Image: esdus.tempo.co |
Jika pada akhir tahun 2008 lalu Perdana Menteri Malaysia,
Najib Razak meluncurkan program 1Malaysia, program persatuan bangsa Malaysia
tanpa melihat suku, etnis ataupun ras, Indonesia justru telah menjalankannya
sejak tahun 1928 lalu, atau sekitar 80 tahun sebelum itu, pada Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928. Inti dari kedua program itu sama, yaitu menumbuhkan kesadaran
nasionalisme kebangsaan.
Berbicara tentang sumpah pemuda, kita tidak akan terlepas
dari dua organisasi besar pemuda: Jong Java atau Tri Koro Darmo, dan Jong
Islamieten Bond. Tulisan singkat ini akan mencoba memaparkan dua organisasi itu
dan perannya dalam Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan tiga poin sumpah
pemuda.
Jong Java adalah organisasi pemuda di bawah naungan Budi
Utomo, organisasi yang sering disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional Indonesia,
hingga hari jadinya 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun
Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2010) berkata lain, ia menjelaskan
bahwa Budi Utomo dalam berbagai macam kongresnya justru menolak istilah
nasionalisme dan persatuan Indonesia, organisasi ini hanya memperjuangkan etnis
Jawa, dengan Jawa sebagai bahasanya dan kebatinan sebagai agama Jawa. Hal itu
terlihat karena Budi Utomo sendiri merupakan sebuah perkumpulan ekslusif yang
para anggotanya berasal dari kaum bangsawan Jawa. Lebih lanjut dikatakan bahwa
Budi Utomo yang berasal dari para bangsawan dan priayi justru menjadikan Budi
Utomo sebagai tangan kanan pelaksana Indirect Rule System dari
pemerintah kolonial Kerajaan Protestan Belanda, dan tidak sejalan dengan rakyat
yang menginginkan kemerdekaan.
Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Jong Java sebagai
anak organisasi Budi Utomo juga menolak cita-cita persatuan Indonesia, bahkan
mereka juga menentang ajaran Islam yang telah menjadi agama mayoritas
masyarakat saat itu. Dalam tubuh Jong Java tidak diperkenankan diskusi-diskusi
yang membahas tentang keislaman, namun sebaliknya diperbolehkan berbagai macam
diskusi yang membahas tentang theosofi dan ajaran kejawen. Jong Java pun tidak
memperkenankan para anggotanya untuk berkecimpung dalam kancah perpolitikan
nasional.
Mansur (2010) lebih lanjut menuliskan:
"Walaupun Boedi Oetomo sudah berusia
sembilan tahun (1908-1917), tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai
agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri
Koro Dharmo-Jong Java sebagai onderbouw dari Boedi Oetomo? Tentu
orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam."
Sikap Jong Java yang ekslusif dan menentang cita-cita
persatuan Indonesia sebagaimana induknya, menyebabkan Syamsurijal yang saat itu
menjabat sebagai ketua Jong Java keluar dari keanggotaan Jong Java. Ia kemudian
membentuk organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1 Januari 1925 atas
nasehat dari Agus Salim. Sikap organisasi JIB lebih terbuka ketimbang Jong
Java, hal itu terlihat dari keanggotaannya yang tidak terbatas pada pemuda
bangsawan Jawa.
JIB, sebagaimana organisasi Syarikat Islam, Muhammadiyah,
Nahdlatul ulama yang telah berdiri saat itu memiliki cita-cita yang sama,
sebagaimana telah dirumuskan dalam kongres Syarikat Islam 1916 yaitu
kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan sendiri, Self Government. Tidak
seperti Jong Java dan Budi Utomo yang sejak awal berdiri (1908) sampai
pembubarannya (1930) masih tetap memperjuangkan Jawanisme atau Jawa Raya dan
menolak cita-cita persatuan Indonesia. Menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa
organisasi, melestarikan budaya Jawa dan mempertahankan kejawen sebagai agama.
Jong Islamieten Bond dalam kongresnya yang ketiga,
Jogjakarta 23-27 Desember 1927, membicarakan masalah Islam dan kebangsaan juga nasionalisme
dalam pandangan Islam yaitu mencintai tanah air, bangsa dan agama. Organisasi
ini kelak berperan banyak dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II bersama
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Indonesia, dan beberapa
organisasi pemuda lainnya.
Tujuh bulan sebelum Kongres Pemuda II, Budi Utomo mengadakan
kongres di Surakarta pada 6-9 April 1928, yang menolak pelaksanaan cita-cita
persatuan Indonesia sebagai reaksi atas berbagai kongres yang diadakan oleh JIB
tentang Islam dan persatuan Indonesia. Maka untuk menentang kongres Budi Utomo April
1928 itu, PPPI segera menyelenggarakan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 di
Kramat Raya 106 Jakarta. Bisa disimpulkan bahwa Kongres Pemuda II merupakan
reaksi atas kongres yang diselenggarakan oleh Budi Utomo yang menentang
nasionalisme. Bisa terlihat dari isi kongres yang salah satunya melahirkan tiga
butir sumpah pemuda yang ketiganya terkait dengan nasionalisme kebangsaan.
Dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda yang diterbitkan oleh
Yayasan Gedung Bersejarah Jakarta, disebutkan bahwa Kongres Pemuda II ini
dihadiri oleh sekitar 750 orang dari berbagai organisasi pemuda dari seluruh wilayah
di Indonesia. Kongres ini pun tidak hanya dihadiri oleh pemuda, namun juga
dihadiri perwakilan dari partai politik seperti Sartono SH dari Partai Nasional
Indonesia (PNI) cabang Jakarta dan S.M. Kartosuwiryo dari Pengurus Besar Partai
Syarikat Islam Indonesia (PSII). Kongres inilah yang kelak melahirkan tiga
butir sumpah pemuda.
Kongres ini pun tidak luput dari pengawasan Pemerintah
Kolonial Belanda, mereka mengirim pasukan polisi yang bersenjata untuk
mengawasi jalannya kongres. Telah disebutkan bahwa Budi Utomo yang
beranggotakan para bangsawan Jawa lebih berpihak pada Belanda dan menjadi
tangan kanan Belanda dalam pelaksanaan indirect rule system, maka dalam
kongres ini pun Jong Java mengutus perwakilan R.M. Mas Said yang merupakan Mantri
Polisi Pemerintah Kolonial Belanda. Kehadiran mantri polisi dalam kongres ini
menjadikan Jong Java tidak dapat berpihak kepada perjuangan pemuda pelajar yang
menginginkan persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kondisi seperti ini berdampak
pada pelaksanaan kongres, salah satunya adalah ketika menanyikan lagu Indonesia
Raya, polisi Wage Rudolf Supratman tidak diperkenankan untuk melantunkan
syairnya, ia hanya diperkenankan untuk melantunkan nadanya saja dengan
menggunakan biola.
Peran organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) sangat
besar dalam kebangkitan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan
Indonesia, namun deislamisasi sejarah Indonesia menyebabkan nama dan peran
organisasi itu lenyap dari ingatan sebagaimana Syarikat Islam (1906). Wallahu A`lam.
Artikel ini pernah dimuat di buletin Terobosan edisi interaktif sumpah pemuda, 30 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar