Laman

16 Feb 2011

Kopi Panas: Sejarah Perkembangan Madzhab Fiqh

Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw. adalah pedoman hidup bagi seluruh umat muslim di dunia, dan Rasulullah telah mewasiatkan kepada seluruh umat muslim untuk berpegang teguh kepada keduanya agar tidak tersesat dalam menapaki jalan menuju rahmat dan ridhaNya. Telah menjadi ketentuan bahwa agama islam telah turun secara sempurna dari segi kaidah dan hukumnya, namun ternyata perbedaan dalam memahami kaidah-kaidah yang telah ada merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan, karena pada zaman Rasulullah pun masih terjadi perbedaan pendapat antara para sahabat meskipun pada akhirnya Rasulullah yang menentukan pendapat masing-masing di antara mereka.


Dalam sebuah riwayat dari Anas bin Malik mengatakan bahwa ia dan para sahabat bepergian bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan, sebagian dari sahabat ada yang melanjutkan puasa dan sebagian lain ada yang tidak, tapi sama sekali tidak saling mencela satu sama lain. Secara tidak langsung, mereka telah memiliki madzhab masing-masing dalam masalah itu, dan tidak disebabkan oleh mengikuti sunnah Rasulullah atau tidak.

Pembahasan tentang pengertian madzhab dan pembagiannya tidak akan terlepas dari kemunculan aliran-aliran fiqh setelah wafatnya Rasulullah saw. perlu sedikit diketahui dari sejarah, kemunculan aliran fiqh pada masa ini mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan ilmu fiqh pada masa-masa setelahnya, karena pada masa Rasulullah dan pada masa Khulafa Ar-Rosyidun tidak ada istilah ilmu fiqh sebagai suatu ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dari segi perbuatan yang berdasarkan dari dalil, namun hanya merupakan fatwa atau pendapat para sahabat dalam memahami Al-Qur`an dan Hadits, yang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat karena perbedaan kemampuan berbahasa mereka atau karena kedekatan hubungan mereka dengan Rasulullah saw.

Aliran Fiqh Abad ke-2 Hijriyah

Setelah Rasulullah wafat, sebagian besar sahabat Nabi masih menetap di Madinah, karena ketika itu daerah kekuasaan islam masih kecil hanya melingkup daerah Hijaz dan sekitarnya, namun setelah terjadinya perluasan daerah secara besar-besaran, terkhusus ketika zaman Khalifah Umar bin Khattab, para sahabat mulai berpencar untuk menyebarkan agama islam di daerah yang telah dikuasai oleh pasukan muslim, maka di antara para sahabat ada yang menetap di Madinah seperti Sayyidah `Aisyah, Abdullah bin Umar dan lainnya, lalu di Makkah ada Abdullah bin Abbas, lalu di Basrah ada Abu Musa Al-As`ary, dan Anas bin Malik, lalu di Kufah ada Abdullah bin Mas`ud, dan di Syam ada Mu`adz bin Jabal, `Ubadah bin Shomit, Abu Darda, dan di Mesir ada Abdullah bin Amru bin `Ash . Lalu pada generasi selanjutnya muncullah beberapa tabi`in yang dikenal dengan sebutan Fuqoha As-Sab`ah, yaitu Sa`id bin Al-Musayyib, `Urwah bin Az-Zubair, Al-Qosim bin Muhammad, Abu Bakar bin Abdurrahman, Abdullah bin Abdullah bin `Utbah bin Mas`ud, Sulaiman bin Yasar, dan Khorijah bin Zaid.

Dari tersebarnya para sahabat kebeberapa daerah di semenanjung arab, dan perbedaan keadaan dan kebiasaan tiap-tiap daerah tersebut maka muncullah aliran-aliran fiqh sesuai dengan daerah masing-masing, maka muncullah fiqh aliran Hijaz, fiqh aliran Syam, aliran Mesir, Basrah, dan Kufah. Namun semua aliran fiqh tersebut bisa kita golongkan menjadi tiga, yaitu Madrasah ahl Al-Hadits, Madrasah Ahl Al-Ra’y, dan Madrasah Ahl Adz-Dzahir .

a. Madrasah Ahl Al-Hadits

Aliran ini berpusat di Madinah, atau biasa juga disebut dengan Madrasah al-Madinah, karena sebagian besar sahabat menetap di Madinah dan mengajar para penduduk di sana setelah wafatnya Rasulullah saw. Di sinilah agama islam turun lengkap dengan hukum-hukumnya dan dijelaskan dengan lisan Rasulnya, para penduduk Madinah sangat berpegang teguh kepada tradisi menghafal apa yang diucapkan oleh Rasulullah saw. dan dari sinilah terkenal munculnya tujuh ahli fiqh yang disebut di atas. Para sultan kerajaan Umayyah lebih mendahulukan pendapat ulama Hijaz dari pada ulama Irak, padahal secara geografis Irak lebih dekat ke pusat pemerintahan ketika itu.
Aliran fiqh di Madinah berkembang pesat setelah kemunculan Imam Malik bin Anas (93 – 179 H), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menuliskan tentang Imam Malik “Ia adalah orang yang paling berpegang teguh dengan madzhab penduduk Madinah dari pengetahuannya dan riwayatnya” . Umat Islam berbondong-bondong pergi ke madinah untuk mengambil ilmu dari Imam Malik dan ulama lain yang berada di Madinah, di antaranya adalah Imam Syafi`i dari Palestina yang mengejutkan Imam Malik karena telah menghafal seluruh Hadits di kitab Muwattha’ dalam usia sangat muda. Begitu juga Ibnu Syihab Az-Zuhri dari Syam, lalu `Atho bin Abi Rabah dari Makkah, dan Yazid bin Abi Habib dari Mesir.

Khalifah Abu Ja`far Al-Mansur pernah meminta beberapa orang dari ulama Madinah untuk pergi ke Irak dan mengajarkan ilmunya pada penduduknya, maka muncullah Aliran Fiqh Madinah di Baghdad dengan datangnya Hisyam bin `Urwah, Muhammad bin Ishaq, Robi`ah bin Abu Abdurrahman guru Imam Malik, dan yang lainnya.

Imam Asy-Syihristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal menulis “Orang-orang yang berkompeten dalam bidang Hadits adalah penduduk Hijaz, mereka adalah murid Malik bin Anas, murid Idris Asy-Syafi`i, murid Sufyan Ats-Tsauri, dan murid Daud bin Ali Al-Ashfahany”.

b. Madrasah Ahl Al-Ra`y

Maksud dari kata Ra`y di sini adalah pendapat dan cara untuk memahami dalil yang tersirat dengan nalar fikiran, mereka berusaha untuk mengetahui sebab turunnya hukum-hukum dengan melihat inti bahasan yang terkandung dalam dalil teks tertulis dari al-Qur’an dan Hadits, dan tidak menggunakan dalil secara langsung tanpa menelisik kedalam makna yang tersirat jika memang terdapat teks yang memang tidak dapat difahami secara tekstual. Mereka banyak mempergunakan Qiyas (Analogi) dan Istihsan, dan menentukan hukum untuk hal-hal yang terkadang belum terjadi.

Aliran fiqh ini berkembang di daerah Kufah di Iraq, setelah beberapa sahabat datang ke Kufah dan menetap di sana selama beberapa tahun, di antara mereka adalah Abdullah bin Mas`ud, Abdullah bin Abbas, Sa`ad bin Abi Waqas, `Ammar bis Yasir, Hudzaifah bin Al-Yaman, dan Anas bin Malik. Dan ketika masa khalifah Ali bin Abi Thalib, Kufah dijadikan pusat pemerintahan islam yang menyebabkan makin banyaknya orang berdatangan ke sana.

c. Madrasah Ahl Adz-Dzahir

Aliran fiqh ini bertentangan dengan aliran Kufah, mereka berpegang teguh pada pengambilan hukum dari dalil secara tekstual, tanpa mendalami makna yang terdapat pada teks tersebut. Kemunculan aliran ini dinasabkan kepada Dawud bin Ali Al-Ashbahani, yang dikenal dengan Dawud Adz-Dzhahiri (200 – 270 H.). Beliau belajar fiqh kepada Abu Tsaur salah satu murid besar Imam Syafi`i, dan juga kepada Ishaq bin Rahawiyah, dan masih banyak ulama yang menjadi sandarannya dalam menelaah fiqh.

Aliran ini beranggapan bahwa semua hukum telah ada dalilnya dalam teks Al-Qur’an dan Hadits, tanpa mendalami hal-hal lain yang menyangkut tentang dalil tersebut, seperti kata ambigu, atau kata yang umum tapi dimaksudkan untuk khusus atau sebaliknya, tidak menjadikan Qiyas sebagai sumber hukum, dan berpendapat bahwa semua pekerjaan atau perilaku seseorang dalam agama tidak akan diterima oleh Allah tanpa ada dalil yang menjelaskan tentang perbuatan tersebut. Mereka menerapkan kaidah “Hukum asli segala sesuatu dalam ibadah adalah salah kecuali bila ada dalil yang menetapkannya, dan hukum asli segala sesuatu dalam hubungan sesama muslim adalah benar kecuali ada dalil yang melarangnya”.

Pengertian Madzhab

Dalam kamus Al-Munawwir, kata madzhab berakar dari kata Dzahaba berarti pergi, berjalan, atau berlalu, madzhab berarti kepercayaan, doktrin, ajaran, teori atau pendapat. Maka madzhab bisa kita artikan sebagai sebuah teori yang dipakai oleh seorang muslim dalam memahami ajaran agama. Istilah madzhab tidak hanya dikenal dalam ranah pembahasan fiqh, karena di dalam kaidah bahasa arab akan kita temui aliran Basrah, Kufah, Bagdad, Andalusia (Spanyol), dan Mesir, sedangkan dalam pembahasan akidah akan kita temukan aliran Asy`ariyah, Jabariya, Mu`tazilah, Syi`ah, dan Maturidiyah.

Di dalam pembahasan fiqh, tidak hanya terdapat empat madzhab yang berkembang seperti sekarang, tapi sepanjang masa kepemimpinan dinasti Umayah dan Abbasiyah telah dikenal tiga belas ulama mujtahid yang menjadi sandaran para muslim dalam mempelajari ilmu fiqh, mereka adalah : Sufyan bin `Uyaynah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, Hasan Basri di Basrah, Abu Hanifah An-Nu`man dan Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Al-Auza`i di Syam, Al-Laits bin Sa`ad dan Idris Asy-Syafi`i di Mesir, Ishaq bih Rahawiyah di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Dawud Adz-Dzohiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari di Baghdad.

Jika ada pertanyaan, “Kenapa harus ada perbedaan madzhab?” Atau “Kenapa madzhab harus ada empat?” Atau “Madzhab yang ada sekarang khan bukan pendapat asli dari imam madzhabnya, tapi sudah dicampur aduk dengan pendapat para pengikutnya!” Pertama, Perbedaan pendapat (madzhab) adalah hal biasa, bukan sebuah pengada-adaan dalam agama ataupun pemecah belah agama, namun perbedaan di sini hanyalah pendapat-pendapat dalam memahami suatu teks dalil dari Al-Qur’an dan Hadits, adalah salah jika mengatakan bahwa ulama madzhab “menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits sekehendak hatinya!” terjadi perbedaan pendapat adalah karena perbedaan pendalaman bahasa arab, perbedaan tempat tinggal dan lingkungan, atau mungkin karena teks itu sendiri aslinya memiliki berbagai arti yang bertolak belakang, seperti kata Al-Qur’u dalam QS 2:228, para ulama madzhab Hanafi dan Hanbali menafsirkannya dengan haid, dan para ulama madzhab Syafi`i dan Maliki menafsirkannya dengan suci.
Kedua, seperti yang telah disebutkan di atas, ulama Mujtahid yang dijadikan sandaran dalam mempelajari fiqh ada tiga belas, bahkan selain mereka masih banyak ulama yang mumpuni dalam bidang itu, hanya saja para muridnya tidak banyak atau tidak sependapat dengan pendapat gurunya, Imam Syafi`i pernah berkata “Sebenarnya Imam Al-Laits lebih tinggi ilmunya dalam bidang fiqh dari Imam Malik bin Anas, namun para muridnya tidak meneruskan ajaran pemahamannya.”

Ketiga, tidak semua ulama madzhab Hanafi mengikuti apa yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, begitu juga ulama madzhab Syafi`i, Maliki, Hanbali dan yang lainnya, Imam Al-Buwaithi menyebutkan bahwa ia mendengar Imam Syafi`i berkata “Aku telah menuliskan buku-buku ini, dan aku tidak mengurangi usahaku (dalam memahami teks dalil), maka pastilah akan terdapat di dalamnya kesalahan karena Allah swt. berfirman “dan jikalah itu (al-Qur’an) datang dari selain Allah, maka kamu akan mendapati di dalamnya banyak pertentangan” (QS 4 : 82) maka jika kalian mendapati di dalam bukuku ini sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah sesungguhnya aku telah mencabutnya (pendapatku).” Imam Malik pernah berkata “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia biasa, terkadang salah dan terkadang benar, maka pertimbangkanlah pendapatku, apabila terdapat di dalamnya hal yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka ambillah pendapatku, tapi jika terdapat di dalamnya hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah maka tinggalkan!”.

Jika kita pelajari sejarah perkembangan madzhab-madzhab yang ada sekarang ini, maka kita akan mendapati perbedaan pendapat Imam Syafi`i ketika di Bagdad dan di Mesir, dan juga akan kita dapatkan Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Al-Huzail murid-murid Imam Abu Hanifah yang menggantikan majlisnya setelah beliau wafat, terkadang memiliki pendapat yang bertentangan dengan gurunya, bahkan bisa jadi dalam satu masalah terdapat empat pendapat, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah sendiri, lalu pendapat masing-masing ketiga muridnya. Adanya ulama yang mengoreksi pendapat gurunya bukanlah untuk mengobrak-abrik kaidah yang sudah diterapkan oleh para imam madzhab, itu hanyalah perbedaan pendapat murid dari gurunya. Bukankah Imam Syafi`i adalah murid dari Imam Malik? Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal adalah muridnya Imam Syafi`i? Namun Imam Syafi`i tidak pernah mencela perkataan Imam Malik begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal.

Beberapa Madzhab Fiqh dalam Islam

a. Madzhab Hanafi

Pendirinya adalah Abu Hanifah An-Nu`man bin Tsabit bin Zauthi, lahir pada tahun 80 H. di kota Kufah. Ia termasuk kepada generasi Tabi`in karena pernah bertemu dengan Anas bin Malik Abdullah bin Abi Awfa, Sahal bin Sa`ad As-Sa`idi. Ia menghafal Al-Qur’an dalam usia sangat muda, lalu memperdalami Hadits, Nahwu, Adab, Syi`ir dan lainnya, menghabiskan masa mudanya dengan berdagang dari tempat ke tempat lainnya, dari pengalamannya ia mengetahui cara berinteraksi antara penjual dan pembeli beserta hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah jual beli. Lalu ia memperdalami fiqh kepada para ulama yang ada di masa itu, di antaranya adalah Hamad bin Abi Sulaiman, ia berguru kepadanya selama delapan belas tahun. Hamad bin Abi Sulaiman berguru kepada Ibrahim An-Nakha`i, lalu Ibrahim An-Nakha`i berguru kepada `Ilqimah An-Nakha`i, dan Ilqimah An-Nakha`i berguru kepada Abdullah bin Mas`ud.

Abu Hanifah dikenal mempelajari empat aliran fiqh, yaitu fiqh Umar bin Khatab yang berlandaskan maslahat, lalu fiqh Ali bin Abi Thalib yang berlandaskan pengambilan kesimpulan dari makna diturunkannya syari`at, lalu fiqh Abdullah bin Mas`ud yang berlandaskan Takhrij, dan fiqh Abdullah bin Abbas yang memiliki pemahaman yang dalam terhadap Al-Qur’an dan Hadits. Imam Syafi`i pernah berkata “Dalam permasalahan fiqh, manusia akan condong kepada pendapat imam Abu Hanifah.” Imam Malik pernah berkata “Sesungguhnya ia adalah seorang Faqih.” Ibnu Mubarak berkata “Aku tidak pernah melihat orang yang memiliki sifat Wara` melebihi Abu Hanifah.”

Asas pengambilan hukum madzhab Hanafi adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, lalu mengedepankan perkataan para sahabat dari qiyas, lalu Istihsan dan `Urf. Di antara murid-muridnya adalah Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Zufar bin Al-Huzail. Imam Abu Hanifah wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Madzhab Hanafi tersebar di beberapa daerah, di antaranya Mesir, Tunisia, AlJazair, Persia (Iran), Afghanistan, Turki, India, dan beberapa daerah lain.

b. Madzhab Maliki

Madzhab ini disandarkan kepada Malik bin Anas bin `Amir Al-Ashbahi, lahir di Madinah tahun 93 H. Ia selalu menetap di Madinah selama hidupnya, tidak diketahui pernah melakukan perjalan kecuali ketika Haji ke Makkah. Ia menghafal Al-Qur’an dalam umur yang sangat muda, lalu berguru kepada Rabi`ah bin Abdirrahman, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Nafi` bekas budak Abdullah bin Umar salah satu dari Silsilah Emas hadits Imam Bukhori, dan ia masih berguru kepada beberapa orang ulama Madinah di masanya, hingga terakhir berguru kepada Abdurrahman bin Hurmuz, seorang Tabi`in Ahli dalam ilmu Al-Qur’an dan Hadits.

Imam Malik dikenal dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu dan mengajarkannya, mencintai dan menghormati para guru dan disegani oleh gurunya, suatu saat Imam malik pernah berkata “Aku tidak akan mengajarkan fatwa-fatwa atau Hadits sebelum mendapatkan pengakuan akan ilmuku dari tujuh puluh orang `Alim bahwa ini adalah pendapatku.” Ia memilih mengajarkan ilmunya di majlis Umar bin Khattab dan juga tinggal dibekas rumah Abdullah bin Mas`ud karena ingin merasakan sisa-sisa kehidupan para sahabat yang hidup sangat dekat dengan Rasulullah.

Imam Malik sangat menghargai kedudukan ilmu di atas segalanya, ia selalu membersihkan badannya, memakai wangi wangian, dan selalu mengenakan baju terbaiknya ketika akan mengajarkan sesuatu, ia pun selalu membakar wewangian selama pengajarannya berlangsung. Suatu saat ada seseorang yang bertanya kepadanya tenang suatu masalah, lalu berkata “Sesungguhnya ini perkara yang mudah!” maka Imam Malik marah kepadanya, lalu berkata “Tidak ada perkara remeh dalam ilmu agama! Apakah kau tidak pernah mendengar firman Allah “Sesungguhnya kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu” (QS 73:5). Semua ilmu adalah perkara berat, apalagi yang berkaitan dengan hari kiamat!.”

Imam Syafi`i berkata “Jika para ulama disebutkan, maka Imam Malik bagaikan bintang bagi mereka, tidak ada orang lain yang mengkaruniaiku ilmu lebih dari apa yang Imam Malik berikan.” Imam Ibnu Mahdi berkata “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sempurna akalnya dan tinggi derajat ketakwaannya selain Imam Malik.” Imam Bukhari berkata “Silsilah hadits paling terpercaya adalah Imam Malik dari Nafi` dari Abdullah bin Umar lalu dari Rasulullah saw.” dan sebagian besar ulama pada masanya dan masa setelahnya beranggapan bahwa Imam Malik adalah yang dimaksudkan oleh Rasulullah dalam Haditsnya “… mereka tidak menemukan seseorang yang lebih berilmu kecuali seorang ahli ilmu dari Madinah.” .

Asas hukum madzhab Imam Malik bersandarkan kepada Al-Qur’an, Hadits, mengedepankan perbuatan penduduk madinah dan menganggapnya seperti Hatits Mutawatir karena dilakukan umum oleh mereka, lalu fatwa para sahabat, Qiyas, Mashalih Mursalah, Istihsan, dan Sadd Adz-Daroi`. Di antara murid-muridnya adalah Ibnu Al-Qosim, Ibnu Wahab, Asyhab bin Abdul Aziz, dan Imam As-Syafi`i. Imam Malik meninggal di Madinah pada tahun 179 H. Madzhab Maliki berkembang di daerah Hijaz, Mesir, Tunisia, Aljazair, Sudan, Basrah, Bagdad, dan beberapa daerah lainnya. Dan di antara karya tulisnya yang masih tersebar di penjuru dunia hingga sekarang adalah Al-Muwaththa` dalam Hadits.

c. Madzhab Syafi`i

Imam Syafi`i lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H tahun di mana Imam Abu Hanifah wafat. Nama aslinya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi`i bin Abbas bin Syafi`, nasabnya bertemu dengan Rasulullah saw. pada kakeknya Abdul Manaf. Ia dibesarkan dalam keadaan yatim, ayahnya meninggal ketika ia masih kecil, lalu ibunya membawanya ke Mekah agar nasabnya tidak terputus karena jauh dari keluarganya di Mekah.

Ketika usianya baru menginjak tujuh tahun, ia telah menghafal Al-Qur’an seluruhnya, lalu ia mempelajari Hadits dari ulama-ulama Makkah pada masa itu di antaranya adalah Sufyan bin `Uyaynah, ia pernah menyendiri ke kabilah Hudzail untuk memperdalami bahasa arab, salah satu kabilah yang dikenal memiliki kecakapan dan kefasihan dalam bahasa arab. Ia kembali lagi Mekah dan memperdalami ilmu fiqh dan Hadits, salah satunya kepada Muslim bin Kholid Az-Zanji Mufti Mekah ketika itu. Ia telah menghafal seluruh isi dari Al-Muwaththa` pada usia sepuluh tahun lalu berkeinginan untuk mempelajarinya langsung dari Imam Malik, maka pergilah ia ke Madinah dan terkejutlah Imam Malik karena umurnya ketika itu masih tiga belas tahun . Ia menetap di Madinah dan mengambil ilmu dari Imam Malik dan beberapa ulama yang berada di sana. Ia juga pernah berpindah ke Yaman dan mempelajari fiqh dari Umar bin Abi Salmah murid dari Imam Al-Auza`i, dan ia juga belajar kepada Yahya bin Hassan murid dari Imam Al-Laits bin Sa`ad. Ia juga pernah belajar kepada para sahabat, di antaranya Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas`ud, Zaid bin Tsabit.

Pada tahun 184 H. ia berpindah ke Bagdad, memperdalami aliran fiqh Abu Hanifah kepada Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani murid terpercaya dari Imam Abu Hanifah, maka terkumpullah dalam dirinya fiqh aliran Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Auza`i. Setelah mempelajari fiqh di Bagdad, ia kembali ke Mekah lalu mengajar dan mengeluarkan fatwa di sana selama sembilan tahun. Pada tahun 195 H. ia berpindah ke Bagdad untuk mengajar dan berfatwa, pada masa inilah dalam madzhab Syafi`i terkenal dengan ‘Pendapat Lama’. Pada tahun 199 H. ketika masa kepemimpinan Khalifah Al-Ma’mun suhu politik di Bagdad sedang tidak menentu, dan munculnya pemahaman tentang Al-Qur’an adalah mahluk, akhirnya Imam Syafi`i bertolak menuju Mesir, dari sinilah dikenal pendapat-pendapat baru darinya.

Abdullah bin Imam Ahmad bin Hanbal bertanya kepada ayahnya “Siapakah Imam Syafi`i? kudengar engkau banyak berdoa baginya” lalu Imam Ahmad berkata “Kedudukan Imam Syafi`i bagaikan matahari bagi dunia, dan bagaikan kesehatan pada diri manusia, maka apakah ada kedudukan yang dapat menggantikan mereka berdua?”, dan riwayat lain dari Imam Ahmad bahwa ia berkata “Sesungguhnya Rasulullah berkata bahwa Allah mengutus kepada umat islam ini seorang pembaharu di setiap abad, pada abad pertama telah ada Umar bin Abdul Aziz, maka aku berharap Imam Syafi`i menjadi pembaharu di abad ini”.

