Laman

23 Feb 2011

Kopi Panas: Masalah Khilafiyah telah memalingkan kita dari tujuan utama…

Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri lagi dalam hidup ini, karena Allah telah menciptakan kita dengan berbagai macam suku, bangsa, watak dan kemampuan yang berbeda-beda. Jika diumpamakan, maka perbedaan itu bagaikan pelangi indah yang terdiri dari berbagai macam warna. Namun apakah benar perbedaan adalah rahmat ?

Terdapat perbedaan pendapat tentang perkataan ini, apakah benar memang ia berasal dari Rasulullah atau bukan. Beberapa ulama telah menelaah bahwa perkataan ini tidak bisa dinasabkan kepada Rasulullah saw. karena belum ditemukan di dalam kitab-kitab kumpulan hadits yang telah tersusun sejak abad ke 3 hijriyah. Namun, apakah jika memang perkataan ini tidak berasal dari Rasulullah, namun berasal dari salah seorang ulama salaf, maka tetap kita menganggapnya sebagai hadits palsu karena telah dinasabkan kepada Rasulullah?

Jika kita telaah lebih dalam, maka akan kita lihat bahwa kata perbedaan tidak bisa disamakan dengan kata perselisihan. Jika kita maknai kata ‘ikhtilaf’ dengan perbedaan, maka bisa saja perbedaan adalah rahmat, karena berbeda merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Jika dilihat dalam kaca mata sejarah, maka perbedaan pendapat tidak hanya akan kita temukan ketika abad ke-2 yaitu ketika bermunculannya aliran-aliran dalam ilmu fiqh, namun akan kita temukan bahkan sejak masa para sahabat, di mana Rasulullah saw. masih berada di antara mereka. Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik, diceritakan bahwa ia dan para sahabat melakukan perjalanan bersama Rasulullah di dalam bulan Ramadhan, sebagian dari mereka membatalkan puasa mereka, dan sebagian yang lain meneruskan puasanya, namun tidak ada saling mencela di antara satu sama lain , kalaupun Rasulullah berkehendak ketika itu, maka ia akan menentukan apakah para sahabat yang berpuasa harus membatalkan puasa mereka atau tidak, atau mencela siapa yang membatalkan puasanya, namun Rasulullah tidak melakukannya.

Maka, ikhtilaf di sini, jika dimaknai dengan perbedaan, maka ia bisa menjadi rahmat ketika setiap orang bisa menggunakan pendapatnya masing-masing, tidak saling mencela antara satu dengan yang lainnya, dan tidak memaksakan orang lain untuk mengikuti pendapat dan pemahaman yang lainnya. Kita pun tidak diwajibkan untuk mengikuti suatu pendapat di antara berbagai macam perbedaan yang ada, kita hanya diwajibkan untuk menjalankan perintah agama dengan tata cara yang telah dirincikan dalam Hadits Rasulullah. Namun pertanyaannya mampukah kita untuk mencarinya langsung dari sumbernya? Banyak orang yang mencela siapa saja yang berpegang teguh kepada salah satu madzhab atau aliran dalam beribadah bahkan mereka mewajibkan agar kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits. Secara tidak langsung berarti mereka mewajibkan kepada setiap orang untuk berijtihad, padahal tidak semua orang bisa mencapai derajat itu, bahkan banyak di sekitar kita yang masih memiliki pengetahuan sangat minim dalam agama, jika ijtihad diwajibkan kepada mereka, maka apa bedanya dengan menceburkan seorang anak kecil ke tengah laut agar ia bisa berenang?

Para ulama, khususnya imam madzhab yang empat adalah orang yang telah diakui kemampuannya dalam berijtihad, oleh karena itulah ilmunya tetap dipelajari hingga sekarang. Masalah perbedaan pendapat di antara mereka, kita hanya dianjurkan untuk mengambil pendapat yang memang membuat kita tenang dalam beribadah.

Misalnya dalam masalah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, menurut madzhab Syafi`i dan Hanbali adalah membatalkan wudlu sedangkan menurut Maliki dan Hanafi tidak membatalkan wudlu, tidak ada pemaksaan untuk mengikuti pendapat ini atau itu, pendapat manakah yang lebih membuat kita tenang dalam ibadah, maka itulah yang kita ambil, jika memang kita khawatir apabila bersentuhan kulit itu ternyata membatalkan wudlu maka kita mengambil madzhab Syafi`i atau Hanbali, begitu juga di dalam masalah yang lainnya. Kita tidak bisa menghakimi mana yang salah dan mana yang benar, karena yang mengetahui hal itu hanyalah Allah semata, jika Ia berkehendak maka semuanya bisa jadi benar, atau bisa jadi semuanya salah.

