Aku ingin sekali menyumpal mulut mereka dengan tanah, para
berandal kecil yang tak tahu sopan santun itu. Dengan kesal aku menulis catatan
ini, maklumlah jika terasa agak kasar.
Ah, mereka. Jangankan kepada orang separuh baya sepertiku
yang hanya terpaut lima sampai tujuh tahun di atas mereka, kepada para jompo
pun mereka kurang ajar. Saking parahnya watak mereka, aku pernah mendengar
seorang temanku berkomentar, “Sebandel-bandelnya anak kecil di kampungku, aku
tidak tega untuk memukulnya. Berbeda dengan di sini, kalo boleh sudah banyak
anak seperti mereka yang kubunuh!”
Oh, jangan terlalu kaget, itu hanya ungkapan sekilas. Bahasa
kerennya misuh lah. Anda pun mungkin akan berkata seperti itu ketika
sudah berhadapan dengan para bandit kecil itu, atau mungkin lebih parah.
Suatu saat pernah aku berjumpa dengan salah satu bandit itu,
seperti biasa dia menyambut kedatangan kami ketika masuk komplek. Sambutan yang
khas, seorang gadis cilik yang menadahkan tangannya meminta sedikit receh,
dengan baju ‘seragam’ yang sepertinya telah dirancang secara detail, dan rambut
yang dengan sengaja tak pernah bersampo ataupun ia lepas ikatannya. Bukan itu
letak masalahnya, ia akan mengejarmu kemanapun kamu pergi, bahkan kalo perlu ia
bergelantungan menarik-narik tanganmu sampai kau kasih ia sekeping receh. Atau
jika memang kau tidak berminat untuk memberi, bisa saja ia memukul atau
meludahimu, atau minimal ia misuh dengan bahasanya sendiri.
Para bandit itu sepertinya kurang berpendidikan. Mereka
hanya tahu bahwa di dunia hanya terdapat tiga negara, Mesir, Amerika dan Cina.
Aku yakin, hampir seluruh penduduk Asia Timur di negeri ini pernah dipanggil
dengan sebutan cina, atau minimal disapa dengan kata Ni Hao!
Bukan hanya karena kata Ni Hao lantas mereka kusebut
kurang berpendidikan, namun kelakuan orang-orang ini sangat jauh berbeda
kurasakan jika dibandingkan dengan beberapa kawan yang kukenal yang memang
mereka orang-orang yang berpendidikan di negeri ini. Kau akan dihargai layaknya
tamu negara, dicintai layaknya pejuang, disanjung sebagai pencari ilmu, dan kau
pun akan disambut dan diterima layaknya seorang sahabat. Jangan tanya bagaimana
jika orang di negeri ini sudah berlaku baik.
Berandal itu, mungkin mereka pun kurang pengawasan dari
orang tuanya. Jika kau pernah menunggu mobil di suatu tempat yang dekat dengan
sekolah, dan di saat yang sama para bandit itu baru pulang sekolah, maka kau
akan bisa melihat bagaimana mereka bercanda sesama mereka. Lempar batu, saling
pukul, berteriak, berkejaran. Aku pun sering berfikir bahwa dulu aku dan
teman-temanku tidak separah ini.
Mungkin juga jiwa berandal mereka itu disebabkan oleh
budaya. Budaya negeri ini yang jauh berbeda dengan negeri kita. Seperti yang
kusebut di atas tadi, jangankan kau—sebagai seorang pelajar luar negeri—ingin
dihormati oleh para berandal itu, para orang tua pun yang notabene sebangsa
dengan mereka tidak mereka patuhi. Maka jangan heran jika kau sering mendapat
pelecehan dari mereka, minimal dianggap rendah dan diolok-olok.
Jika di Indonesia kita canggung untuk berbicara dengan turis
karena kita merasa bodoh tidak bisa berbicara bahasa inggris, di sini justru
para turis—para pelajar seperti kita—lah yang dianggap bodoh oleh para berandal
kecil itu. Mereka dengan bebasnya berbicara dan memperolok dengan bahasa mereka
seolah kita adalah orang dungu yang tersesat di tengah orang pintar. Aku lebih
sering diam ketimbang harus berurusan dengan para berandal tadi, yang jika
kutimpali bukannya memperkuat posisiku sebagai seorang turis, justru malah aku
merasa semakin lebih rendah di hadapan mereka.
Semakin aku jawab mereka, justru aku akan semakin menjadi
bahan tertawaan bagi mereka. Jika aku marah, semarah apapun, aku akan tetap
ditertawakan. Tidak salah memang jika di awal telah kutulis, aku ingin sekali
menyumpal mulut mereka dengan tanah. Benar juga kata pepatah, siapa yang
menguasai bahasa suatu bangsa, maka ia akan selamat dari tipuan mereka.
Jika kau melihat para balita di negeri ini, kau akan takjub
dengan wajah mereka yang menggemaskan. Namun kelak kau akan tahu bahwa beberapa
tahun lagi anak-anak berwajah menggemaskan itu akan berubah menjadi berandal
sebagaimana orang-orang yang kuceritakan di atas.
Terkadang aku setuju dengan beberapa macam watak orang di
negeri ini, menyetir layaknya jet koster, bercanda layaknya beruang berkelahi,
berkejaran layaknya mengejar maling, hidup jorok dan tidak higienis. Mungkin
watak itu memang sengaja tercipta untuk mengontrol populasi berandal di negeri
ini yang tidak terbendung. Bikin anak mau, mengurus tidak mau. Yah, sejenis
seleksi alam gitu lah. Cara alami untuk mengurangi jumlah berandal kecil di
negeri ini.
Akhirnya, di negeri inilah aku baru mengerti perkataan salah
seorang temanku. “Di Jepang, kau akan sulit melihat orang Islam di sana, tapi
kau bisa melihat substansi ajaran Islam dalam kehidupan mereka. Sebaliknya di
Mesir, kau akan melihat banyak sekali orang muslim, tapi kau seperti tidak
melihat nilai-nilai Islam dalam kehidupan mereka.”
Ra’aita al-Islam la al-Muslim. Ra’aita al-Muslim la
al-Islam.
Am I wrong?
Keyen Kakak...:D
BalasHapus