Laman

13 Des 2012

Berandal Kecil


Aku ingin sekali menyumpal mulut mereka dengan tanah, para berandal kecil yang tak tahu sopan santun itu. Dengan kesal aku menulis catatan ini, maklumlah jika terasa agak kasar.

Ah, mereka. Jangankan kepada orang separuh baya sepertiku yang hanya terpaut lima sampai tujuh tahun di atas mereka, kepada para jompo pun mereka kurang ajar. Saking parahnya watak mereka, aku pernah mendengar seorang temanku berkomentar, “Sebandel-bandelnya anak kecil di kampungku, aku tidak tega untuk memukulnya. Berbeda dengan di sini, kalo boleh sudah banyak anak seperti mereka yang kubunuh!”

Oh, jangan terlalu kaget, itu hanya ungkapan sekilas. Bahasa kerennya misuh lah. Anda pun mungkin akan berkata seperti itu ketika sudah berhadapan dengan para bandit kecil itu, atau mungkin lebih parah.

Suatu saat pernah aku berjumpa dengan salah satu bandit itu, seperti biasa dia menyambut kedatangan kami ketika masuk komplek. Sambutan yang khas, seorang gadis cilik yang menadahkan tangannya meminta sedikit receh, dengan baju ‘seragam’ yang sepertinya telah dirancang secara detail, dan rambut yang dengan sengaja tak pernah bersampo ataupun ia lepas ikatannya. Bukan itu letak masalahnya, ia akan mengejarmu kemanapun kamu pergi, bahkan kalo perlu ia bergelantungan menarik-narik tanganmu sampai kau kasih ia sekeping receh. Atau jika memang kau tidak berminat untuk memberi, bisa saja ia memukul atau meludahimu, atau minimal ia misuh dengan bahasanya sendiri.

Para bandit itu sepertinya kurang berpendidikan. Mereka hanya tahu bahwa di dunia hanya terdapat tiga negara, Mesir, Amerika dan Cina. Aku yakin, hampir seluruh penduduk Asia Timur di negeri ini pernah dipanggil dengan sebutan cina, atau minimal disapa dengan kata Ni Hao!

Bukan hanya karena kata Ni Hao lantas mereka kusebut kurang berpendidikan, namun kelakuan orang-orang ini sangat jauh berbeda kurasakan jika dibandingkan dengan beberapa kawan yang kukenal yang memang mereka orang-orang yang berpendidikan di negeri ini. Kau akan dihargai layaknya tamu negara, dicintai layaknya pejuang, disanjung sebagai pencari ilmu, dan kau pun akan disambut dan diterima layaknya seorang sahabat. Jangan tanya bagaimana jika orang di negeri ini sudah berlaku baik.

Berandal itu, mungkin mereka pun kurang pengawasan dari orang tuanya. Jika kau pernah menunggu mobil di suatu tempat yang dekat dengan sekolah, dan di saat yang sama para bandit itu baru pulang sekolah, maka kau akan bisa melihat bagaimana mereka bercanda sesama mereka. Lempar batu, saling pukul, berteriak, berkejaran. Aku pun sering berfikir bahwa dulu aku dan teman-temanku tidak separah ini.

Mungkin juga jiwa berandal mereka itu disebabkan oleh budaya. Budaya negeri ini yang jauh berbeda dengan negeri kita. Seperti yang kusebut di atas tadi, jangankan kau—sebagai seorang pelajar luar negeri—ingin dihormati oleh para berandal itu, para orang tua pun yang notabene sebangsa dengan mereka tidak mereka patuhi. Maka jangan heran jika kau sering mendapat pelecehan dari mereka, minimal dianggap rendah dan diolok-olok.

Jika di Indonesia kita canggung untuk berbicara dengan turis karena kita merasa bodoh tidak bisa berbicara bahasa inggris, di sini justru para turis—para pelajar seperti kita—lah yang dianggap bodoh oleh para berandal kecil itu. Mereka dengan bebasnya berbicara dan memperolok dengan bahasa mereka seolah kita adalah orang dungu yang tersesat di tengah orang pintar. Aku lebih sering diam ketimbang harus berurusan dengan para berandal tadi, yang jika kutimpali bukannya memperkuat posisiku sebagai seorang turis, justru malah aku merasa semakin lebih rendah di hadapan mereka.

Semakin aku jawab mereka, justru aku akan semakin menjadi bahan tertawaan bagi mereka. Jika aku marah, semarah apapun, aku akan tetap ditertawakan. Tidak salah memang jika di awal telah kutulis, aku ingin sekali menyumpal mulut mereka dengan tanah. Benar juga kata pepatah, siapa yang menguasai bahasa suatu bangsa, maka ia akan selamat dari tipuan mereka.

Jika kau melihat para balita di negeri ini, kau akan takjub dengan wajah mereka yang menggemaskan. Namun kelak kau akan tahu bahwa beberapa tahun lagi anak-anak berwajah menggemaskan itu akan berubah menjadi berandal sebagaimana orang-orang yang kuceritakan di atas.

Terkadang aku setuju dengan beberapa macam watak orang di negeri ini, menyetir layaknya jet koster, bercanda layaknya beruang berkelahi, berkejaran layaknya mengejar maling, hidup jorok dan tidak higienis. Mungkin watak itu memang sengaja tercipta untuk mengontrol populasi berandal di negeri ini yang tidak terbendung. Bikin anak mau, mengurus tidak mau. Yah, sejenis seleksi alam gitu lah. Cara alami untuk mengurangi jumlah berandal kecil di negeri ini.

Akhirnya, di negeri inilah aku baru mengerti perkataan salah seorang temanku. “Di Jepang, kau akan sulit melihat orang Islam di sana, tapi kau bisa melihat substansi ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Sebaliknya di Mesir, kau akan melihat banyak sekali orang muslim, tapi kau seperti tidak melihat nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka.”

Ra’aita al-Islam la al-Muslim. Ra’aita al-Muslim la al-Islam.

Am I wrong?

1 komentar: