Laman

13 Des 2012

Jong Java dan Jong Islamieten Bond tentang Nasionalisme Kebangsaan

Image: esdus.tempo.co

Jika pada akhir tahun 2008 lalu Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak meluncurkan program 1Malaysia, program persatuan bangsa Malaysia tanpa melihat suku, etnis ataupun ras, Indonesia justru telah menjalankannya sejak tahun 1928 lalu, atau sekitar 80 tahun sebelum itu, pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Inti dari kedua program itu sama, yaitu menumbuhkan kesadaran nasionalisme kebangsaan.

Berbicara tentang sumpah pemuda, kita tidak akan terlepas dari dua organisasi besar pemuda: Jong Java atau Tri Koro Darmo, dan Jong Islamieten Bond. Tulisan singkat ini akan mencoba memaparkan dua organisasi itu dan perannya dalam Kongres Pemuda II yang kemudian melahirkan tiga poin sumpah pemuda.
Jong Java adalah organisasi pemuda di bawah naungan Budi Utomo, organisasi yang sering disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional Indonesia, hingga hari jadinya 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2010) berkata lain, ia menjelaskan bahwa Budi Utomo dalam berbagai macam kongresnya justru menolak istilah nasionalisme dan persatuan Indonesia, organisasi ini hanya memperjuangkan etnis Jawa, dengan Jawa sebagai bahasanya dan kebatinan sebagai agama Jawa. Hal itu terlihat karena Budi Utomo sendiri merupakan sebuah perkumpulan ekslusif yang para anggotanya berasal dari kaum bangsawan Jawa. Lebih lanjut dikatakan bahwa Budi Utomo yang berasal dari para bangsawan dan priayi justru menjadikan Budi Utomo sebagai tangan kanan pelaksana Indirect Rule System dari pemerintah kolonial Kerajaan Protestan Belanda, dan tidak sejalan dengan rakyat yang menginginkan kemerdekaan.

Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Jong Java sebagai anak organisasi Budi Utomo juga menolak cita-cita persatuan Indonesia, bahkan mereka juga menentang ajaran Islam yang telah menjadi agama mayoritas masyarakat saat itu. Dalam tubuh Jong Java tidak diperkenankan diskusi-diskusi yang membahas tentang keislaman, namun sebaliknya diperbolehkan berbagai macam diskusi yang membahas tentang theosofi dan ajaran kejawen. Jong Java pun tidak memperkenankan para anggotanya untuk berkecimpung dalam kancah perpolitikan nasional.

Mansur (2010) lebih lanjut menuliskan:
"Walaupun Boedi Oetomo sudah berusia sembilan tahun (1908-1917), tetap tidak berpihak kepada ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas rakyat saat itu. Lalu bagaimana gerakan Tri Koro Dharmo-Jong Java sebagai onderbouw dari Boedi Oetomo? Tentu orientasinya sejalan dengan induknya, Boedi Oetomo, yakni menentang Islam."

Sikap Jong Java yang ekslusif dan menentang cita-cita persatuan Indonesia sebagaimana induknya, menyebabkan Syamsurijal yang saat itu menjabat sebagai ketua Jong Java keluar dari keanggotaan Jong Java. Ia kemudian membentuk organisasi Jong Islamieten Bond (JIB) pada 1 Januari 1925 atas nasehat dari Agus Salim. Sikap organisasi JIB lebih terbuka ketimbang Jong Java, hal itu terlihat dari keanggotaannya yang tidak terbatas pada pemuda bangsawan Jawa.

JIB, sebagaimana organisasi Syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul ulama yang telah berdiri saat itu memiliki cita-cita yang sama, sebagaimana telah dirumuskan dalam kongres Syarikat Islam 1916 yaitu kemerdekaan Indonesia dan pemerintahan sendiri, Self Government. Tidak seperti Jong Java dan Budi Utomo yang sejak awal berdiri (1908) sampai pembubarannya (1930) masih tetap memperjuangkan Jawanisme atau Jawa Raya dan menolak cita-cita persatuan Indonesia. Menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa organisasi, melestarikan budaya Jawa dan mempertahankan kejawen sebagai agama.

Jong Islamieten Bond dalam kongresnya yang ketiga, Jogjakarta 23-27 Desember 1927, membicarakan masalah Islam dan kebangsaan juga nasionalisme dalam pandangan Islam yaitu mencintai tanah air, bangsa dan agama. Organisasi ini kelak berperan banyak dalam penyelenggaraan Kongres Pemuda II bersama Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Indonesia, dan beberapa organisasi pemuda lainnya.

Tujuh bulan sebelum Kongres Pemuda II, Budi Utomo mengadakan kongres di Surakarta pada 6-9 April 1928, yang menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia sebagai reaksi atas berbagai kongres yang diadakan oleh JIB tentang Islam dan persatuan Indonesia. Maka untuk menentang kongres Budi Utomo April 1928 itu, PPPI segera menyelenggarakan Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 di Kramat Raya 106 Jakarta. Bisa disimpulkan bahwa Kongres Pemuda II merupakan reaksi atas kongres yang diselenggarakan oleh Budi Utomo yang menentang nasionalisme. Bisa terlihat dari isi kongres yang salah satunya melahirkan tiga butir sumpah pemuda yang ketiganya terkait dengan nasionalisme kebangsaan.

Dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda yang diterbitkan oleh Yayasan Gedung Bersejarah Jakarta, disebutkan bahwa Kongres Pemuda II ini dihadiri oleh sekitar 750 orang dari berbagai organisasi pemuda dari seluruh wilayah di Indonesia. Kongres ini pun tidak hanya dihadiri oleh pemuda, namun juga dihadiri perwakilan dari partai politik seperti Sartono SH dari Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Jakarta dan S.M. Kartosuwiryo dari Pengurus Besar Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Kongres inilah yang kelak melahirkan tiga butir sumpah pemuda.

Kongres ini pun tidak luput dari pengawasan Pemerintah Kolonial Belanda, mereka mengirim pasukan polisi yang bersenjata untuk mengawasi jalannya kongres. Telah disebutkan bahwa Budi Utomo yang beranggotakan para bangsawan Jawa lebih berpihak pada Belanda dan menjadi tangan kanan Belanda dalam pelaksanaan indirect rule system, maka dalam kongres ini pun Jong Java mengutus perwakilan R.M. Mas Said yang merupakan Mantri Polisi Pemerintah Kolonial Belanda. Kehadiran mantri polisi dalam kongres ini menjadikan Jong Java tidak dapat berpihak kepada perjuangan pemuda pelajar yang menginginkan persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kondisi seperti ini berdampak pada pelaksanaan kongres, salah satunya adalah ketika menanyikan lagu Indonesia Raya, polisi Wage Rudolf Supratman tidak diperkenankan untuk melantunkan syairnya, ia hanya diperkenankan untuk melantunkan nadanya saja dengan menggunakan biola.

Peran organisasi pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) sangat besar dalam kebangkitan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, namun deislamisasi sejarah Indonesia menyebabkan nama dan peran organisasi itu lenyap dari ingatan sebagaimana Syarikat Islam (1906). Wallahu A`lam.

Artikel ini pernah dimuat di buletin Terobosan edisi interaktif sumpah pemuda, 30 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar