Laman

1 Okt 2011

Nabi Luth, Nabi yang Dipertanyakan??

Beberapa hari lalu, aku membaca sebuah artikel dari sebuah blog (nontondunia.com) tentang pernyataan sekaligus pertanyaan yang penulis tuliskan dalam artikelnya. Artikel itu memiliki judul yang agak nyentrik, yaitu “Pesan Moral Aneh Kisah Nabi Luth”. Akan saya bahas sedikit catatan yang beliau tulis.


Dalam tulisannya, beliau merendengkan kisah Nabi Luth dalam kitab Perjanjian Lama (Genesis 19:1 – 19:11, 19:17 – 19:38) dan Al-Qur'an (Al-Hijr 61–71). Aku tidak tahu tafsir dari siapa yang beliau baca atau kaji hingga akhirnya beliau memiliki sebuah kesimpulan yang menurutku aneh. (mungkin menurutmu juga)

Pada awal mula beliau menuliskan pesan moral yang sering kita dengar terkait dengan cerita Nabi Luth dan kaumnya, yaitu hubungan seks sesama jenis adalah dosa yang sangat dibenci oleh Allah, hingga mereka mendapatkan adzab dari Allah.

Lalu beliau menambahkan bahwa dari kisah Nabi Luth ada pesan moral yang tidak bisa diterima oleh norma wajar masa kini. Apa pesan moral itu? Pertama, Nabi Luth menawarkan dua anak gadisnya yang perawan sebagai pengganti dua orang malaikat tamunya (untuk memuaskan hawa nafsu mereka). Kedua, Kedua Nabi Luth bersetubuh dengan kedua putrinya.

Kedua kesimpulan itulah yang beliau tuliskan, hingga pada akhirnya beliau menuliskan pada bagian akhir catatannya dengan perkataan “Astaga! Keluarga macam apakah Lot ini? Apakah pantas mereka disebut keluarga yang suci hingga kisahnya diabadikan di kitab suci yang menjadi panutan umat Islam, Kristen dan Yahudi? …”

“Mungkin anda mempunyai Jawabannya?” begitu bunyi kalimat akhir dalam catatannya. Maka, setidaknya aku mencoba untuk menjawabnya. Bukan karena merasa paling memiliki ilmu, namun kita memang masih dalam tahap belajar. Aku juga berterimakasih kepada penulis, karena telah memberikanku pertanyaan hingga akhirnya aku mencari, belajar dan membaca. Mari kita bahas kedua kesimpulan yang beliau tulis.

Beriman kepada para Nabi dan Rasul adalah salah satu rukun iman yang enam, maka kita wajib mengimani bahwa Nabi Luth adalah orang yang terpilih oleh Allah untuk berdakwah di tengah kaum sodom yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Itulah batas iman kita, jika karena sebuah anggapan yang keliru menjadikan kita ragu akan kenabian Luth `Alaihissalam.

Pertama, anggapan bahwa Nabi Luth menawarkan kedua putrinya untuk memuaskan hawa nafsu kaumnya demi melindungi dua orang malaikat yang baru ia kenal.

Cerita Nabi Luth dituliskan berulang di dalam Al-Qur'an, dan aku akan mengambil dua redaksi yang berbeda, yaitu Surat Hud ayat 77-83 dan Al-Hij ayat 61-71. Inti dari permasalahan ini terdapat pada kalimat:

قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ  (هود78)

قَالَ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (الحجر 71)

Jika dilihat secara tekstual, Nabi Luth memang berkata “Ini loh putri-putriku!”. Namun apakah benar putri yang Allah maksudkan disitu adalah anak Nabi Luth untuk pemuas nafsu kaum homoseks? Dari kata itulah beliau menuliskan bahwa para lelaki dari penduduk kota datang untuk meminta kedua tamu Luth (dua malaikat gagah) agar diserahkan untuk melayani nafsu bejat mereka. Lalu Nabi Luth menyerahkan kedua putrinya untuk mengganti kedua tamunya.

Dalam Tafsirnya, Ibnu Jarir At-Thabari meriwayatkan beberapa riwayat dari Qatadah dan Mujahid bahwa maksud dari perkataan Nabi Luth ini adalah agar mereka mengawini para wanita dari kaumnya dan tidak mendatangi sesama lelaki untuk memuaskan hawa nafsunya. Hal serupa juga tertulis dalam tafsir Ibnu Katsir dan Fakhruddin Al-Razi[1].

Kata “Banat” di sini memang memiliki dua macam penafsiran, pertama dimaksudkan untuk kedua putrinya (diriwayatkan dari Qatadah), kedua dimaksudkan untuk wanita kaum Luth (diriwayatkan dari Mujahid dan Sa`id bin Jabir). Imam Fakhruddin Al-Razi mengutamakan tafsiran yang kedua, yaitu kata “banat” di sini dimaksudkan untuk wanita kaum luth dan bukan kedua putrinya.

Beliau (Fakhruddin Al-Razi) beralasan dengan beberapa hal. Pertama, menawarkan keturunan kepada orang bejat bukanlah suatu perbuatan yang layak untuk orang yang beradab, apalagi untuk seorang rasul. Jangankan seorang Rasul, orang tua manapun akan menimbang-nimbang sebelum menyerahkan putrinya kepada seorang lelaki untuk dipinang, lah bagaimana jika akhlaknya sudah jauh dan tidak mempan untuk dinasehati lagi seperti kaum Luth?

Kedua, Nabi Luth hanya memiliki dua orang putri, maka tidaklah mungkin jika beliau menawarkan keduanya untuk kepada sekian banyak jumlah lelaki dari kaumnya. Ketiga, jika riwayat tentang putri beliau ada dua itu benar, maka pemakaian kata jamak di sini tidak bisa dibenarkan, karena sedikitnya jamak dalam bahasa arab adalah tiga.

Dan juga kedudukan seorang rasul adalah bagaikan seorang ayah bagi suatu kaum, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 6 bahwa istri-istri seorang rasul adalah ibu bagi kaumnya, sebagaimana juga istri-istri Rasulullah diberi julukan Ummahatul Mu`minin.

Menurutku, alasan yang beliau kemukakan dalam tafsirnya sangat bisa diterima, ditambah lagi pemakaian kata Ha’ula yang biasa dipakai untuk kata jamak tidak layak untuk dipakai dalam bentuk kata dua orang. Jika memang yang dimaksudkan adalah kedua orang putrinya, maka redaksi ayat itu seharusnya berbunyi Hatani. Jadi, seolah Nabi Luth berkata kepada kaumnya, “Wanita di dunia ini masih banyak, kenapa kau malah memilih sesama jenismu? Masa jeruk makan jeruk?”

Penulis juga mengutip ayat dari perjanjian lama yang menceritakan kisah yang sama namun dengan redaksi yang sedikit berbeda. Akan kita bahas setelah ini.

Kesimpulan kedua. Beliau (penulis) mengutip dari kitab Perjanjian Lama (Genesis 19:17 – 19:38) sebuah kisah yang tidak layak untuk seseorang yang memiliki derajat kenabian. Dalam kutipan beliau memang tertulis bahwa kedua putri beliau berkonspirasi untuk memberi ayahnya minuman agar mabuk hingga akhirnya mereka bersetubuh dengan ayahnya, karena mereka tidak menemukan lelaki yang suka terhadap mereka dan takut tidak memiliki keturunan.

Kita kritik ini dari segi kitabnya. Pertama, Allah Subhanahu wa ta`ala telah menjamin bahwa keotentikan Al-Qur'an terjaga (Al-Hijr 9). Kita bahas sedikit tentang sejarah Al-Qur'an.

Bangsa Arab adalah bangsa yang dikenal dengan hafalannya, bahkan menulis adalah suatu aib karena ada anggapan bahwa orang yang menulis adalah orang yang memiliki kelemahan dalam menghafal. Jika kita belajar tentang sya`ir jahiliyah, kita akan mendapatkan bahwa setiap tahun ada perlombaan sya`ir di pasar-pasar dan pemenangnya akan mendapatkan kehormatan untuk menempelkan sya`irnya di ka`bah. Banyak dari sya`ir ini yang masih diriwayatkan dari mulut ke mulut hingga beberapa generasi setelahnya, bahkan hingga masa kini kita masih bisa mendapatkan karya orang-orang jahiliyah dahulu. Itu adalah sya`ir, perkataan seorang manusia! Apalagi jika yang diriwayatkan adalah wahyu yang turun kepada seorang Nabi?.

Kita akan menemukan ribuan orang menghafal Al-Qur'an bahkan sejak usia yang sangat belia, apakah hal itu terjadi pada kitab-kitab Perjanjian Baru atau Lama? Bahkan banyak kaum orientalis yang menghafal Al-Qur'an, tapi tidak untuk kitab mereka sendiri.

Kedua, sanad. Inilah satu kunci bagaimana Islam bisa terjamin dan keotentikan Al-Qur'an masih terjaga hingga kini. Sanad, seorang murid yang membaca Al-Qur'an, menghafalnya di hadapan gurunya, dan gurunya telah menghafalnya di depan gurunya, terus begitu hingga berujung pada Rasulullah. sanad bukan hanya terdapat dalam Al-Qur'an, bahkan hampir di semua cabang ilmu dalam Islam. Dalam tafsir, kita akan mengenal tafsir riwayat, yaitu riwayat dari para sahabat atau tabi`in tentang makna suatu ayat. Dalam qira`at kita akan mengenal sanad tujuh cara baca Al-Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah. lalu hadist, fikih, dan ilmu lainnya. Itulah yang tidak dimiliki oleh selain Islam.

Ketiga, Al-Qur'an tidak mengalami perubahan dari bahasa asli hingga apa yang kita baca sekarang adalah apa yang Rasulullah bacakan kepada para sahabat. Terjemah Al-Qur'an bukanlah Qur’an, karena terjemah bisa saja berbeda antara satu dan lainnya. Pengalihan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lainnya setidaknya akan menambah atau mengurangi isi dari hal yang disampaikan, apalagi jika hal itu diucapkan sekian ratus tahun yang lalu. Kita akan menemukan perbedaan penulisan dalam kitab Perjanjian Baru atau Lama antara beberapa cetakan yang berbeda, namun itu tidak akan ditemukan di Al-Qur'an.

Maka, ketika kita mendapatkan suatu cerita dalam kitab suci agama lain yang bertentangan dengan kandungan isi Al-Qur'an, sebagai seorang muslim kitab mana yang akan kita jadikan rujukan? Ini bukan soal objektif atau tidak, namun ini permasalahan iman. Aku bertanya, apakah kitab Perjanjian Lama memiliki beberapa hal yang kusebut di atas tadi? Atau satu saja dari beberapa hal itu? Jika tidak, kenapa membandingkan antara keduanya?

Coba baca kembali bagaimana sejarah pembukuan Al-Qur'an, Perjanjian lama, dan Perjanjian baru, lalu bandingkan. Pembukuan Al-Qur'an sudah dimulai beberapa tahun setelah Rasulullah wafat, yaitu pada zaman Khalifah Abu Bakar atas permintaan dari Umar bin Khatthab dan hal itu dilakukan oleh bangsa yang memegang kuat hafalan mereka. Lalu bagaimana dengan kitab lain?

Nabi Luth adalah seorang utusan, maka apakah layak baginya untuk mabuk lalu bersetubuh dengan kedua putrinya? Jika kita mempercayai hal itu, maka akan timbullah kesimpulan yang tertulis tadi bahwa Nabi Luth bersetubuh dengan kedua putrinya, hingga akhirnya akan menimbulkan pertanyaan “Apakah pantas seorang Luth menjadi seorang Nabi dengan kelakuan seperti itu?”

Cobalah kembali kepada ayat 58 dan 59 dari surat Al-Hijr. Di sana dikatakan bahwa kedua utusan itu diutus kepada kaum yang berdosa, kecuali keluarga Luth yang mereka selamatkan. Jika memang Nabi Luth melakukan perlakuan dosa hingga beliau masuk kategori Mujrimun, kenapa beliau diselamatkan?

Setidaknya itulah jawabanku atas tulisan yang beliau tulis. Maka sekarang pembahasan akan sedikit keluar dari tulisan beliau. Aku akan menambahkan dua poin yang selalu menjadi perdebatan hangat di kalangan cendekiawan muslim.

Ada anggapan bahwa Nabi Luth meminta adzab kepada Allah adalah karena beliau marah, gara-gara kedua putrinya tidak laku oleh kaumnya yang menyukai sesama jenis dan bukan karena kelakuan menyimpang mereka. Bahkan anggapan yang lebih parah lagi bahwa Nabi Luth sendiri adalah seorang Homoseks.

