukung, yang meski ia sangat sibuk tapi ia tetap bisa belajar dan mendapatkan nilai yang bagus. Permasalahannya sekarang adalah, kecenderungan sebuah komunitas yang jika pola pikirnya berubah maka akan merubah kecenderungan mayoritas individu di dalamnya. Tidak semua mahasiswa bisa meningkatkan akademisnya ditengah kesibukan yang beragam, yang ada justru akan semakin banyak mahasiswa yang terbawa arus pola pikir komunitas tersebut.

Jika boleh, penulis akan meminjam istilah dari Ahmad Hadidul Fahmi, koordinator LAKPESDAM PCINU Mesir, dalam sebuah tulisannya yang dimuat di buletin Tërobosan edisi November 2011. Beliau menjelaskan, semakin besar suatu komunitas, maka dengan sendirinya akan tercipta “iklim pasar” di dalam komunitas tersebut. Dan semakin besar iklim pasar ini, maka ia akan semakin menghilangkan karakter mahasiswa yang semestinya lebih memprioritaskan minatnya dalam dunia intelektual. Iklim pasar juga menjadikan rasa persaudaraan dan kebersamaan hilang. Saling memberi dalam batas persaudaraan akan menjadi pemandangan yang langka. Interaksi yang sebenarnya masih dalam batas wajar, akan dinominalkan secara sistematis. Kesatuan visi dan misi sebagai mahasiswa Mesir bukan lagi ditopang oleh identitas sebagai mahasiswa, akan tetapi ditopang dengan cara pandang pasar. Sedikit-sedikit, Wani piro?

Penulis tidak menafikan adanya perbedaan cara pandang dalam hal ini. Perbedaan adalah hal biasa dalam kehidupan manusia, bahkan untuk menyatukan persepsi, manusia pun memiliki cara yang berbeda-beda. Namun jika saja dinamika bisnis cenderung lebih marak dan diminati ketimbang dunia intelektual, maka sedikit demi sedikit dinamika sosial Masisir akan berubah menjadi materialis, yang hanya memiliki rumusan antara untung atau rugi.

Alangkah lebih baik jika keseimbangan ekosistem intelektual tetap dijaga, agar para mahasiswa yang benar-benar berniat untuk belajar tetap bisa berteduh di dalamnya dan tidak terbawa arus dunia bisnis yang deras dan menggiurkan. Perubahan ke arah lebih baik bisa dimulai dari diri sendiri, bercermin diri dengan mempertimbangkan antara kebutuhan primer dan sekunder tergantung persepsi masing-masing. Jika anda adalah mahasiswa, maka selayaknya anda kembalikan identitas kemahasiswaan anda dengan sedikit memprioritaskan akademis dalam komunitas anda.


Semoga dinamika kehidupan Masisir terus berjalan ke arah yang lebih baik.

1 komentar:

  1. Pengaruh KCB cukup signifikan yg menginspirasi banyak masisir untuk melakukan hal yg sama hehehe...
    Dan yg sudah berumahtangga rasanya jg cukup "produktif" hingga kadang betah berlama-lama di Mesir dan gamang pulang ke Indonesia... benarkah demikian??? Hanya mereka yg tahu... ;)

    BalasHapus