Jika kita meyakini perbedaan adalah rahmat, maka bukan berarti meyakini persatuan adalah adzab, karena dari segi bahasa pun kedua kalimat ini tidak bisa disatukan dalam bab ‘kata yang berlawanan’ begitu juga dari segi kenyataannya, apakah benar para imam madzhab diadzab karena perbedaan pendapat mereka? Malah sebaliknya, ilmunya masih digunakan hingga saat ini, dan kaum muslim masih selalu mendoakan mereka.

Makna yang kedua dari kata ikhtilaf adalah perselisihan. Perselisihan sangat berbeda dengan perbedaan. Perselisihan adalah perbedaan yang menganggap salah satu lebih unggul dari yang lainnya, merasa lebih benar, lebih berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan hadits, merasa lebih mendapatkan ridha Allah dari yang lainnya. Maka jika kita maknai kata ikhtilaf dengan perselisihan, maka bukanlah rahmat yang akan timbul darinya, bahkan adzab berupa perpecahan, saling menyalahkan, saling menuduh bahkan mengkafirkan. Tidak semua kebenaran adalah satu, jika kita masukkan kata “Kebenaran adalah satu dan sisanya adalah kebatilan” ke dalam ranah tauhid, dalam masalah ini adalah ketuhanan dan kenabian, maka kata ini tidak perlu dibantah lagi, karena barang siapa yang meyakini ada tuhan selain Allah atau ada Nabi setelah Nabi Muhammad maka ia telah keluar dari agama Islam secara mutlak, karena telah merusak pondasi agama. Namun jika perkataan ini kita masukkan ke dalam koridor khilafiyah, seperti fiqh atau yang lainnya, maka tidak bisa kita terima karena setiap masing-masing memiliki pendapat dan dasar yang kuat dari Al-Qur'an dan Hadits.

Kenyataan yang terjadi sekarang, kita telah meninggalkan hal-hal yang seharusnya kita perdalami lebih dahulu dari pada masalah khilafiyah, sangat ironis jika seorang mahasiswa apalagi dari Universitas Islam ternyata masih belum bisa membaca Al-Qur'an dengan benar, masih belum bisa beribadah dengan benar, bahkan shalat atau puasanya pun tidak dilaksanakan seutuhnya, namun sudah membicarakan tentang bermadzhab itu bid`ah atau bukan, tasawuf dan filsafat mengantarkan kepada kesesatan atau tidak, mencukur jenggot itu haram atau tidak, dan berbagai permasalahan yang lain yang jika kita teliti lebih dalam lagi, para ulama sejak dulu telah membahasnya dan telah memberikan pendapat masing masing, dan buktinya, apakah dari perbedaan itu telah kita temukan titik temu?

Maka hendaklah kita koreksi kembali diri kita, sudahkah kita melaksanakan apa yang memang seharusnya kita laksanakan? Apakah kita memang pantas untuk menyalahkan pendapat orang lain sedangkan diri kita saja masih memiliki banyak kekurangan? Apakah kita bisa menjamin bahwa orang yang kita salahkan pendapatnya justru pendapat itulah yang diterima oleh Allah swt? Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk dan kemampuan untuk memperdalami ajaran agama ini. Hanya Allah lah tempat kita berlindung dan berharap.


4 komentar:

  1. Semoga Allah memberikan kepada umat muslim untuk bersatu kembali dan hidup damai seperti yang diinginkan setiap muslim.... Amin.

    BalasHapus
  2. tidak semua ikhtilaf bisa diterima kecuali ikhtilaf yang mu'tabar dan bertendensikan kepada Al-Qur'an-Hadist. So good bro. . .i like it.

    BalasHapus
  3. Ia bro! Ada juga yang berpendapat bahwa tugas kita adalah meneliti dan membandingkan pendapat mana yang paling 'shahih', namun juga pastinya tidak semua orang bisa mencapai derajat itu.

    Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk dari Allah subhanahu wa ta`ala....

    BalasHapus