Adakah dalil yang mengatakan seperti itu? Ataukah ada ulama yang menuliskan tafsir seperti itu dalam karya mereka? Anggapan ini sempat kudengar dari orang yang menyetujui adanya hubungan sesama jenis. Aneh, padahal orang yang berkata seperti itu pun masih menikah dengan lawan jenis. Allah berfirman dalam Ali Imran ayat 14 bahwa Allah telah menghiasi rasa syahwat dari kaum wanita untuk lelaki, dan bukan dari sesama jenisnya. Budaya yang masih ditentang oleh budaya kita, dipaksakan untuk dapat diterima oleh umat Islam. Parah.

Janganlah berdalih bahwa jika kambing jantan dikumpulkan dalam satu tempat, maka mereka akan saling kejar. Lah itu kan kambing, tapi kita manusia! Kenapa ketika kita membeli burung di pasar, kita menginginkan dua burung yang sepasang? Kenapa ketika kita melihat tayangan televisi tentang hewan, kita akan melihat singa jantan dan singa betina, hewan-hewan yang saling mengasihi lain jenis mereka. Itu hewan, lah kenapa sekarang manusia malah lebih parah dari itu?

Ada lagi, orang yang berkata “Semua penafsiran terhadap Al-Qur'an harus dikaji ulang!” atau “Semua penafsiran terhadap Al-Qur'an sudah tidak sesuai dengan kemajuan zaman, perlu ada penafsiran ulang”. Kau tahu? Bahkan mungkin orang yang mengucapkan itu pun belum hafal urutan surat dari satu hingga seratus empat belas besera jumlah ayatnya.

Apakah gagasan itu baik? Tidak! Sama sekali tidak! Apalagi jika menafikan hasil jerih payah para ulama. Kenapa? Al-Qur'an adalah barang lama yang membutuhkan jembatan penghubung antara zaman turunnya Al-Qur'an dengan zaman sekarang. Jika semua karya ulama dalam tafsir itu ditolak dengan alasan tidak relevan dengan zaman, berarti sama saja dengan menggoreng ikan langsung pake tangan atau turun dari gedung lantai sekian ratus loncat tanpa menggunakan lift.

Jika kita ingin mengetahui hal yang lampau, maka kita harus mendekat kepada titik yang paling dekat. Untuk itulah, para mufassir tadi meriwayatkan penjelasan ayat Al-Qur’an dari generasi yang dekat dengan masa turunnya Al-Qur'an. Terjemahan Al-Qur'an bukanlah Qur’an, dan bukan juga tafsir. Jika kau hanya membaca terjemah tanpa mencarinya di kitab tafsir karya ulama, bersiaplah dengan tanggung jawab kesalahan dalam pemahamanmu. Jadi, bukan penafsiran Al-Qur'an yang perlu dikaji ulang, tapi otak orang yang berpikir seperti itulah yang harus dikaji.

Kebenaran tulisanku ini hanyalah dari Allah, dan kesalahan dalam tulisanku ini murni dariku. Kita sama-sama belajar untuk diri kita dan agama kita, Allah akan memberi hidayah bagi orang yang bersungguh-sungguh berada di jalannya. Semoga bermanfaat, mari kita belajar!


[1] Lihat tafsir surat Hud ayat 78 Karya Ibnu Jarir At-Thabari, Ibnu Katsir dan Fakhruddin Al-Razi. Maktabah Syamilah.

4 komentar:

  1. Terima kasih untuk menjadikan tulisan saya sebagai inspirasi tulisan ini. Saya sudah coba tulis komentar disini, tetapi selalu gagal diposkan, mungkin karena terlalu panjang.

    Kalau berkenan bisa kunjungi lagi tulisan saya untuk komentar lengkap saya.

    BalasHapus
  2. Sudah saya tulis komentar saya, kita berbagi ilmu, semoga bermanfaat...

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum wr wb
    Salam kenal, sungguh menarik artikelnya dan ini juga menjawab artikel Judhianto di nonton dunia yang jujur menurut saya mencengangkan dari sudut pandang mempertanyakannya.
    saya sutuju dengan akang Fahmi

    BalasHapus
  4. Wa`alaikum salam... terimakasih udah membaca, memang tiap kepala memiliki keunikan masing-masing, maka perbedaan pemahaman pasti saja ada. Namun, sebagai orang yang beragama kita harus tahu batas pemahaman itu, apakah riskan untuk iman kita atau tidak...

    terimakasih sudah membaca... Wassalam...

    BalasHapus