Asas madzhab Syafi`i adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma`, Perkataan para sahabat, mengambil Qiyas moderat tidak menghindarinya seperti Imam Malik dan tidak memperbanyak penggunaannya seperti Imam Abu Hanifah, memperhatikan esensi turunnya syariat dari manfaat dan mudharat, dan meninggalkan Istihsan. Imam Syafi`i wafat di Mesir pada tahun 204 H. dengan meninggalkan banyak karya, di antaranya buku Ar-Risalah dalam Ilmu Ushul Fiqh dan Al-Umm dalam Fiqh. Ia memiliki banyak pengikut dikarenakan kepindahannya dari Madinah lalu Bagdad dan Mesir, di antara murid-muridnya adalah Abu Ya`qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaythi, Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Mizani. Madzhabnya tersebar di daerah Palestina, Yaman, Persia, Pakistan, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia.

d. Madzhab Hanbali

Ia adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani, lahir di kota Bagdad bulan Rabi`ul Awal tahun 164 H. Ia lahir di ladang ilmu, ketika kota Bagdad dijadikan pusat keilmuan di mana para ahli ilmu Al-Qur’an, Hadits, fiqh, tasawwuf, filsafat, hukum, dan lainnya. Selain itu, Imam Ahmad sering berpidah-pindah tempat demi mencari dan mempelajari ilmu, ia pegi ke Mekah, Madinah, Yaman, Basrah, Kufah, dan bertemu dengan Imam Syafi`i ketika masih berada di Madinah, dan berguru fiqh dan ushul fiqh kepadanya, dan bertemu kembali dengan Imam Syafi`i ketika berada di kota Bagdad. Di antara gurunya adalah Sufyan bin `Uyaynah, Ibrahim bin Sa`ad, Yahya Al-Qathan, dan masih banyak lagi, hingga dikatakan jika ia mendengar ada seorang alim di suatu daerah maka ia pasti akan datang mengambil ilmu darinya.

Imam Ahmad bin Hanbal mulai mengajarkan ilmunya ketika ia berumur 40 tahun, dan dalam suatu riwayat dikatakan lebih dari lima ribu orang datang untuk belajar dan mendengarkan fatwanya di masjid Bagdad. Ia memiliki dua majlis seperti Imam Malik, satu majlis dalam bidang Hadits dan satu dalam bidang fiqh. Pada mulanya ia melarang para muridnya untuk menuliskan pendapat-pendapatnya agar tidak mengekor kepada pendapatnya tanpa mengetahui asal-usulnya, dan membebaskan para muridnya untuk berpendapat dan mengambil kesimpulan dari dalil-dalil tentang suatu hukum.

Ibnu Qutaibah berkata “Imam Ahmad adalah pemimpin dunia (dalam ilmu)”, Imam Syafi`i berkata “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih sempurna akalnya dari Ahmad bin Hanbal dan Sulaiman bin Dawud”, Imam Ahmad sangan berpegang teguh terhadap Hadits nabi, hingga banyak orang yang beranggapan bahwa madzhab Hanbali sangat ketat dalam mengeluarkan hukum menggunakan Hadits. Di antara karyanya yang masih tersebar di seluruh penjuru bumi saat ini adalah Al-Musnad kumpulan Hadits-hadits yang disusun menurut nama-nama perawinya.

Hukum madzhab Hanbali disandarkan kepada Al-Qur’an, Hadits, fatwa para sahabat, lalu mengambil hadits Mursal (yang terputus pada perawi sebelum Rasulullah saw.) atau hadits Dha`if (hadits lemah yang tidak memenuhi syarat kesahihan suatu hadits) dan mendahulukannya atas Qiyas dan tidak menggunakan Ijma`, Istihsan, dan beberapa sumber hukum lainnya. Ia wafat di Bagdad pada tahun 241 H. Di antara murid-muridnya adalah kedua anaknya Sholih dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar Al-Atsram, Abdul Malik Al-Maimuni, lalu setelah murid-murid generasi pertama, muncullah Ibnu Taimiah dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Pada mulanya madzhab Hanbali kurang berkembang dibanding dengan ketiga madzhab lainnya, namun pada masa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Wahab penggagas dakwah Salafiah, madzhab ini berkembang lebih dari sebelumnya, dan atas prakarsanya madzhab Hanbali dijadikan sebagai madzhab resmi kerajaan Saudi hingga kini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar